IAP2 Indonesia – Sumatera Barat, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya yang melimpah, telah lama menjadi pusat kolaborasi antara berbagai komunitas etnis dan budaya di Indonesia. Melalui tinjauan historis dan kontemporer, tercipta interaksi antara komunitas-komunitas tersebut yang tidak hanya membentuk sejarah, tetapi juga mempengaruhi perkembangan sosial dan budaya Sumatera Barat hingga hari ini. Sebab, Sumatera Barat memiliki sejarah kolaborasi yang kaya, baik pada masa lalu maupun dalam konteks kontemporer.
Prinsip dan Tahapan Kemitraan Multipihak
Panduan Kemitraan Multipihak menekankan beberapa prinsip utama yaitu inklusivitas, transparansi dan akuntabilitas, efektivitas, dan kesetaraan (UNU, 2019). Prinsip-prinsip ini mencakup keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proyek. Selain itu, pentingnya transparansi informasi dan pertanggungjawaban dari semua pihak yang terlibat untuk membangun kepercayaan dan mencapai hasil yang optimal.
Tahapan utama dalam kemitraan multipihak meliputi identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan kolaboratif, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Tahapan ini dirancang untuk memastikan bahwa semua perspektif dan kebutuhan dipertimbangkan, dan bahwa kegiatan dilaksanakan dengan koordinasi yang baik.
Sejarah Kolaborasi di Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung
Pada masa Kerajaan Pagaruyung, kolaborasi lintas budaya dan sektor sangat menonjol. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan budaya yang menghubungkan berbagai komunitas di Sumatera Barat, dengan pedagang dari berbagai negara bekerja sama dalam perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya (Dobbin, 1983). Melalui perdagangan, terjadi pertukaran barang, ide, dan budaya dengan pedagang dari Aceh, Malaka, dan bahkan negara-negara asing seperti India dan Arab. Interaksi dengan budaya lain juga mempengaruhi seni dan sastra di Kerajaan Pagaruyung. Misalnya, pengaruh sastra dari India dan Timur Tengah terlihat dalam kesusastraan Minangkabau, seperti dalam cerita-cerita rakyat dan hikayat.
Gambar 1. Istana Pagaruyung
Sumber foto: Padangkita.com (Pinterest)
Perang Padri
Kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat Minangkabau dalam melawan penjajahan Belanda merupakan contoh penting dari kerja sama dalam menghadapi ancaman eksternal. Tokoh-tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol menggalang dukungan dari berbagai kelompok masyarakat untuk melawan penjajah (Dobbin, 1983). Selama perang, juga terjadi berbagai upaya diplomasi dan perundingan antara kaum adat, kaum Padri, dan pihak Belanda. Pertemuan-pertemuan ini sering kali melibatkan pertukaran pandangan dan kompromi untuk mencapai kesepakatan sementara atau menghindari konflik yang lebih besar.
Kolaborasi Kontemporer di Sumatera Barat
Rekonstruksi Pasca Gempa 2009
Setelah bencana gempa bumi, upaya rekonstruksi di Sumatera Barat adalah contoh nyata dari kemitraan multipihak. Kerjasama antara pemerintah, LSM internasional, dan masyarakat lokal sangat penting dalam memastikan bahwa proses rekonstruksi mencakup semua aspek kehidupan masyarakat yang terdampak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama (Lassa, 2010)
Pengelolaan Kawasan Wisata
Pengelolaan kawasan wisata seperti Danau Maninjau melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah, LSM, dan masyarakat adat. Kolaborasi ini penting untuk perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam yang efektif (Nasution & Lubis, 2014).
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Inisiatif seperti koperasi dan usaha mikro menunjukkan bagaimana kolaborasi dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal. Proyek-proyek seperti pertanian organik dan pariwisata berbasis masyarakat adalah contoh bagaimana kemitraan dapat mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Rachman, 2016).
Peran Perempuan Minang dalam Pembangunan Berkelanjutan
Peran perempuan Minang sangat penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Sumatera Barat, mengingat sistem matrilineal yang berlaku di masyarakat Minangkabau. Perempuan memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan keluarga dan masyarakat, serta dalam pengelolaan sumber daya alam. Inisiatif yang melibatkan perempuan dalam proyek-proyek pembangunan cenderung lebih sukses karena mereka memiliki wawasan yang mendalam tentang kebutuhan dan dinamika lokal (Blackwood, 2000). Peran perempuan Minang dalam pembangunan berkelanjutan tidak hanya mencerminkan kekuatan dan ketahanan mereka tetapi juga menunjukkan bagaimana mereka menjadi agen perubahan yang efektif dalam masyarakat mereka.
Spektrum Partisipasi Publik dan Nilai Inti IAP2
Spektrum partisipasi publik IAP2 dan nilai-nilai intinya sangat relevan dalam konteks ini. Pada 5 Spektrum partisipasi publik meliputi berbagai tingkatan partisipasi dari informasi, konsultasi, keterlibatan, kolaborasi, dan pemberdayaan, menggambarkan bahwa komunitas lokal diberikan kekuasaan untuk membuat keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka, spektrum ini memandu setiap langkah kolaborasi. Dalam proyek-proyek di Sumatera Barat, berbagai tingkatan partisipasi ini dapat diterapkan untuk memastikan keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya (IAP2, 2014). Nilai inti IAP2 yang meliputi partisipasi yang bermakna, keputusan yang transparan, dan penghargaan terhadap masukan publik sangat penting dalam membangun kemitraan yang sukses.
Budaya Gotong Royong dan Pengelolaan Lahan Gambut
Budaya gotong royong, yang merupakan bagian integral dari masyarakat Minangkabau, memainkan peran penting dalam memfasilitasi kemitraan multipihak. Semangat kebersamaan dan kerja sama dalam gotong royong mencerminkan prinsip inklusivitas dan kesetaraan dalam kemitraan multipihak.
Baca juga: Kolaborasi Multipihak di Aceh: Sebuah Tinjauan Historis dan Kontemporer
Di Sumatera Barat, pengelolaan lahan gambut merupakan isu kritis yang memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Proyek-proyek seperti pengembangan pertanian berkelanjutan dan restorasi lahan gambut membutuhkan keterlibatan pemerintah, masyarakat lokal, dan organisasi internasional. Melalui kemitraan multipihak, pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan dengan cara yang lebih berkelanjutan dan efektif, mengurangi risiko kebakaran hutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat lokal (Hooijer et al., 2010).
Kesimpulan
Dalam menelusuri sejarah dan perkembangan kontemporer kolaborasi di Sumatera Barat, jelas terlihat bahwa kerjasama lintas sektor dan komunitas telah menjadi kunci utama keberhasilan pembangunan di Sumatera Barat. Mengedepankan partisipasi publik dapat menjadi salah satu. Dengan terus memperkuat dan memperluas bentuk-bentuk kolaborasi ini, Sumatera Barat dapat memastikan masa depan yang cerah dan sejahtera bagi seluruh masyarakatnya.
Referensi
Blackwood, E. (2000). Webs of power: Women, kin, and community in a Sumatran village. Rowman & Littlefield Publishers.
Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press.
Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wosten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505-1514.International Association for Public Participation (IAP2). (2014). IAP2’s Public Participation Spectrum.
Lassa, J. A. (2010). Disaster policy change in Indonesia 1930–2010: From government to governance?. International Journal of Mass Emergencies and Disasters, 28(2), 127-166.
Nasution, H., & Lubis, Z. (2014). Pengelolaan Kawasan Danau Maninjau: Pendekatan Partisipatif dan Konservasi Lingkungan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 12(1), 45-55.
Rachman, R. (2016). Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan koperasi dan usaha mikro di Sumatera Barat. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 14(2), 123-135.