Memperkuat Kolaborona Covid-19

Memperkuat Kolaborona Covid-19

 

Oleh Aldi M. Alizar dan Yusdi Usman

Perkembangan covid-19 di tingkat global masih mengkhawatirkan. Dari hari ke hari, jumlah kasus positif dan kematian akibat covid-19 semakin bertambah. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus positif dan kematian juga terus meningkat, meskipun jumlah pasien yang sembuh juga cukup signifikan. Yang menjadi tantangan adalah dengan perkembangan covid-19 yang belum menggembirakan ini, bagaimana seharusnya pemerintah dan semua pihak berpartisipasi dalam penanganan covid-19 sehingga diperoleh hasil yang lebih baik dan efektif?

Sejauh ini, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagai pendekatan utama untuk memastikan social distancing berjalan di masyarakat. Namun demikian, PSBB hanya diterapkan di beberapa wilayah saja yang tingkat penularan positif covid-19 dirasa cukup tinggi. Sampai tulisan ini dibuat, 18 daerah sudah disetujui oleh pemerintah pusat untuk menerapkan PSBB dalam jangka waktu 14 hari.

PSBB di tingkat propinsi diterapkan di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Sumatera Barat. Sedangkan untuk tingkat kabupaten kota, diterapkan di 16 daerah, yakni Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Pekanbaru, Kota Makassar, Kota Tegal, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang dan Kota Cimahi.

Selain itu, covid-19 ini juga membawa dampak sosial-ekonomi kepada masyarakat. Dampak sosial ekonomi yang paling nyata adalah menurunnya pendapatan karena kebijakan PSBB untuk pekerja sektor informal dan PHK (termasuk dirumahkan, bekerja sebagian, dikurangi gaji, dan sebagainya) yang dialami pekerja sektor formal (perusahaan).

Data Kemanakertrans yang dipublikasikan Kompas (19/4) memperlihatkan bahwa jumlah pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 229.789 orang, dan dirumahkan sebanyak 1.270.367 orang. Sehingga total pekerja terdampak di sektor formal adalah 1.500.156 orang yang berasal dari 83.546 perusahaan. Selain itu, pekerja sektor informal yang berasal dari 30.794 perusahaan yang di-PHK sebanyak 443.760 orang.

Data ini memperlihatkan bahwa sebanyak 1,9 juta orang sektor formal dan informal terkena dampak PHK dan dirumahkan. Data ini belum termasuk sektor informal mandiri seperti pedagang kaki lima, petani dan nelayan, karena kegiatan ekonomi yang lesu dan menurun drastis.

Di tingkat makro, dampak ekonomi lebih mudah dibaca, baik dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan menurun signifikan, maupun efek ekonomi makro lainnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa minus 0,4% pada tahun 2020 ini. Kondisi yang sama juga terjadi di tingkat global, sehingga banyak pihak khawatir bahwa situasi ini akan mengarah pada depresi ekonomi global, dimana resesi sudah berlangsung beberapa waktu belakangan ini.

Melihat tantangan Indonesia dalam menghadapi perubahan ini, baik dalam mengurangi penyebaran dan penularan covid-19 maupun menangani dampak sosial ekonomi kepada masyarakat, maka tentu saja dibutuhkan kerjasama antar pihak. Keterlibatan pemerintah memang bersifat mandatory dalam penanganan covid-19. Namun demikian, pemerintah perlu didukung oleh semua komponen masyarakat sehingga akan memberi dampak penangan yang lebih baik dan efektif.

Di titik inilah dibutuhkan adanya kolaborasi antar pihak, baik dalam penanganan dampak kepada masyarakat, maupun pengurangan penularan covid-19 ke wilayah yang lebih luas di Indonesia.

Membangun Kolaborona

Mengapa kolaborasi? Kolaborasi merupakan salah satu spektrum tertinggi dalam spektrum partisipasi publik yang dikembangkan oleh IAP2 (International Association for Public Participation) dan digunakan di banyak negara. Spektrum lainnya dalam partisipasi publik diantaranya termasuk: paling rendah adalah inform (menginformasikan kepada masyarakat), meningkat menjadi consult (konsultasi dengan masyarakat), lalu involve (melibatkan masyarakat), kemudian collaborate (berkolaborasi bersama masyarakat), dan yang paling tinggi adalah empower (memberdayakan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik).

Kolaborasi dalam penanganan corona, atau disingkat Kolaborona, merupakan sebuah pendekatan dalam kerjasama multipihak untuk menyelesaikan masalah bersama yang dihadapi masyarakat. Kolaborona menjadi penting karena semua pihak diharapkan berpartisipasi dalam penanganan covid-19, dan diasumsikan bahwa penanganan covid-19 bukan hanya mandatory pemerintah, atau tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah saja. Partisipasi publik menjadi sangat penting dalam penangan dan pengurangan dampak covid-19 kepada masyarakat.

Roschelle dan Teasley (1995) mendefinisikan kolaborasi sebagai “mutual engagement of participants in a coordinated effort to solve a problem together”. Dalam konteks yang sama, keduanya juga mengatakan kolaborasi sebagai “coordinated, synchronous activity that is the result of a continued attempt to construct and maintain a shared conception of a problem” (Dillenbourg et al., 1996).

Mengacu pada definisi di atas, terlihat bahwa kolaborona membutuhkan adanya mutual engagement (keterlibatan bersama) dan coordinated effort (upaya yang terkoordinasi) dalam menyelesaikan sebuah permasalahan bersama (a problem together). Keterlibatan bersama dalam upaya terkoordinasi ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah bersama secara lebih baik, dimana dalam konteks ini adalah menyelesaikan masalah covid-19.

Secara lebih spesifik, Australian Research Alliance for Children and Youth atau ARACY membangun kerangka kolaborasi dengan karakteristik yang bebeda dengan pendekatan lain yang selama ini banyak dilakukan pemerintah dan para pihak, yakni cooperation dan coordination. ARACY (2013) menyebutkan bahwa kolaborasi ditunjukkan oleh adanya hubungan saling ketergantungan (interdependent relationship) dan tingkat kepercayaan (trust) yang kuat antar pihak. Ini salah satu karakteristik yang membedakannya dengan cooperation dan coordination, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

Hubungan lemah Hubungan sedang Hubungan kuat
Kepercayaan lemah Kepercayaan berbasis kerja Kepercayaan sangat kuat
Komunikasi bersifat sementara Komunikasi terstruktur Komunikasi intensif

Berbagi informasi secara taktis

Tujuan masing-masing pihak Tujuan saling berkaitan Tujuan disepakati bersama
Saling beradaptasi

Sumberdaya tetap di masing-masing pihak/organisasi

Kebijakan, program dan sumberdaya bersama Sumberdaya bersama

Perubahan sistem

Kewenangan di masing-masing pihak/organisasi Kewenangan di organisasi induk Kewenangan bersama diantara organisasi
Komitmen dan akuntabilitas ke dalam organisasi masing-masing Komitmen dan akuntabilitas kepada organisasi induk dan program bersama Komitmen dan akuntabilitas kepada jaringan kolaborasi, masyarakat, dan lalu ke organisasi induk
Waktu pendek Waktu menengah Waktu panjang, sampai 3 tahun
Resiko dan manfaat rendah Resiko dan manfaat sedang Resiko dan manfaat tinggi

Dari tabel di atas terlihat bahwa kolaborasi membutuhkan tingkat partisipasi publik yang lebih kuat dibandingkan dengan cooperation dan coordination. Bukan berarti bahwa cooperation dan coordination lebih buruk dibandingkan dengan coolaboration dalam sebuah kerjasama, namun ketiga bentuk kerjasama tersebut bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari kerjasama dan tingkat kerumitan masalah yang akan diselesaikan bersama.

Jika tujuan kerjasama hanya untuk berbagi informasi dan menyelesaikan masalah yang tidak begitu rumit, maka pendekatan cooperation sudah memadai, atau naik setingkat dengan pendekatan coordination.

Namun, jika kompleksitas masalah sudah rumit dan membesar, serta membutuhkan upaya yang lebih kuat dalam penanganannya, seperti kasus covid-19 ini, maka pendekatan kolaborasi menjadi lebih tepat dalam rangka mendapatkan hasil yang bagus dan efektif. Karena itu, dalam pelaksanaannya, kolaborona membutuhkan sejumlah kondisi sebagai prasyarat, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif dalam penanganan covid-19 di Indonesia, yakni:

Pertama, kemampuan berkolaborasi (the ability to collaborate). Pejabat publik, pengambil kebijakan, pimpinan organisasi masyarakat, pimpinan sektor swasta, dan semua pihak perlu mempunyai kemampuan dalam berkolaborasi. Kemampuan berkolaborasi ini bisa dibangun, baik melalui pengalaman maupun pelatihan-pelatihan tentang kolaborasi. Intinya, semua pihak, khususnya pejabat publik, perlu mempunyai kemampuan kolaborasi dalam rangka membangun partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan tingkat kompleksitas tinggi seperti covid-19 ini.

Lalu, keahlian kolaborasi apa saja yang harus dimiliki oleh para pejabat publik, pengambil kebijakan, dan semua pihak? Keahlian yang paling utama adalah kemampuan komunikasi yang bagus. Keahlian lain adalah emotional intelligent atau kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini akan mampu membangun kondisi yang memungkinkan semua pihak merasa nyaman berkolaborasi, diperlakukan setara, serta mampu memahami kondisi tersembunyi, termasuk semua konsekuensi yang kemungkinan lahir dari proses kolaborasi.

Di tingkat lebih operasional, keahlian kolaborasi yang dibutuhkan adalah kemampuan analisis masalah, manajemen, kepemimpinan, kestabilan emosi, critical thinking, problem solving, kemampuan mengorganisir banyak pihak, dan lain sebagainya. Tentu saja, semua kemampuan ini sebenarnya sudah dimiliki oleh pejabat publik dan para pihak dengan kualitas berbeda-beda. Karena itu, jika pendekatan kolaborasi dipilih dalam penanganan covid-19, maka para pihak yang terlibat dalam kolaborasi perlu ditingkatkan kapasitasnya tentang semua keahlian kolaborasi tersebut.

Kedua, memahami kompleksitas masalah. Kompleksitas masalah terkait dengan saling keterhubungan, hubungan sebab akibat, pilihan prioritas dan tidak prioritas, besar kecilnya damapak kepada masyarakat, serta tingkat kerumitan dalam memilih cara/strategi penyelesaiannya. Karena itu, setiap pejabat publik, pemimpin organisasi masyarakat dan pimpinan sektor swasta perlu mempunyai kemampuan dalam memahami dan menganalisis kompleksitas masalah yang dihadapi.

Covid-19 merupakan masalah dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi, mempunyai dampak luas pada kehidupan masyarakat secara global, berpengaruh pada sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya, serta kerumitas dalam memilih solusi yang tepat untuk menanganinya. Pemerintah Indonesia misalnya, memilih pendekatan PSBB bukan lockdown, tentu dengan berbagai pertimbangan kompleksitas dampak sosial dan ekonomi, yang tidak mudah jika kebijakan lockdown diterapkan.

Ketiga, proses kolaborasi inklusif. Kolaborasi membutuhkan pendekatan partisipasi yang inklusif. Partisipasi inklusif mensyaratkan adanya kesetaraan, penghargaan, dan perlakuan yang sama dalam kolaborasi. Dengan kata lain, pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolaborasi akan berperan secara bersama-sama dan no one left behind.

Proses kolaborasi inklusif memang tidak mudah dilaksanakan saat hubungan kuasa (power relation) antar pihak berbeda. Misalnya, hubungan kuasa antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang berbeda. Karena itu, dibutuhkan kemauan pemerintah untuk tidak terlalu menempatkan dirinya sebagai aktor powerful, kecuali terkait dengan keputusan politik yang memang berada di tangan pemerintah.

 

Kolaborona dalam Penanganan Covid-19

Menggunakan framework di atas, penulis ingin mengajak pemerintah dan semua pihak untuk menggunakan pendekatan kolaboratif dalam penanganan covid-19 di Indonesia. Hal ini karena kompleksitas dalam penanganan covid-19 sangat tinggi, baik kompleksitas dalam pencegahan penularan dan kompleksitas dalam menangani dampak covid-19 kepada masyarakat secara luas. Untuk itu, pemerintah perlu berkomunikasi dengan semua pihak dalam rangka membangun kolaborona ini.

Memperkuat kolaborona bukan saja akan menghasilkan penyelesaian masalah covid-19 dengan lebih baik dan efektif, sumberdaya yang dikeluarkan pemerintah akan lebih kecil karena partisipasi masyarakat yang tinggi dalam penanganan penularan dan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat. Karena itu, ada sejumlah ruang kolaborasi yang bisa digunakan pemerintah untuk memudahkan dalam penanganan covid-19 ini ke depan.

Pertama, kolaborona di level pelaksanaan kebijakan PSBB. Saat pemerintah akan membuat kebijakan PSBB dalam penanganan covid-19, tentu tidak semua pihak setuju dan puas dengan kebijakan ini. Namun demikian, saat kebijakan ini sudah diputuskan, semua pihak diharapkan dalam berkolaborasi dalam pelaksanan PSBB secara baik dan efektif. Masalahnya adalah mengapa pelaksanaan kebijakan PSBB terkesan kurang efektif di lapangan? Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhinya.

Karena itu, pemerintah harus mengajak para pihak untuk berkolaborasi dalam upaya meningkatkan efektivitas pelaksanaan PSBB, termasuk (1) meningkatkan kemampuan literasi masyarakat tentang bahaya covid-19, (2) penegakan hukum dalam pelaksanaan PSBB di ruang publik (ini domainnya aparat penegak hukum), dan (3) meningkatkan solidaritas sosial kepada masyarakat terdampak yang kemungkinan besar sering melanggar social distancing di ruang publik.

Kedua, kolaborona di level penanganan kasus positif covid-19. Penanganan kasus positif covid-19 merupakan ranah sektor kesehatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta melalui layanan kesehatan swasta. Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan kasus positif covid-19 adalah keterbatasan fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan dan perawatan pasien positif covid-19, dan keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD) terstandar untuk dokter dan tenaga kesehatan. Pemerintah sebenarnya sudah mengalokasikan dana APBN sebesar 75 Triliun rupiah untuk sektor kesehatan dalam penanganan covid-19 ini.

Dalam konteks ini, pemerintah bisa membangun kolaborasi dengan berbagai rumah sakit swasta untuk pelayanan pasien positif covid-19, selain rumah sakit rujukan yang disediakan pemerintah. Pihak swasta sebenarnya sanggup menjadi rumah sakit layanan pasien positif covid-19 seandainya diajak bersama-sama secara kolaboratif dalam penanganannya, termasuk memberi insentif keuangan kepada pihak swasta yang terlibat dalam penanganan covid-19 ini.

Sementara untuk penyediaan APD, pemerintah bisa membangun kolaborasi dengan berbagai perusahaan swasta besar dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mempunyai kemampuan dalam produksi APD dengan standar WHO. Pemerintah perlu melakukan pemetaan terhadap UMKM dan perusahaan swasta besar yang mempunyai kapasitas produksi APD, termasuk industri sejenis yang sebelumnya bergerak untuk produk lain, namun bisa diarahkan untuk produksi APD. Namun demikian, pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebutuhan dalam negeri terpenuhi dengan baik sebelum dilakukan ekspor APD ke luar.

Ketiga, kolaborona di level penanganan dampak sosial ekonomi masyarakat. Kolaborasi dalam penanganan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat termasuk yang cukup berat. Jika penanganan dampak kepada masyarakat ini tidak dilakukan dengan baik, maka resiko terjadinya konflik sosial dan anarkisme di dalam masyarakat akan mudah terjadi. Karena dampak sosial ekonomi kepada masyarakat sangat besar, tidak ada salahnya pemerintah mulai membangun kolaborasi dengan banyak pihak untuk penanganan dampak sosial ekonomi ini.

Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan insentif fiskal untuk penanganan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat. Pemerintah pusat misalnya, sudah mengalokasikan dana 110 Triliun rupiah dari APBN untuk penanganan dampak sosial ekonomi covid-19, dalam bentuk jaring pengaman sosial (social safety net). Tentu saja, jumlah ini masih tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat yang terkena dampak. Sejumlah pemerintah daerah juga sudah mengalokasikan dana APBD untuk jaring pengaman sosial di masing-masing daerah.

Karena kemampuan keuangan pemerintah yang terbatas, maka upaya untuk membangun kolaborasi multipihak dalam penanganan dampak sosial ekonomi masyarakat ini bisa dilakukan. Kita punya banyak potensi dana di masyarakat yang bisa digali untuk membantu masyarakat yang terkena dampak. Potensi dana tersebut termasuk dari (1) orang-orang super kaya jaringan oligarki yang selama ini menjadi pendukung pemerintah, (2) pemotongan gaji pejabat pemerintah di pusat dan daerah, (3) dana CSR sektor swasta yang tidak secara langsung terkena dampak covid-19. Pemerintah perlu melakukan pemetaan terhadap potensi dana ini.

Keempat, kolaborona di level dampak makro ekonomi dan sosial. Dampak makro ekonomi merupakan dampak besar yang tidak mudah ditangani. Apalagi covid-19 ini merupakan wabah global yang berdampak pada ekonomi global. Jika scenario terburuk terjadi, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah 0,4%, maka potensi depresi ekonomi akan menjadi kenyataan. Karena dampak ekonomi makro ini lebih rumit dan membutuhkan intervensi pemerintah secara hati-hati, maka proses kolaborasi dalam merespon situasi ini juga perlu dirumuskan dengan lebih komprehensif ke depan.

Kelima, kolaborona rehabilitasi pasca covid-19. Kita semua belum bisa memprediksi kapan covid-19 ini akan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal. Apakah tiga bulan, enam bulan, atau sampai akhir tahun 2020? Karena belum ada kejelasan terkait prediksi waktu selesainya covid-19, maka upaya rehabilitasi sosial ekonomi pasca covid-19 pun masih belum dipikirkan oleh pemerintah dan semua pihak.

Saat ini, pemerintah dan semua pihak masih fokus pada penanganan dalam penularan dan penanganan dampak sosial ekonomi jangka pendek. Namun demikian, perlu ada tim di dalam pemerintah yang sudah mulai memikirkan rehabilitas pasca covid-19, serta bagaimana membangun kolaborasi multipihak dalam rehabilitasi ini.

Terlepas dari tingkat kompeksitas masalah dalam penanganan covid-19 yang sangat tinggi, upaya kolaboratif dalam menyelesaikan berbagai dimensi covid-19 ini perlu terus diperkuat. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Partisipasi publik (secara kolaboratif) menjadi kebutuhan bersama untuk mendukung penanganan covid-19 secara lebih baik dan efektif.

___

Aldi M. Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional.

Yusdi Usman adalah Sosiolog, Pengamat Kebijakan Publik, kandidat Doktor Sosiologi UI, dan Co-Chair IAP2 Indonesia.

Sumber Gambar:
Banner vector created by starline – www.freepik.com

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *