Partisipasi Publik Dalam Penanganan Covid-19

partisipasi publik dalam penanganan covid-19

Oleh : Aldi Muhammad Alizar dan Yusdi Usman

Corona (covid-19) menjadi virus yang menakutkan, padahal ia hanya sebuah virus seperti virus-virus lainnya. Tingkat kematian dari virus ini juga rendah, tidak setinggi virus-virus lainnya. Tingkat kematian virus SARS (2002-2003) adalah 9,6%, virus MERS (2012-2019) adalah 34,4%, dan virus Ebola (2014-2016) sebesar 25% sampai 90%. Sementara tingkat kematian virus corona secara global sekitar 11% sampai akhir Maret 2020. Namun demikian ini baru angka sementara, karena kemungkinan untuk penyebaran virus corona ini masih akan terus berlangsung dalam beberapa bulan ke depan (prediksi dari para ahli).

Bedanya lagi adalah untuk wilayah yang terdampak dari virus-virus tersebut. SARS menyebar di 26 negara, MERS di 27 negara, dan Ebola hanya di beberapa negara di Afrika Barat. Sementara virus covid-19 sudah menjalar ke 204 negara dalam tiga bulan ini. Penyebaran covid-19 yang sangat cepat ini membuat sejumlah negara menerapkan kebijakan lockdown untuk memutus rantai penularan secara lebih luas. Bahkan, sejumlah ahli memperkirakan wabah covid-19 akan menjadi pemicu lahirnya depresi ekonomi global, dimana sejak tahun lalu resesi ekonomi juga telah terjadi.

Di tingkat pencegahan, ada beberapa pendekatan yang dilakukan secara global, yakni menerapkan pendekatan social distancing, stay at home, cuci tangan dengan sabun (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat / PHBS), dan memakai masker jika keluar rumah terutama bagi yang kurang sehat. Terlihat bahwa semua pendekatan dalam pencegahan covid-19 membutuhkan partisipasi individu dan masyarakat (publik). Masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi secara ketat dalam menerapkan semua pendekatan pencegahan covid-19 tersebut.

Lalu, bagaimana hubungan keberhasilan pencegahan covid-19 dengan tingkat partisipasi publik dalam social distancing, stay at home, mencuci tangan dengan sabun, dan memakai masker jika keluar rumah?

Kondisi Partisipasi Publik dalam Merespon Covid-19

Di sejumlah negara yang tingkat penyebaran covid-19 tinggi, seperti Italia, Iran, Perancis, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, partisipasi publik dalam pencegahan covid-19 cenderung rendah.  Sementara di negara-negara yang mampu mengendalikan penyebaran covid-19 seperti Taiwan, Vietnam, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara lain, tingkat partisipasi publik dalam pencegahan covid-19 relatif tinggi.  Rendahnya partisipasi publik di sejumlah negara terlihat dari tingkat pembangkangan sosial masyarakat terhadap pendekatan pencegahan covid-19 ini.

Indonesia termasuk negara yang tingkat partisipasi publik rendah dalam pencegahan covid-19, khususnya untuk pendekatan social distancing dan stay at home. Ada sejumlah kondisi yang membuat partisipasi publik rendah dalam social distancing dan stay at home di sejumlah negara yang tingkat penyebaran covid-19 tinggi, termasuk di Indonesia.

Pertama, budaya masyarakat yang cenderung tidak mendukung social distancing. Kondisi budaya masyarakat berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Masyarakat Eropa yang liberal dan individualis cenderung lebih kuat dalam menerapkan social distancing, dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara Asia yang cenderung tingkat kohesivitasnya tinggi.

Dalam masyarakat Barat yang individualis dan liberal, upaya menerapkan pendekatan social distancing lebih mudah dilakukan. Sementara dalam masyarakat yang guyub dan kohesivitas tinggi di Asia, upaya menerapkan social distancing cenderung tidak mudah dilakukan.

Jika kondisi demikian, cepatnya penyebaran covid-19 di sejumlah negara Barat seperti Italia, Perancis, Amerika Serikat, dan lainnya, bukan disebabkan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam social distancing, melainkan lambatnya pemerintah negara-negara tersebut dalam merespon pencegahan covid-19 ini. Sedangkan di negara-negara Asia yang berhasil menahan laju penyebaran covid-19 melalui pendekatan social distancing, seperti Jepang, Taiwan, Vietnam, Korea Selatan, dan lainnya, budaya kerja yang disiplin dan kondisi masyarakat yang guyub bisa menjadi kekuatan saat diikuti dengan respon negara yang cepat.

Sementara di Indonesia dan negara-negara Asia, ketidakdisiplinan dan budaya guyub membuat masyarakat tidak mudah menerapkan social distancing. Relasi sosial melalui pola silaturahmi antar keluarga dan teman, membuat social distancing tidak bisa dijalankan dengan ketat dan sulit disiplin. Social distancing secara ketat dan disiplin hanya bisa diterapkan jika ada kebijakan yang tegas dan jelas.

Kedua, rendahnya tingkat literasi publik tentang covid-19, hal ini bisa dimaklumi karena covid-19 datang dan menyebar dalam waktu yang sangat cepat dan menjadi mendadak menjadi kondisi yang kompleks ketika dihadapi. Covid-19 mulai muncul di Wuhan, China pada bulan Desember 2019, dan kemudian menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam kondisi penyebaran yang sangat cepat dan kompleks ini, edukasi kepada masyarakat tentang covid-19 menjadi tidak mudah dilakukan.

Sebenarnya, dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat massif saat ini, edukasi masyarakat untuk meningkatkan literasi mereka tentang covid-19 tidaklah terlalu sulit dilakukan. Yang menjadi masalah adalah semua pihak, termasuk pemerintah, gagap dalam merespon perkembangan covid-19 yang terlalu cepat ini, sehingga tidak ada yang fokus melakukan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi di masyarakat.

Ketiga, kurang disiplinnya penerapan kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19. Pendekatan social distancing dan stay at home terkadang tidak bisa hanya diharapkan pada masyarakat untuk berpartisipasi secara sukarela. Karena itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih ketat untuk memastikan social distancing ini berjalan dengan baik.

Tidak adanya pelarangan mobilitas sosial horizontal untuk masyarakat, baik di dalam kota maupun antar wilayah, membuat interaksi sosial antar individu dalam masyarakat tetap berlangsung, yang menyebabkan penyebaran covid-19 menjadi mudah terjadi. Di sejumlah negara, kebijakan radikal dalam pencegahan covid-19 dilaksanakan, yakni lockdown. Dengan adanya lockdown, interaksi sosial dibatasi secara ketat sehingga social distancing bisa berjalan dengan baik.

Keempat, keterpaksaan masyarakat untuk melanggar pendekatan social distancing. Karena tidak ada kebijakan pembatasan mobilitas sosial horizontal, dan masyarakat pekerja sektor informal tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka interaksi sosial masih terus berlangsung dan social distancing menjadi tidak mudah untuk dilaksanakan.

Level Partisipasi Publik

Pemerintah dan semua pihak bisa meningkatkan partisipasi publik dalam penanganan wabah covid-19 ini secara lebih baik. Sebenarnya ada beberapa level partisipasi publik yang bisa di aplikasikan. International Association for Public Participation (IAP2) mempunyai spektrum partisipasi publik yang sudah banyak digunakan secara global, yakni seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

 1. Inform2. Consult3. Involve4. Collaborate5. Empower
TujuanMenyediakan informasi yang obyektif dan seimbang, membantu memahami dan mencari alternatif solusi terhadap masalah.Mendapatkan masukan masyarakat terkait analisis, alternatif, dan atau sebuah keputusan.Bekerja secara langsung dengan masyarakat melalui sebuah proses untuk memastikan aspirasi masyarakat secara konsisten dipertimbangkan.Bermitra dengan masyarakat di setiap aspek pengambilan keputusan, termasuk mengidentifikasi dan membangun solusi alternatif.Menempatkan pembuatan keputusan final di tangan masyarakat.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada lima tingkat partisipasi publik, dari yang paling rendah yakni inform (menginformasikan kepada masyarakat), meningkat menjadi consult (konsultasi dengan masyarakat), involve (melibatkan masyarakat), collaborate (berkolaborasi bersama masyarakat), dan yang paling tinggi adalah empower (memberdayakan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik).

Dalam merespon perkembangan wabah covid-19 yang sangat cepat dan kompleks ini, spektrum di atas barangkali tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Namun demikian, pemerintah bisa menerapkan semua level partisipasi publik tersebut sesuai kondisi dan perkembangan dalam penanganan covid-19 di lapangan.

Pertama, level inform bisa diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menyediakan informasi kepada masyarakat tentang covid-19. Pemerintah perlu menyediakan informasi yang obyektif tentang covid-19, baik informasi tentang perkembangan penyebaran covid-19, angka kematian, tingkat kesembuhan, dan informasi edukasi lainnya yang dibutuhkan masyarakat dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat tentang pencegahan covid-19 ini.

Kedua, level consult bisa digunakan oleh pemerintah untuk mendapatkan perspektif masyarakat tentang upaya penanganan covid-19 melalui pilihan-pilihan kebijakan yang tepat dan lebih baik. Kelihatannya, pendekatan ini tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah pusat cenderung tidak melibatkan masyarakat, khususnya para ahli terkait dengan pilihan-pilihan kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah dalam menangani covid-19 ini. Suara-suara kaum intelektual di perguruan tinggi cenderung berlalu begitu saja, meskipun mereka cukup kencang memberi masukan kepada pemerintah.

Ketiga, level involve bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam upaya penanganan dan pencegahan covid-19. Dalam konteks ini, pemerintah bisa bekerja secara langsung dengan masyarakat, melalui kelompok-kelompok masyarakat, ormas, dan organisasi masyarakat sipil lainnya, untuk memastikan aspirasi masyarakat bisa dipertimbangkan secara bagus oleh pemerintah.

Keempat, level collaborate bisa digunakan oleh pemerintah untuk bersama-sama masyarakat dalam mencari pilihan-pilihan kebijakan dan solusi terbaik dalam penanganan dan pencegahan covid-19. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dalam rangka meningkatkan literasi publik tentang covid-19.

Kelima, level empower kelihatannya tidak bisa digunakan pemerintah dalam situasi darurat wabah covid-19 ini. Dalam kondisi darurat, pemerintah perlu menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol semua pendekatan pencegahan dan penanganan covid-19.

Namun demikian dalam konteks tertentu, masyarakat desa di sejumlah wilayah justru mengambil inisiatif untuk melakukan pembatasan interaksi sosial di desanya, menutup akses ke desanya, dan membatasi pergerakan orang-orang asing di desanya. Apa yang dilakukan masyarakat desa ini merupakan bentuk partisipasi publik di level empower, dimana keputusan final di tangan masyarakat. Sayangnya, keputusan ini seharusnya merupakan pendelegasian dari pemerintah. Namun yang terjadi di lapangan, keputusan masyarakat desa ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri.

Perlunya Partisipasi Publik Aktif dan Pasif

Melihat belum efektifnya penanganan dan pencegahan covid-19 di Indonesia, ada baiknya pemerintah dan semua pihak mulai memikirkan bagaimana caranya meningkatkan partisipasi publik dalam pencegahan covid-19, khususnya penerapan social distancing dan stay at home.

Idealnya, partisipasi publik bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Dalam konteks darurat penanganan dan pencegahan covid-19, partisipasi publik juga bertujuan melibatkan publik untuk menerapkan pendekatan pencegahan covid-19 melalui social distancing dan stay at home. Yang pertama merupakan partisipasi publik aktif dan kedua merupakan partisipasi publik pasif.

Kedua pendekatan partisipasi publik tersebut, baik partisipasi publik aktif maupun partisipasi publik pasif, perlu digunakan oleh pemerintah untuk memastikan efektifitas sebuah kebijakan.

Dalam partisipasi publik aktif, pemerintah tidak boleh mengabaikan suara masyarakat tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam penanganan covid-19. Karena bagaimanapun, pemerintah juga mempunyai keterbatasan dalam pengetahuan dan pengalaman. Dalam kondisi ini, melibatkan masyarakat (sesuai spektrum di atas) menjadi sebuah kebutuhan, jika dan hanya jika pemerintah mau membuka diri terhadap masyarakat.

Sementara untuk partisipasi pasif, tantangannya adalah bagaimana pemerintah bisa memastikan masyarakat berpartisipasi dalam menerapkan kebijakan dan pendekatan pencegahan covid-19, khususnya social distancing dan stay at home. Dalam konteks ini, pemerintah bisa menggunakan kekuasaannya melalui kontrol alat-alat negara untuk memastikan masyarakat berpartisipasi dalam social distancing dan stays at home ini. Tanpa adanya kontrol negara yang memadai, partisipasi masyarakat dalam social distancing dan stays at home tidak mudah untuk diimplementasikan.

__

Aldi Muhammad Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional.

Yusdi Usman adalah Pengamat Kebijakan Publik, Co-Chair IAP2 Indonesia dan kandidat Doktor Sosiologi UI.

Author

Bagikan:

2 comments

  1. Hanief Sarjono says:

    Sy mendukung program pemerintah dlm penanganan pemutusan penyebaran covid 19...sy punya usulan disini klo pintu2 minimarket, pintu ATM jgn tertutup..Krn gagang pintu bs jd salah satu sumber penularan... termasuk jg tangga berjalan di mall-mall,tombol ATM ,tombol lift, disediakan tisu utk menekan tombolx atau pegang tangga berjalan..,jg warung makan menggunakan piring & gelasx sekali pakai sj, bs pake gelas plastik atau piring plastik dsb..uang jg bs jd sumber penularan , sosialisasikan mslh ini sesering mungkin spy mrk yg hbs pegang uang mau utk cuci tangan...klo kt sdh menerapkan smua ini..sy kira PSBB bs dikurangi...sy hanya seorang terapis biasa & sgt prihatin dg penangan yg kurang lengkap ini..sy tdk Thu hrs kemn mengusulkan ini...klo ada kekuranganx mohon dikritik..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *