Ir. Wiratno, MSc.
Jika sebelumnya pemerintah memberikan izin untuk pengusaha untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), tambang, kebun, dan lainnya, yang jumlahnya bisa mencapai 97% dari semua izin yang dikeluarkan, maka pemerintah kemudian sadar pentingnya untuk memperuntukkan hutan bagi masyarakat juga. Luas hutan di Indonesia sekitar 137 juta hektar, dimana sekitar 41 juta hektar dalam keadaan rusak. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan itu hampir 50 juta dari 250 juta penduduk Indonesia. Sepuluh juta dari mereka ini dalam kategori miskin dan tinggal di tempat yang jauh dan terisolir.
Pergerakan perhutanan sosial sudah berkembang sejak tahun 1980an. Program Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan pemberian akses ke hutan. Pemanfaatan hutan boleh untuk individu, kelompok, atau badan usaha. Program Perhutanan Sosial juga didanai oleh APBN, yang merupakan uang rakyat juga.
Perhutanan sosial ini diharapkan dapat mengurangi konflik yang sering terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah mengenai penggunaan hutan. Hutan memang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar dan di dalamnya. Misalnya, di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), rumah adat mereka memiliki tiang di tengahnya. Tiang itu melambangkan hutan, yang merupakan “ibu” mereka. Di Berau, Kalimantan Timur, terdapat desa dekat hutan lebat sekitar 8.000 hektar dimana masyarakatnya bergantung pada sumber air dan sumber alam lainnya di hutan tersebut.
Izin yang diberikan melalui program Perhutanan Sosial adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) dengan hak kelola sampai 35 tahun dan dapat diperpanjang. Hak kelola untuk HKm diberikan oleh bupati dan hak kelola untuk HD diberikan oleh gubernur. Izin HKm diberikan kepada masyarakat, sedangkan izin HD diberikan kepada lembaga desa untuk mengelola hutan dekat desa tersebut.
Implementasi kebijakan HKm ada prosesnya. Setelah pemerintah memberikan akses, ada pendampingan masyarakat untuk mengelola berbagai komoditi yang memiliki nilai pasar sehigga ‘value add’ atau nilai tambahnya lebih. Misalnya, Lombok dan Flores yang banyak menghasilkan pisang mentah dapat mengolah pisang ini terlebih dahulu sebelum dikirim keluar, seperti keripik kentang di Lampung.
Kemitraan adalah program pemerintah untuk membangun kerjasama yang baik antara industri dan masyarakat. Misalnya, di Gunung Kidul ada perjanjian untuk industry menjual bibit jati di kelompok-kelompok masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah juga mengawasi bila ada dari pihak industri yang merugikan masyarakat.
Kementerian juga mengembangan beberapa sentra untuk meningkatkan nilai tambah hasil bumi. Sentra ini menjadi tempat bertemunya para pihak antara pengusaha, petani, praktisi, pengepul, pengedar, dan lainnya untuk menciptakan tatanan yang lebih sehat. Ada banyak sentra yang sedang dikembangkan, seperti sentra sutra dan bambu di Jawa Barat dan sentra porang di Nganjuk.
Saat ini dari semua provinsi, Lampung memiliki luas Penerapan Areal Kerja (PAK) HKm terbesar, dimana 100.000 hektar lebih hutan lindung di Lampung sudah dijadikan HKm pada tahun 2014. Kopi Lampung sangat terkenal. Jika 60% dari HKm di Lampung ditanami kopi (dengan asumsi produksi 800 kg per hektar dan harga Rp 19.000 per kg kopi), maka nilai kopi dari HKm di Lampung bisa sebesar Rp 1 trilyun per tahun. HKm dan juga HD memiliki potensi besar dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan negara. Target pemerintah dalam lima tahun ini untuk menjadikan 12.7 juta hektar hutan sebagai HKm atau HD. Jad, 30% dari hutan lindung Indonesia untuk rakyat.
Namun, program Perhutanan Sosial ini menghadapi beberapa kendala. Dalam lima tahun terakhir, Kementerian hanya memproses sekitar 300.000 hektar HKm. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan biasanya tinggal di daerah-daerah terpencil, sehingga akses ke masyarakat ini sulit. Selain itu, dukungan dari pemerintah daerah belum maksimal. Dari 328.452 hektar PAK HKm, hanya 89.880 hektar yang telah mendapat izin bupati pada tahun 2014. Dari 318.024 hektar PAK HD, hanya 67.737 hektar yang telah mendapat izin gubernur pada tahun 2014. Selain itu, di daerah HKm dan HD belum masuk RPJMD sehingga tidak didukung oleh APBD. Fasilitasi untuk HKm dan HD masih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan LSM. Di pusat pun, dukungan dana masih terbatas dan koordinasi internal kurang efektif.
Kendala lain yang dihadapi terkait meningkatkan nilai hasil bumi adalah minimnya peralatan yang menunjang dan juga praktek tani atau kebun yang memadai. Misalnya, untuk memastikan kualitas kopi Lampung yang baik, diperlukan alat untuk mengukur kadar air. Walau alat ini hanya sekitar Rp 20 juta, namun tidak banyak yang tersedia. Perdagangan kopi juga terkendala pengepul, sehingga pemerintah mendukung masyarakat untuk membuat koperasi dan menegosiasikan dengan Nestle sebagai salah satu pembeli utama kopi Lampung untuk membeli dari masyarakat langsung. Selain itu, pendampingan petani juga diperlukan, misalnya dalam mengajarkan cara mengambil biji kopi untuk hasil terbaik.
Walau terdapat kendala dalam program Perhutanan Sosial, dukungan pemerintah untuk program ini telah ditingkatkan. Jika dulu Perhutanan Sosial adalah Eselon 2, maka sekarang sudah dijadikan Eselon 1. Dana dari Kementerian juga lebih banyak dialokasikan ke Perhutanan Sosial dan peraturan diubah untuk mempermudah proses HKm dan HD. Yang tidak kalah penting adalah kerjasama antara berbagai pihak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, baik itu petani sendiri maupun pemerintah pusat, lokal, industri, dan LSM.
Referensi
Wiratno (2014). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Unpublished. Website: http://konservasiwiratno.blogspot.com/
Direktorat Bina Perhutanan Sosial (2014). Perhutanan Sosial untuk Pengentasan Kemiskinan, Penyelesaian Konflik Lahan, dan Kelestarian Hutan. Jakarta: Unpublished. Dibawakan dalam presentasi seminar oleh Ir. Wiratno, MSc pada Rabu, 25 Februari 2015.
Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Februari 2015 dan juga tulisan Pak Wiratno. Pak Wiratno sebelumnya merupakan Direktur Bina Perhutanan Sosial di Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beliau banyak menulis di http://konservasiwiratno.blogspot.com/.