Kolaborasi Multipihak di Aceh: Sebuah Tinjauan Historis dan Kontemporer

IAP2 Indonesia – Kolaborasi multipihak merupakan konsep yang penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama di wilayah-wilayah dengan sejarah panjang kerjasama seperti Aceh. Aceh memiliki sejarah kolaborasi yang kaya, baik pada masa lalu maupun dalam konteks kontemporer. Panduan Kemitraan Multipihak dari UNU (2019) memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk membangun kolaborasi yang efektif, yang dapat diterapkan di Aceh untuk berbagai proyek pembangunan.

Prinsip dan Tahapan Kemitraan Multipihak

Panduan Kemitraan Multipihak menekankan beberapa prinsip utama yaitu inklusivitas, transparansi dan akuntabilitas, efektivitas, dan kesetaraan (UNU, 2019). Prinsip-prinsip ini menggarisbawhi pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses tahapan proyek, muai dari perencanaan hingga evaluasi. Selain itu, pentingnya transparansi informasi dan akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat untuk membangun kepercayaan dan mencapai hasil yang optimal.

Tahapan utama dalam kemitraan multipihak meliputi identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan kolaboratif, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Tahapan ini dirancang untuk memastikan bahwa semua perspektif dan kebutuhan dipertimbangkan, dan bahwa kegiatan dilaksanakan dengan koordinasi yang baik. Proses identifikasi pemangku kepentingan melibatkan penentuan individu atau kelompok yang memiliki kepentingan atau dapat terpengaruh oleh proyek yang akan dilaksanakan.

Sejarah Kolaborasi di Aceh

  1. Kesultanan Aceh Darussalam

Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, kolaborasi lintas budaya dan sektor sangat menonjol. Kesultanan ini menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan dunia Islam dengan Asia Tenggara, dengan pedagang dari berbagai negara bekerja sama dalam perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya (Reid, 1993).

  1. Perang Melawan Penjajahan

Kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat Aceh dalam melawan penjajahan Belanda merupakan contoh penting dari kerja sama dalam menghadapi ancaman eksternal. Tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar menggalang dukungan dari berbagai kelompok masyarakat untuk melawan penjajah (Van Dijk, 1981).

Kolaborasi Kontemporer di Aceh

  1. Rekonstruksi Pasca Tsunami 2004

Setelah bencana tsunami, upaya rekonstruksi di Aceh adalah contoh nyata dari kemitraan multipihak. Kerjasama antara pemerintah, LSM internasional, dan masyarakat lokal sangat penting dalam memastikan bahwa proses rekonstruksi mencakup semua aspek kehidupan masyarakat yang terdampak. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama (Clarke et al., 2010).

kolaborasi multipihak

Gambar 1. Tsunami Aceh 2004

Sumber: Photo by USAID on Pixnio

  1. Perjanjian Helsinki 2005

Proses perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia melibatkan mediasi internasional dan kerja sama lintas sektor. Ini menunjukkan pentingnya kemitraan yang inklusif dalam mencapai perdamaian (Aspinall, 2009).

  1. Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pengelolaan ekosistem Leuser melibatkan pemerintah, LSM, dan masyarakat adat. Kolaborasi ini penting untuk perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam yang efektif (Gellert, 2010). Beberapa bentuk kolaborasi dalam pengelolaan SDA adalah komunitas di sekitar hutan Leuser. Mereka berperan dalam menjaga kawasan hutan dari deforestasi dan kegiatan ilegal lainnya, sekaligus memperoleh manfaat ekonomi dari praktik pengelolaan hutan berbasis komunitas.

  1. Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Inisiatif seperti koperasi dan usaha mikro menunjukkan bagaimana kolaborasi dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi lokal. Proyek-proyek seperti pertanian organik dan pariwisata berbasis masyarakat adalah contoh bagaimana kemitraan dapat mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Yusuf et al., 2014).

Spektrum Partisipasi Publik dan Nilai Inti IAP2

Melalui spektrum partisipasi publik IAP2, yakni informasi, konsultasi, keterlibatan, kolaborasi, hingga pemberdayaan, memastikan bahwa kolaborasi berjalan secara inklusif dan produktif.  Dalam proyek-proyek di Aceh, berbagai tingkatan partisipasi ini dapat diterapkan untuk memastikan keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya (IAP2, 2014). Nilai inti IAP2 yang meliputi partisipasi yang bermakna, keputusan yang transparan, dan penghargaan terhadap masukan tidak hanya menjadi lebih relevan dan efektif tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip partisipasi yang adil dan transparan. Pendekatan ini mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan menguatkan hubungan antara pemerintah, NGO, dan masyarakat lokal dalam menghadapi tantangan bersama.

Budaya Gotong Royong dan Pengelolaan Lahan Gambut

Budaya gotong royong, yang merupakan bagian integral dari masyarakat Aceh, memainkan peran penting dalam memfasilitasi kemitraan multipihak. Semangat kebersamaan dan kerja sama dalam gotong royong mencerminkan prinsip inklusivitas dan kesetaraan dalam kemitraan multipihak.

Baca juga: Dari Partisipasi Publik ke Prestasi Atlet: Mendukung Refugee Team di Olimpiade 2024

Di Aceh Barat dan Nagan Raya, pengelolaan lahan gambut merupakan isu kritis yang memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Proyek-proyek seperti pengembangan pertanian berkelanjutan dan restorasi lahan gambut membutuhkan keterlibatan pemerintah, masyarakat lokal, dan organisasi internasional. Melalui kemitraan multipihak, pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan dengan cara yang lebih berkelanjutan dan efektif, mengurangi risiko kebakaran hutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat lokal (Hooijer et al., 2010).

Kesimpulan

Kolaborasi multipihak telah menghasilkan inisiatif-inisiatif yang dapat menjadi fondasi kuat dalam menghadapi berbagai tantangan pembangunan di Aceh. Contoh-contoh nyata dari kolaborasi ini terlihat dalam proyek rehabilitasi pasca-bencana, pengelolaan sumber daya alam, dan pengembangan infrastruktur yang berwawasan lingkungan. Implementasi spektrum partisipasi publik IAP2 dapat memperkuat proses-proses pada budaya Aceh dengan menyediakan kerangka kerja yang terstruktur dan inklusif, memastikan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga efektif dalam menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal

 

Referensi

Aspinall, E. (2009). Combatants to contractors: The political economy of peace in Aceh. Indonesia, (87), 1-34.

Clarke, M., Fanany, I., & Kenny, S. (Eds.). (2010). Post-disaster reconstruction: Lessons from Aceh. Earthscan.

Gellert, P. K. (2010). Rival transnational networks, domestic politics and Indonesian timber. Journal of Contemporary Asia, 40(4), 539-567.

Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wosten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505-1514.

International Association for Public Participation (IAP2). (2014). IAP2’s Public Participation Spectrum.

Reid, A. (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Volume Two, Expansion and Crisis. Yale University Press.

Van Dijk, K. (1981). Rebellion under the banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Springer.

Yusuf, M., Junus, R., & Lubis, E. (2014). Pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian organik di Aceh. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 10(2), 89-100.

https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/pemerintahan/silaturrahmi-bersama-58-oms-aceh-pj-gubernur-aceh-achmad-marzuki-butuh-sinergi-dan-kolaborasi-untuk-bangun-aceh

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *