Syarifah Aini Dalimunthe – Banyak ide untuk melibatkan masyarakat untuk mengurangi efek rumah kaca karena aktivitas manusia berkontribusi besar pada bertambahnya CO2 di atmosfer. Sebuah penelitian baru-baru ini melihat dari sisi antropologi mengenai efek manusia kepada lingkungan. Penelitian ini dilakukan pada Hari Raya Nyepi di Bali. Dari penelitian itu ditemukan bahwa pada saat Nyepi ternyata ada pengurangan 33% emisi gas selama satu hari ketika tidak ada. Ini bukti kalau manusia memang banyak kontribusinya kepada emisi gas rumah kaca.
Kalau kita berbicara mengenai gas rumah kaca, maka kita berbicara mengenai dampak pada iklim, naiknya permukaan laut, dan dampak pada temperatur. Kelompok masyarakat yang paling terkena dampak-dampak ini adalah masyarakat yang terpinggirkan.
Misalnya, di Jakarta Utara hidup seorang Mpok Neneng. Ia tinggal tidak jauh dari Baywalk Pluit, yang merupakan mall seperti di Singapura. Tapi kalau kita turun dari mall itu akan ketemu perkampungan nelayan. Mpok Neneng adalah seorang istri nelayan dan punya dua anak yang mau masuk SMP. Kehidupannya semakin sulit dalam 10 sampai 15 tahun terakhir karena kemampuan menangkap ikan semakin sulit. Cuaca tidak menentu, terutama karena untuk mengeringkan ikan perlu waktu lama. Penghasilan pun jadi terganggu. Akhirnya mereka menyerah dan membuka warung. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Kalau bicara mengenai naiknya permukaan laut, maka berhubungan dengan banjir. Kalau banjir, mereka tidak punya akses ke bantuan karena tidak punya KTP dan bukan asli daerah sini. Ada 10,5 juta masyarakat miskin di perkotaan menurut data BPS tahun 2015.
Selain itu ada masyarakat hutan. Misalnya, kelompok tiga dara yang kita bisa temui di Kenasau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Mereka bagian dari aktivitas REDD+ di sana. Mereka bisa mendapat kehidupan yang layak karena banyak bantuan dari NGO internasional atau pemerintah pusat. Tapi apa mereka mengerti mengenai perubahan iklim? Apa mereka mengerti bagaimana mitigasi dan adaptasi? Ada 12 juta orang yang hidup di desa sekitar atau dalam hutan desa. Dua belas juta ini kecil, tapi kalau semua tidak tahu cara adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, ini akan jadi katastrofi yang sangat berdampak pada Indonesia.
Dari riset mengenai respon Indonesia terhadap perubahan iklim, 55,7% tidak tahu cara merespon. Ini termasuk tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketika saya melakukan riset dengan BBC Media Action terhadap 5.000 responden, kami tidak bertanya mengenai gas rumah kaca atau perubahan iklim. Mereka tidak tahu “perubahan iklim”, tapi mereka sadar akan adanya perubahan cuaca, lingkungan, ketersediaan sumber daya dan energi. Pendekatan inilah yang kami lakukan.
Di Indonesia, mereka bilang kenaikan curah huan itu sangat ekstrem, terutama daerah-daerah yang punya hutan hujan tropis. Lalu apa penyebabnya menurut persepsi masyarakat? Ternyata 72% bilang deforestasi. Selain deforestasi, mereka bilang pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia. Ada 30% yang bilang itu kehendak Tuhan, itu sudah alami dan kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Konsep-konsep fatalitis seperti ini masih ada di masyarakat. Kita harus melakukan pendekatan khusus pada masyarakat.
Dalam hal penyampaian informasi, Artikel 6 dalam UNFCCC sudah memandatkan bahwa dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, setiap negara yang sudah ratifikasi harus melakukan penyampaian informasi ke kelompok-kelompok rentan di wilayahnya. Kalau kita bicara di kelompok pembuat informasi seperti media, mereka akan bilang perubahan iklim ini isu yang sulit disampaikan, tingkat tinggi, sulit dikemas, dan rating rendah. Salah satu TV nasional bilang mereka takut memasukkan pesan perubahan iklim atau bahkan advertorial mengenai itu karena itu akan menurunkan rating dan tidak ada harganya untuk pengiklan. Jadi sulit untuk membuat ini sebagai gerakan masif.
Lalu apa yang dipahami masyarakat? Kita lihat di Jakarta sudah banyak komunikasi mengenai meningkatkan kesadaran masyarakat, seperti ketika Car Free Day banyak NGO menyampaikan mengenai bike to work, tanam pohon, dan inisiatif lainnya. Tapi itu hanya menyentuh masyarakat menengah ke atas di perkotaan. Lalu bagaimana yang lain seperti Mpok Neneng dan tiga dara? Ternyata hanya 51% masyarakat miskin perkotaan pernah mendengar mengenai perubahan iklim. Dari 51%, hanya 3% pernah mendengar mengenai prakiraan cuaca dan 6% yang berlangganan informasi peringatan dini. Kalau di masyarakat hutan, seperti di daerah REDD+, persentasenya lebih besar yang tidak mengetahui kampanye untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu sekitar 63%. Rata-rata akan bilang bahwa mereka pernah mendengar tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Apa yang akan memotivasi masyarakat untuk mau melakukan aksi? Ternyata aksi itu harus punya tiga pesan: hidup lebih sehat, masa depan cerah, dan peduli lingkungan. Tapi peduli lingkungan perlu peer pressure yang sangat besar dari komunitasnya. Jadi yang paling akan laku dijual di masyarakat itu hidup lebih sehat dan masa depan cerah untuk anak-anaknya, agar masyarakat bersedia untuk aksi mandiri. Menurut penelitian, dampak terbesar perubahan iklim adalah dampak pada kesehatan dan pendapatan.
Faktor penghalang ada tiga, dan merupakan hal klasik tetapi tetap ada. Masyarakat mengharapkan dukungan pemerintah, yaitu sekitar 84% dari responden. Lalu apa yang bisa mereka lakukan? Mereka maunya bergerak secara komunal dibandingkan aksi individual. Misalnya dalam satu RT, seorang ibu mengurangi penggunaan listrik. Itu akan sedikit diikuti oleh anggota komunitas lainnya, dibandingkan satu kelompok arisan melakukan hal yang sama. Kegiatan kelompok arisan akan menghasilkan dampak yang lebih besar di kampung tadi.
Dalam medium penyampaian informasi, menurut hasil penelitian, media massa adalah faktor penyampai yang paling sesuai karena hampir 97% orang Indonesia menonton TV. Tapi kalau kita bilang media massa, radio sepertinya bukan media yang tepat. Walaupun mereka masyarakat yang terpinggirkan dan tinggal di tengah hutan seperti tiga dara, dimana mereka harus beli bensin 4 liter untuk nonton TV, mereka lebih memilih itu daripada radio. Jadi dari riset British Board, memang ada penurunan penggunaan radio. TV adalah salah satu medium yang bisa dijadikan sebagai cara penyampaian informasi. Telepon genggam memiliki kesempatan yang sama dengan televisi. Tidak harus smart phone, tetapi yang monochrome juga bisa jadi medium penyampai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Selain media massa, ternyata ketua atau kelompok masyarakat seperti RT, RW, dan pemuka agama di satu wilayah merupakan salah satu faktor penyampai informasi yang paling dipercayai masyarakat. Misalnya di hutan Riau, kalau ada orang dari luar wilayahnya datang dan langsung menyasar masyarakat, mereka tidak akan dipercaya. Penyampai informasi harus pergi ke kepala RT, kepala RW, kepala desa atau kepala adat, dan mereka inilah yang akan bicara di forum desa. Jadi RT dan RW harus disasar terlebih dahulu sebelum kita langsung menyasar warga, sesuai dengan hirarki masyarakat.
Kelompok dari sektor swasta ini yang paling sedikit dipercayai masyarakat. CSR mungkin lebih menyasar ke kelompok-kelompok tertentu yang bukan termarginalkan. Sebenarnya, ada peluang besar bagi pihak swasta untuk bisa menyampaikan pesannya, tetapi harus dengan cara yang tepat.
Kalau kita berbicara kepada masyarakat miskin perkotaan, kunci-kunci utama yang harus dilakukan ketika berdiskusi dengannya adalah dampak di masa datang, alternatif pencaharian, dan informasi pendidikan anaknya, karena mereka lebih peduli mengenai masa depan anaknya ketika mendapat informasi adaptasi dan mitigasi.
Kalau kita berbicara kepada masyarakat di hutan, kunci-kunci pokoknya adalah kesehatan dan alternatif pendapatan. Misalnya, mereka akan bekerja ilegal di Malaysia ketika tidak bisa dapat ikan kalau air naik. Kalau kita bisa mengatasi hal ini, maka kita bisa mengurangi imigran ilegal dan juga konservasi hutan tropis Indonesia.
Dari semua cerita tadi, masih ada harapan besar yang muncul. Tidak semua masyarakat menunggu bantuan pemerintah. Salah satu reponden berkata bahwa kita sebagai bangsa memiliki kemampuan bekerja secara bersama-sama tanpa menunggu bantuan pemerintah. Hanya perlu katalis kecil sebagai masyarakat untuk mereka aktif.
Referensi
Dalimunthe, Syarifah Aini (2015). Menyasar yg terlupakan: Mengemas pesan adaptasi perubahan iklim bagi kelompok marginal. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 25 Maret 2015.
Syarifah Aini Dalimunthe adalah peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Maret 2015.