Kesehatan itu terkait erat dengan konteks demografi. Demografi pada era 1970 sampai 1980an berbeda dengan tahun 2010. Di negara Jepang, piramida penduduknya sudah terbalik dan beban terhadap penyakit lanjut usia itu lebih berat lagi. Dalam konteks ekonomi ini menjadi beban yang luar biasa. Kita di Indonesia masih di usia produktif. Perkembangan demografi bukan hanya dilihat sebagai suatu peluang, tetapi juga sebagai suatu tantangan yang harus kita atasi.
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan mengenai kesehatan. Kita seringkali melihat masalah kesehatan di hilir, sedangkan berbagai hal yang ada di tengah dan di hulu berkontribusi pada masalah kesehatan di hilir. Contohnya, kalau kita bicara mengenai kondisi kesehatan, maka kita perlu air sehat yang baik. Secara nasional, tingkat kecukupan air sehat itu rata-rata hanya 68% dari seluruh provinsi. Artinya, mereka yang tidak dapat cukup air bersih, terutama daerah-daerah terpencil dan tertinggal, pasti punya resiko kesehatan yang lebih besar. Contoh lainnya adalah gaya hidup tidak sehat, seperti mengonsumsi makanan tidak sehat dan fast food juga berdampak pada kesehatan. Suatu pertumbuhan penduduk akan lebih sehat apabila faktor-faktor di luar kesehatan—seperti lingkungan sehat, akses pendidikan yang baik, akses air bersih—dan faktor-faktor di hulu juga baik, termasuk pemberdayaan masyarakat dan partisipasi publik.
Ada pergeseran yang luar biasa dari tahun 1990 ke 2015 di bidang kesehatan. Dulu penyakit infeksi yang mendominasi pada tahun 1990. Hal ini umum untuk negara miskin dan negara berkembang. Ketika negara kita masih tertinggal, persoalan yang kita hadapai adalah hal-hal mendasar, seperti infeksi karena lingkungan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup, maka pada beberapa segmen masyarakat terjadi perubahan. Pada tahun 2010 sampai 2015, penyakit-penyakit stroke dan jantung meningkat dan menempati posisi teratas. Gaya hidup yang tidak sehat itu mengakibatkan penyakit-penyakit ini. Namun, pada saat yang sama, walaupun Indonesia sudah seperti negara maju dengan penyakit-penyakit seperti stroke dan diabetes, penyakit primitif pun masih ada, seperti filariasis atau kaki gajah. Penyakit-penyakit ini terkait dengan higienitas, sanitasi, dan lainnya, dan itu memang perlu partisipasi publik untuk hidup lebih sehat.
Kalau kita lihat beban penyakit di tahun 2015 itu lebih sekali, baik dari konteks biaya dan kerugian ekonomi. Misalnya, kalau kita bandingkan satu penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dibandingkan satu penyakit stroke, maka biaya penyakit stroke jauh lebih besar. Kerugian ekonomi dari filariasis adalah 13,2 trilyun rupiah per tahun. Kerugian ekonomi untuk HIV juga besar, sekitar Rp 51,5 trilyun per tahun, dan untuk AIDS lebih besar lagi yaitu sekitar Rp 350 trilyun per tahun. Malaria yang merupakan penyakit primitif pun menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 366 milyar per tahun. Di sini kita kehilangan nilai ekonomi produktif.
Untuk mengendalikan berbagai penyakit ini, perlu dilakukan promosi megnenai gaya hidup sehat. Ini partisipasi publik yang harus didorong untuk budaya hidup sehat. Dulu sekolah-sekolah punya Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) agar anak-anak jajan yang benar dan juga dibentuk kantin sekolah; ini harus di-revitalisasi.
Indonesia bertujuan membuat akses kesehatan yang sama bagi semua penduduknya dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional. Kalau kita lihat, sektor swasta memiliki asuransi komersial dan pegawai negeri ada Jamsostek. Tetapi ada 60% sampai 70% masyarakat yang tidak memiliki proteksi. Jadi, untuk itu kita mengembangkan Jaminan Kesehatan Nasional. Banyak ahli yang mengatakan ini terlalu ambisius. Memang, tidak banyak negara berkembang yang berani memulai perlindungan kepada orang miskin karena itu pasti menjadi beban negara. Negara-negara lain, seperti Thailand, yang mempunyai skema asuransi sosial ini memulai dari skema formal, dikelola dengan baik, lalu orang miskin masuk pelan-pelan. Tetapi di Indonesia, orang miskin sudah dari awal. Ini bagus untuk menjaga hak-hak konstitusi, tetapi muncul masalah secara teknis.
Kemajuan Indonesia dalam menyediakan jaminan kesehatan nasional cukup mencengangkan. Yang mengurus ini adalah Badan Jaminan Nasional (dulunya Askes atau Asuransi Kesehatan). Sebelumnya, skema jaminan nasional hanya mengelola 11,5 juta orang saja. Pada tahun 2014, skema jaminan nasional telah mengelola 116 juta, dan per bulan April 2015, jumlah seluruh peserta sudah 142 juta. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam pelayanan jaminan kesehatan nasional karena kapasitas yang ada tidak mencukup, walau dalam setahun ke belakang kapasitas ini sudah ditingkatkan.
Kontribusi terbesar dari jaminan kesehatan nasional adalah orang miskin dan yang paling sedikit adalah para pekerja formal. Harusnya para pekerja formal bisa lebih banyak ikut agar bisa subsidi silang dalam konteks biaya. Oleh karena itu, Bapak Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menggunakan BPJS oleh para pekerja formal agar ada subsidi silang.
Ada dua alasan untuk mengikutsertakan masyarakat miskin dalam jaminan kesehatan nasional. Yang pertama, hal ini memenuhi hak konstitusi. Yang kedua, untuk kebijakan kesehatan nasional, penting untuk memastikan kesehatan masyarakat miskin. Kalau kita lihat faktor-faktor yang membuat indikator kesehatan Indonesia buruk itu adalah masyarakat miskinnya. Kontribusi masyarakat miskin yang berada di 20% terendah pada indikator kesehatan nasional Indonesia itu tiga sampai empat kali dibanding masyarakat non-miskin. Kalau kita ingin cepat meningkatkan angka nasional kita yang buruk, yang kita perlu naikkan adalah aksesibilitas kesehatan kesehatan bagi masyarakat miskin agar jumlah mereka yang berkontribusi tiga sampai empat kali itu akan cepat turun.
Skema partisipasi ini akan menjadi wajib bagi semua masyarakat dan semua turut membayar. Bagi masyarakat miskin, maka yang membayar adalah negara. Kalau seluruh masyrakat ikut serta dalam skema jaminan kesehatan nasional tetapi dari yang swasta belum ikut, maka mereka dari pihak swasta juga akan ikut serta karena tekanan dari sistem atau pasar. Estimasi kita pada tahun 2019 cakupan jaminan kesehatan nasional akan mencapai sebesar 90%.
Negara maju menggunakan pajak dalam menyediakan jaminan kesehatan nasional dan mereka mengenakan pajak yang tinggi, misalnya negara Skandinavia pajaknya bisa mencapai 60%. Namun, ini masih sulit di Indonesia karena pembayaran pajak di Indonesia masih terkendala. Oleh karena itu, ktia perlu solidaritas sosial. Jaminan kesehatan itu untuk mendorong ekuitas agar semua orang mempunyai tingkat perlindungan yang minimal dalam pelayanan kesehatan. Kalau tidak dibuat suatu sistem, maka akan ada perbedaan-perbedaan dalam pelayanan kesehatan bagi mereka yang berbeda keadaan ekonomi. Sehat itu hak dasar. Yang miskin tidak boleh tertinggal. Yang tidak miskin harus membayar sesuai kemampuan ekonominya.
Pelayanan yang diberikan kepada yang miskin dan tidak miskin adalah sama dan mencakupi segala jenis penyakit dari panu sampai penyakit jantung. Yang berbeda adalah pelayanan tambahan, misalnya apakah mau kamar dengan penyejuk ruangan atau tidak. Namun, orang yang di kelas tiga sekalipun mau operasi jantung terbuka tidak masalah. Hal ini menyebabkan pengeluaran biaya oleh BPJS menjadi sangat besar karena kemurahan hati pemerintah. Namun ini resiko dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu ada subsidi silang dan kelompok produktif yang belum ikut serta dalam BPJS harus ikut.
Keuntungan dari jaminan kesehatan nasional ini masih harus ditingkatkan. Saat ini sedang dirumuskan Coordination of Benefit (COB), atau Koordinasi Keuntungan. Hal ini mengatur bagaimana standar kenyamanan dari yang dulunya hanya menggunakan asuransi komersial tetap bisa dipertahankan dalam skema nasional, dan mengatur bagaimana perusahaan tidak membayar dua polis asuransi.
Mengenai partisipasi publik, semua pemangku kepentingan atau stakeholder harus berperan, terutama dalam hal-hal yang lebih ke hulu seperti intervensi, pola hidup sehat, industri sehat, air sehat, dan lingkungan sehat. Ketika hal-hal di hulu ini tidak berjalan, maka di hilir juga tidak akan berjalan dan bebannya akan lebih berat.
Pada tahun 2012, orientasi kita memang untuk pengobatan-pengobatan di hilir dan menghabiskan sampai Rp 194,99 trilyun. Penanganan untuk di hulu hanya Rp 21,09 trilyun, hanya sekitar 10% dari pengobatan di hilir. Kalau seperti ini, maka terjadi yang namanya efisiensi alokasi atau efisiensi teknis. Kita harus ubah ini. Inilah kebijakan yang sekarang harus dilakukan dan ini lebih banyak ke partisipasi swasta, CSR, dan pemberdayaan masyarakat. Ada studi yang mengatakan kalau ini paradigma sehat berjalan dengan baik, ini bisa menghemat 60% di Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Misalnya, kalau screening semua ibu yang usianya di atas 20 tahun dilakukan dan dapat mendeteksi awal kanker di wanita, maka dapat diambil langkah preventif untuk tidak menjadi kanker sehingga tidak menghabiskan banyak uang dalam pengobatan kanker nantinya.
Dulu pada tahun 1970-an, negara kita menjadi tolok ukur negara lain dalam pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, seperti Posyandu. Tetapi pasca Orde Baru, program-program ini mengalami penurunan. Ini harus dikembalikan lagi. Sekarang ada revitalisasi Posyandu dan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan makro atau pembangunan kesehatan yang sekarang harus berfokus pada paradigma sehat, pemberdayaan masyarakat, dan promosi preventif dengan partisipasi luas dari masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Kita bermimpi ingin membalik piramida dan memperkuat pelayanan di bidang primer atau hulu, prevensi, dan yankes atau layanan kesehatan.
Referensi
Pardede, Donald (2015). Masalah Kesehatan Masyarakat dan Peran Jaminan Kesehatan. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 29 April 2015.
Donald Pardede adalah Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan di Kementerian Kesehatan. Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 29 April 2015.