Timotheus Lesmana Wanadjaja – Apa yang dilakukan dunia usaha dalam rangka partisipasi publik untuk perubahan iklim demi menunjang dunia yang lebih baik? Salah satu yang dilakukan adalah Greenhouse Gas Protocol atau Protokol Gas Rumah Kaca. Kalau orang mendengar mengenai gas rumah kaca, maka kita akan teringat apa yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009, yaitu komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi 25% tanpa dana dari luar dan kalau ada dana dari luar maka mengurangi emisi sebesar 41%. Itu sesuatu yang dianggap baik di mata dunia. Tetapi perlu kita lihat, akhirnya komitmen itu menjadi tanggung jawab untuk kita semua untuk mencapai target itu kalau kita mau dianggap memegang komitmen. Konsekuensi bukan hanya pada masyarakat, tetapi dunia usaha juga untuk bagaimana mencapai hal tersebut.
Greenhouse Gas Protocol ini diciptakan oleh World Business Council for Sustainable Development yang terdiri dari perusahaan-perusahaan terkenal di dunia dan diluncurkan pada tahun 1998. Proses pengembangan protokol ini tidak hanya dikembangkan oleh dunia usaha semata, tetapi juga melibatkan NGO, perusahaan, dan pemerintah dari beberapa negara dimana perusahaan terlibat.
Sebenarnya menerapkan GHG Protocol itu yang paling penting baseline atau garis dasarnya. Ketika kita berbicara mau menurunkan emisi 25%, yang pertama kita harus tahu adalah dimanakah posisi kita saat ini sehingga bisa menurunkan 25%? Kemudian misi GHG Protocol ini untuk membentuk suatu standar global untuk mengukur, mengelola dan membuat laporan mengenai emisi gas rumah kaca dari setiap industri. Tujuan dari pelaksanaannya adalah untuk mencapai efisiensi, resiliensi, dan kesejahteraan dari industri itu sendiri.
GHG Protocol Initiative mengadopsi dari beberapa standar yang ada, dimana ada banyak sekali di dunia. GHG Protocol bertujuan untuk membangun kapasitas akunting dari perhitungan gas rumah kaca untuk industri. Ini juga ke depannya akan mendukung industry yang produknya sebagian besar di-ekspor karena dari pasar global akan menuntut tahu berapa perhitungan gas rumah kaca dari produk tersebut. Contohnya, untuk selembar kertas akan mereka tanya jumlah konsumsi air yang digunakan, dan apakah ada pengurangan di tahun berikutnya.
GHG Protocol juga bertujuan untuk mencatat emisi dan pengurangan emisi setiap tahunnya dari proses produksi tersebut. Kalau pemerintah menargetkan pengurangan emisi sebesar 25%, maka bagaimana alokasinya ke setiap sektor? GHG Protocol adalah salah satu alat untuk kita mengetahui sudah berapa persen yang dicapai untuk mencapai tingkat global yang dijanjikan pemerintah terkait perubahan iklim.
GHG Protocol juga mendukung GHG Trading Program, tetapi mungkin ini sulit karena carbon trading atau perdagangan karbon belum terlalu aktif walau sudah ada Asosiasi Pedagang Karbon Indonesia.
Kegunaan GHG Protocol juga untuk memberikan informasi atau data kepada investor dan stakeholder. Seringkali GHG Protocol ini jadi penyedia data bagi investor bila diperlukan. Laporan GHG, atau gas rumah kaca, diperlukan perusahaan untuk identifikasi resiko, misalnya resiko gagal panen di kebun kelapa sawit karena perubahan iklim.
GHG Protocol dapat mengurangi dampak dari pengaruh global dan juga menghemat biaya. Kalau perusahaan sudah melakukan kegiatan yang sustainable atau berkelanjutan, dalam jangka panjang dapat menekan biaya. Inisiatif dalam GHG Protocol juga dapat memberikan Public Relations atau PR yang baik untuk perusahaan.
Lalu, bagaimana kita mengukur emisi gas rumah kaca? Kita bisa mengukurnya dari proses produksi, baik proses langsung dan tidak langsung. Proses langsung adalah proses dari awal barang datang sehingga keluar dari pabrik. Tapi untuk mengukur emisi, tidak hanya di dalam tetapi juga keseluruhan supply chain atau rantai pasokan sebelum dan sesudah proses produksi di pabrik, yaitu dari bahan baku, transportasi, vendor, sampai distribusi barang jadi.
Ada cakupan-cakupan, atau scope, dari emisi tidak langsung. Scope 1 adalah di dalam pabrik. Scope 2 itu listrik yang digunakan. Scope 3 adalah proses produksi di luar pabrik dan selain listrik. Ada alat-alat, atau tools, untuk menghitung scope 1, 2, dan 3, termasuk di ruang kerja masing-masing orang. Misalnya, komputer dimatikan atau tidak pada saat istirahat.
Saat ini lagi dikembangkan bagaimana emisi bisa dipakai lagi menjadi energi. Misalnya, gas metan dikembangkan menjadi energi terbarukan di kebun. Jika ini bisa dilakukan, maka energi akan bisa dipakai terus secara efisien dan menghemat biaya sehingga keuntungan naik dan zero waste.
Saat ini sektor terkuat yang telah menggunakan GHG Protocol adalah industri semen. Mereka sudah memiliki hitungan untuk emisi gas rumah kaca dalam industri mereka. Oleh karena itu, dapat diketahui siapa yang paling efisien di industri semen. Jadi kalau bank hendak mendukung perusahaan semen baru, pihak bank dapat menanyakan penerapan GHG Protocol-nya. Selain industri semen, sektor lainnya yang telah maju dalam penggunaan GHG Protocol adalah petroleum dan aluminium.
Kita melihat bahwa GHG Protocol memiliki manfaat besar bagi industri dan juga berdampak positif pada perubahan iklim. Saat ini hitungan-hitungan yang digunakan masih dalam tingkat global dan tidak semua dapat diguankan di Indonesia. Rencana kita adalah untuk membuat GHG Protocol versi Indonesia.
Referensi:
Wanadjaja, Timotheus Lesmana (2015). Greenhouse Gas Protocol. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 25 Maret 2015.
Timotheus Lesmana Wanadjaja adalah Direktur Pelaksana di Pusat Produksi Bersih Nasional. Beliau sebelumnya pernah menjabat sebagai Head of Corporate Sustainability di Sinar Mas Group. Beliau juga terlibat dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) sebagai pengurus. Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Maret 2015.