RUU TNI Disahkan, Suara Publik Diabaikan?

IAP2 Indonesia – DPR RI mengesahkan RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 20 Maret 2025 setelah melalui proses yang penuh kontroversi. Pengesahan ini dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, sehingga memicu kritik tajam dari masyarakat sipil. Proses ini dianggap sebagai langkah yang tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik, mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Perubahan dalam RUU TNI memunculkan kekhawatiran akan kembalinya praktik “dwifungsi ABRI,” yang pernah mendominasi kehidupan politik dan sosial di era Orde Baru.

Dwifungsi ABRI adalah konsep yang memungkinkan militer untuk berperan ganda, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan sekaligus kekuatan sosial-politik. Pada masa Orde Baru, konsep ini digunakan untuk membenarkan keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil, termasuk menduduki jabatan strategis di lembaga negara dan sektor ekonomi.

Bahaya utama dari dwifungsi ABRI adalah dominasi militer dalam kehidupan sipil, seperti

  • Meningkatkan Risiko Pelanggaran HAM: Keterlibatan militer sering kali disertai tindakan represif terhadap masyarakat sipil.
  • Menghambat Pembangunan Ekonomi: Militer dapat menggunakan kekuasaan untuk menguasai aset ekonomi negara, menciptakan ketimpangan sosial.
  • Melemahkan Institusi Sipil: Fungsi lembaga-lembaga sipil terganggu oleh intervensi militer.

Lalu apa dampak perubahan RUU TNI terhadap kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia?

1. Keterlibatan Militer dalam Jabatan Sipil

RUU TNI menuai kontroversi

Sumber foto: media indonesia

Dengan semakin banyaknya prajurit aktif yang dapat menduduki posisi sipil (dari 10 menjadi 14 jabatan), ada risiko meningkatnya dominasi militer dalam pemerintahan. Posisi strategis seperti Kejaksaan Agung dan BNPB kini dapat ditempati oleh prajurit aktif, yang seharusnya dijalankan oleh pejabat sipil profesional. Hal ini dapat mengurangi akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat.

 

2. Intervensi Militer dalam Kebijakan Publik

Sumber foto: Jurnalpost


Kebijakan publik mungkin lebih dipengaruhi oleh kepentingan militer daripada kebutuhan masyarakat. Misalnya, keputusan terkait penanganan bencana atau pembangunan infrastruktur bisa lebih berorientasi pada pendekatan keamanan daripada kesejahteraan rakyat.

 

3. Perpanjangan Masa Dinas Prajurit

Sumber foto: tempo.co


Usia pensiun prajurit diperpanjang hingga 60 tahun untuk perwira tinggi dan 58 tahun untuk perwira menengah serta bintara/tamtama. Hal ini membutuhkan tambahan anggaran besar (diperkirakan Rp120 miliar per tahun) yang mungkin mengurangi alokasi dana untuk sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan.

 

4. Risiko Meningkatnya Militerisme

Sumber foto: ruang meNYALA


Dengan semakin luasnya peran TNI dalam urusan sipil, ada kekhawatiran bahwa Indonesia akan kembali ke era militerisme di mana kebebasan sipil terancam oleh kontrol militer yang berlebihan.

 

5. Krisis Kepercayaan terhadap Pemerintah

Sumber foto: yoursay – suara com


Dominasi militer dalam pemerintahan dapat menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Rakyat mungkin merasa bahwa pemerintah tidak lagi mewakili kepentingan mereka tetapi tunduk pada agenda militer.

Mengapa Suara Rakyat Diabaikan?

Pengabaian suara rakyat dalam pengesahan RUU TNI terjadi karena beberapa alasan seperti

1. Proses Legislasi yang Tidak Transparan

RUU TNI menuai kontroversi

Sumber foto: tirto id


Pembahasan RUU dilakukan di hotel mewah secara tertutup, jauh dari sorotan publik. Lokasi ini menimbulkan kecurigaan bahwa para pembuat kebijakan berusaha menghindari pengawasan masyarakat. Tidak ada diskusi terbuka atau konsultasi publik yang memadai, sehingga aspirasi rakyat tidak diakomodasi.

 

2. Dominasi Kepentingan Elit Politik

Sumber foto: radio idola semarang


Pengesahan ini diduga kuat sebagai upaya elit politik untuk memperkuat posisi militer dalam pemerintahan. Pemerintah dan DPR tampaknya lebih mengutamakan agenda politik tertentu daripada mendengarkan suara masyarakat. Banyak pihak melihat revisi ini sebagai langkah untuk menghidupkan kembali dwifungsi militer, yang bertentangan dengan semangat reformasi.

 

3. Minimnya Representasi Publik

Sumber foto: CNN Indonesia


Meski DPR mengklaim telah mendengarkan masukan dari berbagai pihak, banyak elemen masyarakat sipil, seperti mahasiswa, aktivis, dan akademisi, merasa suaranya diabaikan. Protes besar-besaran yang berlangsung di berbagai kota tidak mampu menghentikan pengesahan RUU ini.

 

4. Keterburu-buruan dalam Pengesahan

RUU TNI menuai kontroversi

Sumber foto: antara news


Proses pengesahan dilakukan dengan cepat tanpa memberikan ruang bagi diskusi mendalam atau peninjauan ulang terhadap dampak jangka panjang revisi tersebut. Hal ini menunjukkan pola legislasi yang sering kali mengabaikan prinsip deliberatif.

 

Baca juga: Saatnya Rakyat Bicara! Kekuatan Demonstrasi sebagai Penggerak Partisipasi Publik –

 

Kesimpulan

Pengesahan RUU TNI mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Proses legislasi yang tidak transparan dan minim partisipasi publik menunjukkan bahwa suara rakyat telah diabaikan demi kepentingan elit politik tertentu. Dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari rakyat sangat besar, dari meningkatnya dominasi militer dalam pemerintahan hingga risiko pelanggaran hak asasi manusia. Jika tren ini terus berlanjut, masyarakat Indonesia berisiko menghadapi ketidakadilan sosial, melemahnya supremasi sipil, dan penurunan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus bersuara dan memperjuangkan akuntabilitas pemerintah agar prinsip-prinsip demokratis tetap terjaga dan tidak tergerus oleh kepentingan politik sempit.

 

 

Referensi

bbc.com. (2025). Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?

fahum.umsu.ac.id. (2025). UU TNI Disahkan Oleh DPR RI 20 Maret 2025, Ini Point Pentingnya.

kompas.id. (2025). Apa yang Akan Terjadi bila RUU TNI Tetap Disahkan?

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *