Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Hutan dan Pentingnya Partisipasi Publik

deforestasi, mitigasi perubahan iklim

Nur Masripatin – Perubahan iklim ini isu berbasis sains. Bahkan setiap keputusan yang menyangkut teknis metodologi selalu diawali panduan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Ada juga dimensi lokal dan nasional. Ada juga muatan politis yang sangat tinggi dan ekonomi yg mendorong arah negosiasi.

Kemudian berdasarkan pengalaman di nasional ataupun internasional, pengambilan keputusan yang efektif dalam upaya menangani dampak perubahan iklim tidak terlepas dari tata kelola, etik, dan value judgment. Hal yang harus dipertimbangkan juga adalah faktor ekonomi serta keberagaman persepsi dan respon ke resiko dan ketidakpastian yang terlibat. Dalam partisipasi publik, keberagaman persepsi pengetahuan juga menentukan seberapa efektif partisipasi publik. Efektivitas dari aksi mitigasi itu sendiri tergantung kejelasan kebijakan. Hal ini terkait pada pesan dari berbagai level dan partisipasi berbagai pihak, dukungan finansial, teknologi, dan peningkatan kapasitas.

Kalau kita melihat gas rumah kaca dalam level global, lima tahun lalu IPCC Report mengatakan bahwa emisi global pada waktu itu adalah 483 ton per tahun. Itu pun ada peringatan kalau harus ada target ambisius untuk mengurangi emisi terutama dari negara maju. Di sini kontribusi dari agrikultural, kehutanan (forestry) dan penggunaan lahan (land use) ini sebesar 24%, meningkat dari sebelumnya. Sumber gas rumah kaca itu terbesar dari CO2  atau fossil fuel dan proses industri, dan tentunya sumber-sumber ini lebih banyak dari negara maju. Kemudian yang kedua dari forestry dan land use, dan yang ini umumnya dari negara berkembang. Kontribusi negara berkembang pada emisi dari forestry itu sebesar 75%.

Untuk level internasional, pada bulan Desember 2015 akan diadakan UN Climate Change Conference, COP 21, di Paris. Pada pertemuan itu akan dinegosiasikan greenhouse gas pathway atau jalur gas rumah kaca. Hal ini terkait seberapa masing-masing negara itu bisa berkontribusi agar kita bisa mempertahankan level emisi kita pada level 450 ppm dan dengan itu mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius. Yang berat dalam komitmen ini adalah faktor ekonomi, apalagi negara berkembang masih dalam proses pembangunan.

Untuk level nasional, berdasarkan Second National Communication (SNC) 2012, kontribusi forestry ke gas rumah kaca sebesar 46%. Ini belum termasuk kebakaran gambut dan pertanian. Jadi di sana terlihat begitu greenhouse gas inventory kita memasukkan CO2 dan kebakaran gambut, maka total emisi gas rumah kaca kita melonjak dua kali lipat.

Peran hutan sendiri ini unik. Ini tidak seperti di sektor lain yang mitigasi fokus ke pengurangan emisi. Di sektor hutan terdapat dua sisi: (1) mengurangi emisi dan (2) meningkatkan serapan. Meskipun faktanya kecepatan kita menanam atau meningkatkan serapan tidak secepat kita merusaknya. Oleh karena itu, menekan emisi dan melindungi itu sangat penting juga, tidak hanya tanam menanam.

Mengapa sektor hutan dan lahan sangat penting di Indonesia? Hal ini dikarenakan kawasan hutan kita by law adalah 70%, meskipun banyak yang sudah tidak berhutan juga dan banyak yang sudah dirambah. Di tingkat nasional, ini adalah sektor strategis untuk mendukung pembangunan sektor lain karena semua sektor berbasis lahan di luar kehutanan, larinya pasti akan ke kawasan hutan. Di tingkat internasional, karena meskipun di tingkat global emisi terbesar dari energi, kalau di Indonesia di sektor berbasis lahan. Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan pantai yang sangat panjang, dan itu rendah dan sangat rentan ke peningkatan permukaan air laut karena peningkatan temperatur. Kemudian dengan luasan hutan sebanyak itu, tentunya di satu sisi akan ada emisi yang besar sekali. Di sisi lain, kalau kita mengelola dengan baik, maka suatu hari kita bisa bergeser dari sumber emisi.

Dari sisi pemerintah, terdapat dilema dalam fokus mitigasi. Apakah perlu fokus ke wilayah gambut tinggi saja atau seluruh Indonesia? Hal ini ternyata tidak mudah. Pada era Pak Prakorso, Menteri Kehutanan 2001-2004, beliau ingin fokus di beberapa wilayah saja. Tetapi ternyata tidak mudah berurusan dengan DPR, konstituen, sehingga harus seluruh negeri dicakup. Hal ini membuat sulit untuk mengetahui daerah mana yang sukses karena sumber daya yang terbatas disebar kemana-mana.

REDD+ ini sebenarnya mekanisme internasional yang kalau Indonesia mau menggunakan sebaik-baiknya adalah kendaraan untuk meningkatkan tata kelola hutan kita. Kita bicara tentang carbon benefits, atau keuntungan karbon, seperti pengurangan emisi, konservasi karbon dan peningkatan stok karbon. Kalau non-carbon benefit, atau keuntungan non-karbon, termasuk biodiversitas, layanan lingkungan, peningkatan kapasitas, keterlibatan masyarakat, dan aspek sosial lainnya terkait penghidupan (livelihood) dan tenurial.

Dari sisi persiapan infrastruktur REDD+, Indonesia sudah sangat maju, tetapi kurang adanya koordinasi dan sinergi antar sektor dan antara pusat dan daerah. Indonesia sudah punya strategi nasional, dokumen, dan data berbasis sains, tetapi ada yang terlupakan, yaitu isu kepentingan antar sektor yang kemudian perlu dikoordinir oleh BP-REDD+. Sistem pengawasan dan Safeguard Information System pun Indonesia sudah ada. Keuangan berada di luar mekanisme APBN, dan sebenarnya untuk REDD ada mekanisme ready fund for REDD+ Indonesia yang bisa saling melengkapi dengan APBN, tetapi itu bubar dengan bubarnya BP-REDD+. Indonesia juga banyak membangun metodologi saintifik. Namun sayangnya banyak yang tidak terbit atau hanya diterbitkan dalam jurnal nasional sehingga tidak terambil oleh IPCC.

Dalam proses negosiasi penanganan perubahan iklim dalam tingkal internasional, seperti di UNFCCC, seringkali pihak pembuat keputusan atau pelaksana mendikotomikan apa yang dinegosiasikan di UNFCCC dengan apa yang kita lakukan, padahal seharusnya keduanya berhubungan. Ketika kita bernegosiasi di tingkat internasional, kita membawa isu lokal dan nasional kita ke meja negosiasi. Namun, perlu diingat bahwa ada isu nasional yang seharusnya diselesaikan di tingkat nasional tanpa perlu dibawa ke tingkat internasional. Lalu kesepakatan yang dibuat di level internasional perlu diterjemahkan ke konteks lokal kita.

Kebijakan mitigasi dan adaptasi sendiri dalam konteks pembangunan nasional diikutsertakan oleh Bappenas dalam RPJN 2014-2019. Kita perlu mengingat juga bahwa sebagai negara berkembang, kita memiliki kesempatan untuk menggunakan dana-dana internasional yang memang sesuai kesepakatan harus disediakan oleh negara maju, kecuali Indonesia memutuskan kita tidak perlu dukungan internasional.

Menurut data yang dipakai untuk menyusun level emisi hutan untuk REDD+, ada penurunan emisi dari hutan alam dari tahun 2000 ke tahun 2011. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti soft landing policy dan moratorium di beberapa tahun terakhir ini. Kalau kita lihat REDD+ Indonesia, mitigasi di sektor hutan tidak terlepas dari isu pembangunan, lintas sektor, isu tata kelola dan peran para pihak. Peran para pihak merupakan kewajiban dalam negeri dan juga karena proses yang kita sepakati di internasional adalah engagement semua stakeholder, termasuk indigenous people dan masyarakat lokal.

Kebijakan yang ideal itu yang sudah melalui konsultasi publik. Kemudian daerah perlu memberikan masukan baik dari pengalaman implementasi ataupun ide dari daerah. Salah satu tantangan dalam proses REDD+ adalah bagaimana melibatkan publik, termasuk ketertarikan dari publik, kapasitas, kemudian identifikasi. Sebenarnya kalau kita bawa isu tertentu, seperti level emisi yang sarat dengan saintifik, tidak semua akan mengerti. Maka kita harus menentukan siapa saja yang kita harus dilibatkan, dan ini merupakan tantangan kami.

Keseluruhan tahap implementasi REDD+, bahkan penanganan adaptasi dan mitigasi, perlu partisipasi semua pihak. Mitigasi dan adaptasi di satu sektor selalu terkait dengan sektor lain, terutama yang banyak kaitannya dengan sektor berbasis lahan dan hutan, seperti ketika sektor lain perlu tambahan lahan, ada tambang dalam hutan, sumber daya energi dalam hutan, dan sebagainya. Ini kaitan antar sektor yang sangat kuat. Kemudian juga adanya kepentingan yang beragam antar kelompok di dalam sektor maupun antar sektor. Berdasarkan pengalaman, efektifitas keterlibatan para pihak itu juga ternyata sangat tergantung pada pemahaman para pihak dan keinginan untuk menerima perbedaan dalam modalitas kerja. Misalnya, cara kerja pemerintah mungkin berbeda dengan masyarakat adat, dan perlu ada saling pengertian dan toleransi dalam hal ini.

Referensi
Masripatin, Nur (2015). Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Hutan dan Pentingnya Partisipasi Publik. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 25 Maret 2015.

Nur Masripatin adalah Deputi Tata Kelola dan Hubungan Kelembagaan Badan REDD+ sebelum  dilebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini beliau adalah anggota Tim Penanganan Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Maret 2015.

Author

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *