Dunia terhenyak saat sebuah wabah mirip Flu yang disertai infeksi pernapasan akut dengan kecepatan tinggi menyerang dan memakan korban jiwa. Wabah yang berawal dari Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019 yang kemudian menyebar ke Thailand, Timur Tengah, Perancis dan Australia pada bulan Januari 2020. Penyebaran penyakit yang saat itu masih disebut pneumonia semakin luas, dan munculnya berita kematian akibat ‘Pneumonia’ ini semakin mengejutkan dunia. Kasus kematian pertama di negeri asal ‘Pneumonia’ ini terjadi pada tanggal 11 Januari 2020, dan sebulan kemudian tepatnya 2 Februari 2020 kasus kematian pertama di luar Tiongkok juga terjadi di Filipina.
Pada bulan Februari 2020 WHO memberikan nama COVID-19 untuk virus ini, dan di bulan Maret 2020 menyatakan bahwa COVID-19 adalah wabah dunia atau Pandemi. Bulan Maret dan April menjadi bulan-bulan yang dipenuhi dengan berita jumlah kematian harian pasien COVID-19 yang sangat luar biasa. Pada akhir Maret, negara Spanyol dan Italia melaporkan angka kematian harian akibat virus ini sejumlah 829 kematian di Spanyol dan 889 kematian di Italia, kemudian Amerika menyusul dan menjadi pemegang rekor tertinggi di dunia dengan 2.000 kematian harian pada tanggal 10 April 2020.
Fokus pembangunan dunia pun serentak berubah. Berbagai kebijakan untuk penanganan COVID-19 pun diterbitkan, termasuk anggaran belanja yang sudah disiapkan sebelumnya mengalami refocussing dan revisi agar dapat membiayai program untuk menekan penyebaran sekaligus mengobati para korban kasus COVID-19 yang sudah terkonfirmasi. Perekonomian dunia pun langsung menunjukkan grafik menurun. The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dan analisis dari grup media asal Inggris, The Economist, memperkirakan negara-negara maju dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 ekonomi utama atau G-20 akan mengalami resesi pada tahun 2020. Negara Jerman, Perancis, dan Italia sebagai anggota G-20 dari Eropa yang paling terdampak COVID-19 akan mengalami kemunduran ekonomi sebesar masing-masing minus 6,8%, minus 5% dan minus 7%.
Saat banyak negara di dunia masih bekerja keras melawan pandemi ini, kabar Gelombang Kedua COVID-19 pun mulai merebak. Gelombang Kedua teridentifikasi ketika kurva COVID-19 yang sudah melandai dalam kurun waktu tertentu kembali menaik. Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan termasuk negara yang saat ini sedang menghadapi Gelombang Kedua. Bukan tidak mungkin nantinya Indonesia juga akan terserang Gelombang Kedua, walaupun tren angka kasus konfirmasi COVID-19 sekarang ini masih fluktuatif. Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, angka kasus positif COVID-19 di tanggal 4 Juni 2020 adalah sebanyak 28.818 kasus. Tiga hari kemudian, saat tulisan ini disusun angka tersebut naik tajam menjadi 30.516 kasus.
Penambahan jumlah kasus yang luar biasa ini jelas memerlukan kerja sama dari berbagai pihak dalam upaya penekanannya. Selain menangani sektor Kesehatan yang menjadi sektor paling terdampak sejak awal pandemi ini terdeteksi, pihak berwenang dalam hal ini pemerintah juga harus menjalankan peran yang semakin berat dalam menjaga stabilitas ekonomi yang terpuruk akibat dampak COVID-19. Mencari pembiayaan untuk penanganan COVID-19 sekaligus membagikan logistik bagi masyarakat yang mata pencariannya terganggu karena Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) adalah salah satu tanggung jawab yang juga dijalani.
Pelibatan Multi Pihak dalam bersiap menghadapi Gelombang Kedua bisa dimulai dengan mengidentifikasi peran setiap sisi Pentahelix dalam penanganan COVID-19 selama Gelombang Pertama. Pengindentifikasian ini dapat menggunakan Spektrum Partisipasi Publik dari IAP2 yang terdiri dari Menginformasikan/To Inform, Mengkonsultasikan/To Consult, Melibatkan/To Involve, Mengkolaborasikan/To Collaborate, dan Memberdayakan/To Empower. Kedua, temukan gap antara peran yang sudah dijalankan dan peran yang seharusnya dijalankan untuk mencapai tujuan yang disepakati. Sebagai contoh misalnya mengurangi gap pada pihak yang bertanggung jawab untuk menyebarkan Bantuan Sosial (Bansos) diharapkan akan meminimalisir penyebaran Bansos yang tidak tepat. Sehingga tujuan akhir yang diharapkan yaitu penyebaran Bansos yang tepat sasaran nantinya dapat tercapai. Ketiga, susun rencana program agar dapat mengisi gap tersebut dengan melibatkan berbagai pihak dalam Pentahelix, misalnya dengan membuat aplikasi digital yang memudahkan pencarian titik penyebaran Bansos secara tepat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara bekerja sama dengan pihak yang memiliki data dan kemampuan dalam pembuatan aplikasi. Keempat, melakukan monitoring dan evaluasi agar diperoleh bukti tepat tidaknya penyebaran Bansos sehingga program tersebut teruji akuntabilitasnya.
Kerjasama Multi Pihak juga merupakan roh dari Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan tujuan-tujuan pembangunan yang ambisius dan transformatif, Kerjasama Multi Pihak diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk berbagi peran dalam mencapai seluruh target dan indikator SDGs. Demikian pula dengan penanganan COVID-19, seluruh pihak dapat berbagi peran agar dunia tidak perlu mengalami kejutan menghadapi Gelombang Kedua. ***IS
Referensi: