New Normal Life, Siapa Takut?

Manusia diberi kelebihan kemampuan untuk beradaptasi dalam berbagai situasi, atau Charles Darwin menyebutnya dengan istilah Survival of the Fittest. Dunia Fashion yang selalu muncul dengan tren berdasarkan musim adalah contoh terdekat dari kemampuan beradaptasi. Misalnya,  agar dapat nyaman beraktivitas selama musim dingin, maka muncul jaket yang tebal dimana pemakainya masih bisa tampil dengan penuh gaya. Musim panas pun ditandai dengan model pakaian yang nyaman bagi penggunanya karena menggunakan material yang dapat menyerap keringat  disertai corak dan warna yang bervariasi.

Global Shock yang melanda dunia dalam kurun waktu lima bulan terakhir seakan menguji kemampuan manusia dalam melakukan adaptasi ini.  Global Shock yang bernama COVID-19 ini memiliki gejala awal yang sangat mirip dengan sakit ‘flu’ membuat orang-orang mengganggap infeksi dari Virus Corona yang bermutasi ini adalah ‘flu’ jenis baru. Layaknya perlakuan dan pengobatan terhadap flu, awalnya masyarakat beranggapan jika mereka terinfeksi akan sembuh  dengan sendirinya, bahkan juga dipercaya virus akan mati di cuaca yang panas. Perhatian dunia baru tertuju setelah korban jiwa pelan-pelan mulai berjatuhan di Wuhan, Tiongkok dan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkannya sebagai Pandemi atau wabah dunia.

Kebijakan untuk Di Rumah Saja dan melakukan aktifitas seperti Belajar-Bekerja-Beribadah dari Rumah, Gerakan Mencuci Tangan, Menjaga Jarak dan Menggunakan Masker adalah berbagai cara Pemerintah serta jajarannya untuk beradaptasi menghadapi Global Shock, dan berlaku bagi seluruh pihak. Akan tetapi dalam pelaksanaanya ternyata tidak mudah, terutama bagi mereka yang ranah kerjanya selalu bertemu banyak orang. Kesadaran mencuci tangan ternyata di beberapa tempat tidak disertai dengan tersedianya sabun, cairan anti-septik, dan akses terhadap air bersih. Belajar di rumah menjadi ujian bagi para ibu dalam mendampingi anak-anak untuk belajar dan juga dukungan terhadap ketersediaan sarana pendukung utama berupa listrik dan jaringan Internet, Penerapan Work from Home bagi pekerja membutuhkan manajemen waktu yang tangguh agar semua deadline terpenuhi dan beribadah dari rumah masih menjadi polemik bagi semua penganut ajaran agama.

Sederet dinamika sosial ini setidaknya telah berlangsung selama tiga bulan terakhir di Indonesia sejak ditetapkannya pandemi ini. Berdasarkan penelitian terkait membentuk kebiasaan baru yang diterbitkan oleh European Journal of Social Psychology, disebutkan bahwa manusia membutuhkan waktu antara 18 -254 hari untuk membentuk kebiasaan baru atau rata-rata dalam kurun waktu 66 hari.  Jika merujuk pada kebiasaan yang sudah berlangsung sekitar tiga bulan diatas, mungkin bisa dibilang kita semua sudah beradaptasi dan masuk ke tahap untuk menjadikan kebiasaan-kebiasaan tadi menjadi perilaku baru atau hidup normal yang baru (new normal life).

New Normal Life menjadikan masyarakat  terbiasa menggunakan masker saat bepergian ke luar rumah, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan selalu mencuci tangan, melakukan pertemuan/rapat dan belajar daring menjadi sesuatu hal yang biasa. New Normal Life seharusnya dapat membuat individu menjadi sangat produktif selama berada di rumah. Satu hal yang perlu diperhatikan dari hasil adaptasi ini adalah munculnya inovasi yang memberi ruang bagi peluang-peluang usaha baru, misalnya keberadaan vendor-vendor masker berbasis rumah tangga atau komunitas dengan produk masker yang lebih bergaya dan trendi. Hal ini kemudian berimbas pada berputarnya perekonomian masyarakat. Rapat dan belajar daring telah mengaktivasi aplikasi-aplikasi penunjang kedua aktivitas ini yang mungkin pada awalnya dipandang tidak terlalu perlu. Seiring berjalanya waktu, aplikasi-aplikasi tersebut menjadi alat utama komunikasi bahkan bisa dipakai dan diterapkan di lingkungan keluarga, penunjang proses kreatif bagi para seniman dan proses beribadah bagi para pemuka agama.

Pandemi COVID-19 jelas membuka ruang partisipasi publik dalam menekan penyebaran Virus Corona di masyarakat melalui gerakan kecil seperti diam di rumah dan mencuci tangan yang dilakukan oleh semua orang tanpa pandang bulu.  Gerakan kecil namun merupakan bentuk kerjasama atau kolaborasi yang memberikan kontribusi yang sangat berarti karena dapat menekan kurva penyebaran COVID-19.

Kerjasama atau Kolaborasi memang menjadi kata kunci yang tidak pernah basi untuk digaungkan. Apalagi Bangsa Indonesia menjadi besar karena saling menolong dan gotong royong. Nilai dan tatanan baik ini  telah terpelihara sejak dahulu kala dikalangan masyarakat secara turun temurun.

Spektrum ke-4 Partisipasi Publik IAP2 juga memiliki tempat khusus untuk Kerjasama atau Kolaborasi, : To Collaborate. Spektrum ini menerangkan situasi dimana Pemeritah bermitra dengan masyarakat untuk bersama-sama bergerak dalam penanganan wabah.

Hal ini juga sejalan dengan Agenda Pembangunan Global yang berakhir 2030. Agenda yang berisikan tujuan-tujuan pembangunan guna menjadikan kehidupan umat manusia lebih baik dengan memperhatikan sisi masyarakat, sisi lingkungan, dan sisi ekonomi (pilar pembangunan berkelanjutan). Dalam pelaksanaannya,kerjasama ditempatkan sebagai jiwa yang menggerakan seluruh pihak di seluruh dunia untuk bergerak sambil bergandengan tangan menuju arah pembangunan yang lebih lestari dan bertanggung jawab.

Pandemi COVID-19 sudah membuat Dunia beradaptasi dan berinovasi dengan membentuk tatanan baru yang bernama New Normal Life, namun bukan berarti kita melupakan nilai dan tatanan yang sudah ada. Bukankah malah memperkuat dan meneguhkan nilai dan tatanan tersebut, Setuju?***IS

Sumber:

  1. https://jawapos.com/opini/22/04/2020/virus-bermutasi-manusia-beradaptasi/
  2. https://www.healthline.com/health/how-long-does-it-take-to-form-a-habit#base-figure
  3. Foto, “Designed by makyzz / Freepik
Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *