Isu Gelombang Kedua COVID-19 merebak sejak awal bulan Mei 2020. Kurva melandai penyebaran COVID-19 yang dimiliki oleh Tiongkok pada bulan Maret lalu ternyata pelan-pelan kembali naik dengan adanya kasus infeksi baru. Bahkan Wuhan dikatakan dapat menjadi pusat penyebarannya dan sebagian dari kasusnya adalah imported cases. Imported cases adalah kasus COVID-19 dimana virusnya diperoleh setelah pasien melakukan perjalanan dari negeri terdampak. Hal ini terjadi karena dibukanya isolasi yang telah diterapkan selama dua bulan. Data terakhir per pertengahan April 2020 memperlihatkan kasus harian sebanyak 98 kasus yang merupakan imported cases.
Gelombang kedua COVID-19 juga menjadi perhatian negara tetangga Singapura. Kasus baru pada pertengahan April 2020 menunjukkan angka 386 tanpa imported cases. Situasi ini perkembangannya terbilang baik setelah pada akhir Maret 2020 diberlakukan larangan kunjungan dari luar negeri. Larangan ini dilakukan Pemerintah Singapura karena munculnya data yang menunjukkan 32 dari 49 kasus harian adalah imported cases.
Kasus kenaikan kembali kurva COVID-19 juga terjadi di Korea Selatan baru-baru ini. Negara penemu metode swab test dengan metode drive thru ini menemukan kasus baru minggu kemarin sebanyak 34 kasus, dan disebut-sebut menjadi kasus tertinggi sejak awal April 2020. Kasus ini muncul setelah seseorang dengan positif COVID-19 mengunjungi klab malam di Seoul, dan penyebaran infeksipun kembali terjadi
Fenomena Gelombang Kedua ini mirip dengan kasus bencana alam, misalnya gempa yang diakibatkan pergeseran kerak bumi atau gempa tektonik. Gempa susulan yang kerap kali datang kembali perlu diwaspadai setelah gempa pertama terjadi. Maka tidaklah mengherankan jika dalam protokol penyelamatan diri saat gempa, orang baru bisa bergerak ke titik kumpul yang ditentukan setelah dipastikan tidak ada gempa susulan. Selama masa menunggu tersebut semua orang wajib tetap waspada, misalnya dengan tetap berada di bawah meja untuk melindungi diri ketika berada dalam ruangan.
Logika yang sama sepertinya dapat diberlakukan pada Gelombang Kedua COVID-19 yang saat ini sedang dihadapi, jika boleh disebut demikian. Sambil berjaga jika terjadi gelombang kedua, masyarakat harus tetap waspada dengan menghindari kerumunan, bekerja-belajar-beribadah dari rumah, diam di rumah dan keluar jika memang sangat diperlukan, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga kesehatan. Klise memang, namun berkaca pada kasus gelombang kedua yang terjadi di Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan, meminimalisir mobilisasi orang menjadi penting agar kurva penyebaran bisa kembali melandai. Hal ini menjadi terasa menantang apalagi saat ini Indonesia sedang bersiap menghadapi Hari Raya Idul Fitri dengan tradisinya berkumpul bersama keluarga. Arus mudik bahkan sudah dimulai sejak akhir Bulan April 2020 bertepatan dengan awal Bulan Ramadhan.
Perilaku-perilaku waspada tersebut dalam Kajian Kebencanaan masuk dalam Tahap Pra Bencana (dalam hal ini sebelum Gelombang Kedua) dimana semua masyarakat disiapkan untuk mencegah sekaligus juga bersiap-siaga jika terjadi Gelombang Kedua. Perlu diakui bahwa tahapan kesiapsiagaan ini terlewatkan karena Gelombang Pertama COVID-19 datang dengan sangat cepat. Tahap ini juga bisa menjadi saat yang tepat untuk melihat kembali apakah penanganan COVID-19 yang sudah dilakukan memberikan dampak yang signifkan. Apakah modal sosial yang terbentuk benar-benar mendukung program utama yang ditetapkan Pemerintah?
Spektrum Partisipasi Publik IAP2 dan tujuan serta target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dapat digunakan sebagai alat ukur komprehensif untuk menilai situasi-situasi ini. Spektrum Partisipasi Publik IAP2 yang terdiri dari Menginformasikan/To inform, Mengkonsultasikan/To consult, Melibatkan/To Involve, Mengkolaborasikan/To Collaborate, dan Memberdayakan/To Empower dapat memberikan gambaran mengenai tingkatan partisipasi para pihak dalam Penta Helix (Pemerintah, Akademisi, Swasta dan Filantropi, Organisasi Masyarakat dan Media) saat gelombang pertama COVID-19 melanda.
Penanganan wabah Corona yang mendunia ini tentunya tidak bisa lepas dari prinsip Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama untuk Kerjasama Multi Pihak yang mendorong agar semua pihak dapat bergandengan dan berjalan bersama demi pembangunan yang lebih lestari. Hal ini secara jelas terlihat di hampir seluruh tujuan dan target TPB, terutama TPB 17: Kerjasama Dalam Mencapai Tujuan. Kerjasama Multi Pihak (KMP) terbukti juga menjadi strategi dalam penanganan pandemi ini baik di tingkat lokal, nasional dan regional. Contoh terbaru dari praktik KMP ini adalah kesepakatan negara anggota ASEAN dalam menghadapi COVID-19. Kedua alat ukur ini tentunya membantu kita untuk lebih bersiap dan waspada terhadap serangan gelombang kedua COVID-19, sambil memperkuat upaya yang sudah dilakukan pada saat menghadapi gelombang pertama.
WHO menyebutkan Pandemi ini adalah pandemi pertama dalam sejarah yang dapat dikontrol melalui langkah menemukan-mengisolasi-menguji-mengobati. Namun demikian bukan berarti masyarakat tidak perlu waspada dan bersiap dalam menghadapi serangan gelombang kedua. Kewaspadaan di tengah pandemi memang membutuhkan kesadaran yang kolektif dan kita sudah berada di dalamnya. Langkah berikut yang penting untuk dilakukan adalah dengan mempertahankan kewaspadaan dan modal sosial yang ada, hingga kita dapat bergerak ke “titik kumpul” yang aman. Semoga.***IS
Sumber
- https://international.sindonews.com/read/23393/40/infeksi-meningkat-presiden-korsel-ingatkan-soal-gelombang-kedua-covid-19-1589101558
- https://tirto.id/mengapa-cina-dan-singapura-terancam-gelombang-kedua-corona-eMZ5
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4933854/kasus-corona-di-ri-jadi-27-dari-imported-case-hingga-local-transmission/komentar
- https://international.sindonews.com/read/22405/41/who-virus-corona-adalah-pandemi-pertama-yang-dapat-kita-kontrol-1589004337
- Foto, “https://www.freepik.com/free-vector/illustration-with-flatten-curve-concept_8256870.htm“