Konsultasi Publik Berdasarkan Perspektif Standar IFC

Konsultasi PublikAdi Nataatmadja

Salah satu resiko sosial dalam proyek adalah konflik antara masyarakat dan perusahaan. Konflik ini dapat dicegah, atau setidaknya diminimalisir, dengan konsultasi publik yang dilakukan dengan baik. Konsultasi publik adalah komunikasi dua arah untuk menjembatani pihak pemrakarsa proyek dengan masyarakat. Pemegang proyek harus menjadi ‘tetangga’ yang baik bagi masyarakat, dan bukannya sebagai pihak luar.

Terkadang konsultasi publik yang dilakukan di proyek-proyek di Indonesia lebih merupakan suatu kegiatan seremonial untuk memenuhi persyaratan administrasi seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), atau iklan di media massa. Jika motivasinya seperti ini, maka pelaksanaan konsultasi publik tidak bermakna dan memberi dampak positif pada hubungan pemegang proyek dan masyarakat. Semangat dari konsultasi publik adalah menjadi bagian dari masyarakat. Pada akhirnya, ketika proyek beropearasi di daerah, pemegang proyek akan berada di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang, bisa sampai 30 tahun.

Konsultasi publik memang memerlukan biaya yang besar. Namun konsultasi publik yang tidak dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak negatif yang lebih besar nantinya, seperti demonstrasi oleh masyarakat, ditutupnya proyek, atau pemberitaan buruk di media massa. Konsultasi publik yang baik seharusnya dilihat sebagai investasi dan bukannya biaya.

Keuntungan lain yang didapatkan dari mengaplikasikan konsultasi publik yang baik adalah keunggulan dari kompetitor ketika mengajukan proposal proyek ke pihak donor. Standar konsultasi publik yang diakui oleh donor internasional adalah standar kinerja atau performance standard dari International Finance corporation (IFC), yang merupakan anggota kelompok Bank Dunia.

Baca Juga: Pengertian Konsultasi Publik

Performance Standard IFC terdapat tiga kategori proyek. Proyek dengan kategori A dan B merupakan proyek yang wajib AMDAL, dimana proyek ini dinilai signifikan secara dampak, lokasi, atau luas. Kategori C cukup dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).  Jika perusahaan mendaftarkan suatu proyek ke IFC, maka IFC akan menentukan kategori dari proyek ini dan akan melakukan studi lapangan. Jika proyek ini termasuk kategori A atau kategori B, dua hal harus dipenuhi. Yang pertama adalah asesmen lingkungan atau environmental assessment, seperti ESIA (Environmental and Social Impact Assessment) dari Bank Dunia atau AMDAL. Yang kedua adalah pengaplikasian performance standard yangs pesifik untuk proyek. Misalnya, jika di lokasi proyek ad amasyarakat adat, maka diaplikasikan Performance Standard (PS) 7 terkait konsultasi publik dengan masyarakat adat (atau indigenous people).

Studi Kasus Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Jeneponto, Sulawesi Selatan

Pengembangan PLTB pertama di Indonesia dengan kapasitas 62 megawatt ada di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Saat ini, pada bulan Februari 2015, proyek masih dalam fase pengembangan (atau development) dan belum sampai konstruksi turbin. Dalam proyek ini, diaplikasikan konsultasi publik sesuai Performance Standard IFC.

Alur pada saat konsultasi publik dalam proyek PLTB ini adalah sebagai berikut. Pertama, pemegang proyek mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang mempengaruhi proyek ini, sebuah proses yang disebut juga screening. Ini dilakukan berdasarkan dampak resiko, lingkungan, sosial dan budaya. Setelah para pemangku kepentingan proyek diidentifikasi, mereka dikategorisasikan berdasarkan kapasitas mereka untuk mempengaruhi proyek dan tingkat terdampak oleh proyek. Kedua, diidentifikasi langkah yang harus ditempuh terkait masing-masing pemangku kepentingan. Ketiga, dibuat rencana konsultasi seperti format dan waktu konsultasi publik.

Dalam proyek pengembangan PLTB di Jeneponto, manajemen berembuk untuk menentukan siapa saja pemangku kepentingan (atau stakeholder) yan berada di sekitar proyek, apa saja keprihatinan mereka, dan bagaimana status hubungan pemegang proyek dengan pemangku kepentingan ini. Misalnya, proyek ini berbatasan dengan hutan lindung, dan karena itu pemangku kepentingan terkait adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Situs proyek di daerah pantai akan memiliki pemangku kepentingan  berupa masyarakat yang mendapat penghasilan dari rumput laut dan ikan, dan memiliki keprihatinan tertentu. Masyarakat yang yang berada dekat dengan ladang angin (atau wind farm) mengalami dampak spesifik dari proyek, yaitu kebisingan dari turbin dan gangguan visual yang disebabkan oleh turbin yang berputar secara konstan.

Setelah mengidentifikasi para pemangku kepentingan di sekitar lokasi proyek, maka mereka pun dikategorisasikan sesuai dampak dan pengaruh mereka. Dari kategorisasi tersebut, didapatkan rencana konsultasi yang sesuai. Performance Standard IFC memiliki langkah konsultasi publik yang sistematis dan runut, meliputi pemangku kepentingan, metode, frekuensi, dan informasi yang harus disampaikan atau didapatkan.

Misalnya, bagi pemangku kepentingan yang terkena dampak langsung berupa kebisingan dan gangguan visual, maka salah satu metode konsultasi publik yang sesuai adalah mekanisme keluhan atau grievance mechanism. Performance Standard IFC mensyaratkan suatu proyek memiliki mekanisme untuk mendengar keluhan masyarakat dan menentukan lama keluhan tersebut ditangani. Ini memberi kejelasan kepada masyarakat ketika membawa keluhan atau masukan ke pemegang proyek. Pertemuan dengan masyarakat juga harus rutin dan ada kejelasan.

Jika LSM diidentifikasi sebagai salah satu pemangku kepentingan, maka pemegang proyek juga akan mencari tahu mengenai LSM tersebut, seperti latar belakang dan sumber pendanaan mereka. Salah satu pemangku kepentingan dalam proyek PLTB juga adalah PLN. Tantangan di sektor energi angin adalah belum adanya feed-in tariff yang resmi, sehingga belum ada harga pembelian dari PLN untuk listrik yang akan dijual oleh PLTB.

Dengan proses konsultasi publik berdasarkan Performance Standard IFC, pemegang proyek dapat mengidentifikasi siapa kawan dan siapa lawan, dan dapat memaksimalkan pihak yang pro-proyek dan meminimalisir pihak yang kontrak.

Referensi
Nataatmadja, Adi (2015). Konsultasi Publik Berdasarkan Perspektif Standar IFC. Jakarta: Unpublished. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 25 Februari 2015.

Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Februari 2015. Adi Nataatmadja adalah Environmental & Social Manager di Asia Green Capital yang bergerak dalam energi terbarukan. Salah satu proyek mereka adalah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Author

Bagikan:

2 comments

  1. Rizal Kapita says:

    Kelemahan yang sangat dari Konsultasi Publik IFC Standar adalah rendahnya penghargaan terhadap nilai lokalismme. Nilai Budaya masyarakat di wilayah terdampak proyek tidak dikaji sebagai bagian integral dalam pelaksanaan Konsultasi Publik. Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *