Awal tahun 2020, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan bahwa satu dekade ke depan menjadi dekade aksi akselerasi pencapaian 17 Agenda Pembangunan Global. Agenda yang juga dikenal dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadikan 2030 sebagai garis akhir untuk menjadikan dunia lepas dari masalah kemiskinan, kelaparan, kesehatan, ketimpangan, dan degradasi lingkungan. Komunitas internasional pun sibuk menyusun serangkaian aksi untuk mengisi satu dekade ini.
Pada saat bersamaan, penyebaran virus COVID-19 dalam waktu singkat menjadi penyakit yang mendunia hingga WHO menetapkannya sebagai pandemi atau wabah penyakit dunia. Agenda pembangunan pun menjadi berubah arah, semua negara sibuk merespon pandemi ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan menekan angka penyebaran virus.
Korea Selatan menganggarkan 11,7 triliun won yang setara dengan 9,9 miliar dolar Amerika untuk membantu penanganan medis dan mengurangi dampak pandemi pada bisnis dan rumah tangga. Pemerintah Korea Selatan sejak 28 Februari 2020 juga memberi keringanan pajak dan subsidi sewa. Negara tetangga Singapura menyisihkan dana tambahan sebesar 48 miliar dolar Singapura atau setara dengan 33,17 miliar dolar Amerika untuk penanganan COVID-19. Dana tambahan ini melengkapi kebijakan ekonomi kesehatan sebesar 6,4 miliar dolar Singapura dimana kebijakan ini dibiayai oleh cadangan negara.
Indonesia sendiri juga memberikan dua buah Paket Stimulus. Paket Stimulus I senilai Rp. 10.3 triliun yang di dalamnya mencakup insentif fiskal, hibah kepada pemerintah daerah dan dorongan untuk dana jaminan sosial. Paket Stimulus II berisi kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang aktivitas industri yang termasuk di dalamnya adalah pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 bagi pekerja, penundaan pengenaan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan PPh Pasal 25 Badan sebesar 25%.
Semua stimulus ini bertujuan untuk menekan angka dampak ekonomi dalam negeri yang bisa dilakukan sendiri oleh negara. Di atas kertas terlihat cukup tangguh, dan pertanyaannya kemudian adalah apakah di tengah kesibukan dalam negeri dan paket stimulus yang diluncurkan membutuhkan kerjasama dengan negara lain atau pihak non-pemerintah dalam rangka menekan angka penyebaran COVID-19?
Indonesia sendiri setidaknya menjawab pertanyaan tersebut melalui dua hal; pertama peluncuran 3 (tiga) buah Global Bond dengan tenor 10,5 tahun, 30 tahun dan 50 tahun dengan denominasi dolar Amerika Serikat senilai 4,3 miliar dolar Amerika. Kedua adalah kerjasama Indonesia dan Korea Selatan dalam produksi alat tes COVID-19 dan alat penyemprot disinfektan bertenaga baterai isi ulang. Kedua hal ini dapat menjelaskan bahwa kerjasama (antar negara) adalah salah satu upaya yang penting ditempuh dalam mencari solusi pandemi ini bersama-sama.
Kerjasama dalam mencapai tujuan tercantum jelas dalam TPB 17, dan Spektrum Partisipasi Publik menempatkan Kerjasama atau disebut dengan istilah Kolaborasi/To collaborate dalam spektrum ke-empat, setelah Menginformasikan/To inform, Mengkonsultasikan/To consult dan Melibatkan/To Involve. Disebut juga Kolaborasi, karena dalam konteks Global Bond dan kerjasama antara Indonesia dan Korea di atas memenuhi karakteristik dari Kolaborasi antara lain adalah hubungan yang kuat, kepercayaan yang tinggi dan komunikasi yang intensif.
Dan kembali ke pertanyaan di atas: apakah masih perlu kerjasama antar negara dan kerjasama dengan pihak non-pemerintah (non-state actor), seperti pihak swasta dn organisasi masyarakat dalam rangka menekan angka penyebaran COVID-19? Jawabannya sudah jelas, kerjasama akan berkontribusi pada pencapaian tujuan pada TPB. Ibarat pepatah: sekali dayunng, dua tiga pulau terlampaui. Melalui Kerjasama berbagai pihak selama masa pandemi, selain angka penyebaran COVID-19 dapat ditekan, maka Agenda Pembangunan Global akan dapat terlaksana***IS
Sumber:
Good piece. Clear and concise.