Placemaking: Ketika Manusia dan Kota Saling Menghidupkan

IAP2 Indonesia – Dunia sedang mengalami tantangan urbanisasi, dimana masyarakat lebih banyak yang memilih untuk berpindah dari desa ke kota. Menurut data yang dikeluarkan oleh World Bank, pada tahun 2050 lebih dari 70 persen masyarakat dunia akan hidup di kota sedangkan pada tahun 2040 lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia akan pindah ke kota. Namun, apakah kota sudah mampu menampung dan mendukung aktivitas masyarakat yang ada di dalamnya?

Kebutuhan Manusia terhadap Ruang Publik

Masyarakat perkotaan sebagai pelaku utama kegiatan di dalam sebuah kota, memiliki kegiatan sehari-hari dalam rangka pemenuhan kebutuhan fundamental setiap harinya. Menurut Teori Hirarki kebutuhan (Maslow, 1954, p.236) manusia memiliki lima jenis kebutuhan dasar, yaitu fisiologis, keamanan, sosial, apresiasi, dan aktualisasi diri. Kota – secara fisik dan infrastruktur – harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang ada di dalamnya, sesuai dengan skala kota tersebut.

Pemenuhan kebutuhan fisiologis terjadi dengan tersedianya permukiman, sedangkan kebutuhan akan keamanan tercukupi melalui adanya fasilitas pemerintahan dan keamanan. Sementara kebutuhan akan aspek sosial dan penghargaan terwujud melalui ketersediaan ruang publik, dan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri termasuk penyediaan sarana pendidikan, hiburan, dan olahraga. Dari berbagai kebutuhan dan fasilitas yang dibutuhkan di dalam suatu kota, fasilitas komunal yang harus ada adalah ruang publik.

Menurut Danisworo (2004), ruang publik merujuk pada area yang digunakan oleh penduduk suatu daerah. Melalui ruang terbuka hijau, masyarakat memiliki akses bersama tanpa dikenai biaya untuk menggunakan ruang tersebut. Fasilitas ruang publik, yang utamanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga kota, bisa berwujud dalam bentuk ruang terbuka ataupun bangunan. Contoh dari ruang publik yang berwujud sebagai ruang terbuka termasuk taman kota, boulevard, plaza, waterfront, dan alun-alun. Adapun fasilitas ruang publik dalam bentuk bangunan meliputi gedung konvensi, atrium, dan civic center (pusat kegiatan masyarakat). Selain itu, terdapat pula fasilitas yang memenuhi kebutuhan sosial, seperti arena olahraga, perpustakaan umum, dan gedung pertunjukan. 

 

Placemaking sebagai salah satu cara mendesain Ruang Publik

Placemaking merupakan proses penciptaan tempat yang berkualitas untuk berbagai aktivitas di dalamnya, sebagaimana diungkapkan oleh Wyckoff, M.A (2014). Lebih dari sekadar sebuah konsep, placemaking adalah sebuah filosofi yang mengusung gagasan bahwa kualitas ruang harus sejalan dengan kualitas manusia dalam perancangan dan evaluasi ruang publik yang sering dianggap kurang optimal. Tujuan utama dari placemaking adalah membantu dalam menciptakan rasa kepemilikan komunitas terhadap suatu proyek, memberikan manfaat baik bagi sponsor maupun komunitas yang terlibat, serta menciptakan tempat yang tidak hanya nyaman, tetapi juga memiliki rasa komunitas yang kuat. Dengan penggabungan latar belakang, kegiatan, dan fungsi yang bersama-sama menghasilkan lebih dari sekadar tempat fisik.

Keberadaan placemaking diharapkan dapat menginspirasi masyarakat untuk secara bersama-sama menata ulang dan menghidupkan kembali ruang publik yang ada. Menurut Wyckoff, terdapat 10 elemen kunci yang harus diperhatikan agar dapat menciptakan tempat berkualitas, antara lain: beragamnya penggunaan ruang, keberadaan ruang publik yang berkualitas, ketersediaan teknologi, pilihan transportasi yang beragam, opsi perumahan yang beragam, pelestarian struktur bersejarah, keberadaan warisan komunitas, seni, budaya, dan kreativitas, rekreasi, serta ruang hijau.

Tempat yang berkualitas akan memberikan rasa aman, keterhubungan, keterbukaan, pengalaman otentik, kemudahan akses, kenyamanan, ketenangan, kemudahan bersosialisasi, serta mendukung keterlibatan masyarakat dalam ruang publik. Ini semua menjadi landasan bagi penciptaan lingkungan yang berdaya tarik bagi individu maupun komunitas yang menggunakannya.

Baca Juga :  Darurat Partisipasi Publik yang Berkualitas di Indonesia

Bagaimana Placemaking berjalan?

Sumber foto: thehighline

Salah satu contoh nyata dari placemaking yang menunjukkan interaksi saling menghidupkan antara manusia dan kota adalah High Line di New York City. High Line merupakan sebuah jalur hijau yang dibangun di atas jalur kereta api mati yang sudah tidak aktif. Proyek ini melibatkan perubahan kreatif pada infrastruktur yang tidak terpakai menjadi taman perkotaan yang menarik.

Dengan adanya High Line, masyarakat dapat menikmati ruang terbuka hijau yang menarik dan terintegrasi di tengah-tengah kepadatan perkotaan. Ruang terbuka hijau ini tidak hanya memberikan tempat untuk rekreasi dan relaksasi, tetapi juga menjadi pusat aktivitas budaya dan komunitas. Berbagai kegiatan seni, pertunjukan, pameran, dan acara komunitas diadakan di sini, menghidupkan ruang publik yang dulunya terbengkalai.

Pembangunan High Line telah mendorong revitalisasi lingkungan sekitarnya. Bangunan-bangunan baru, restoran, dan usaha kecil tumbuh di sekitar area tersebut, menciptakan ekosistem kota yang hidup dan beragam. Selain memberikan ruang bagi interaksi sosial, High Line adalah contoh yang bagus bagaimana transformasi kreatif sebuah area dapat membangkitkan semangat komunitas dan memperindah kota secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan betapa manusia dan kota saling berinteraksi dan memberikan manfaat satu sama lain melalui praktik placemaking yang inovatif.

 

M Block Space

Sumber foto: M Bloc

M Block Space lahir dari sebuah kolaborasi multipihak antara Peruri (Sebagai pemilik bangunan) dan beberapa elemen masyarakat seperti Arsitek (Yacobus Gatot S), Aktivis jenama lokal (Handoko Hendroyono) untuk berkolaborasi. Konsep digunakan dalam restorasi dan revitalisasi kawasan ini adalah adaptive reuse (memanfaatkan warisan masa lalu untuk hal dan fungsi yang baru) sebagai pemanfaatan aset sekaligus penerapan unsur bisnis. Kini M Block Space menjadi tempat bagi masyarakat untuk berkegiatan.

Baca Juga : Can Indonesian democracy keep up with urbanization? – Academia

Pemanfaatan Ruang Publik di Kota Bandung

Sumber foto: Tampang.com

Dilansir dari laman Humas Pemkot Bandung, menurut data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung dalam Buku Bandung dalam Angka Tahun 2022, Untuk taman saja terdapat 759 taman di Kota Bandung dengan total luas 2.170.134,11 meter persegi.

Melalui kegiatan S2Cities yang diikuti oleh IAP2 Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2023, IAP2 Indonesia mengunjungi salah satu taman di Bandung, yaitu Taman Lansia. Di taman ini banyak kegiatan masyarakat seperti kegiatan senam bagi para lansia sampai kunjungan sekolah untuk sekedar menikmati pepohonan, udara segar dan beragam fasilitas lainnya.

 

Partisipasi Publik dalam Placemaking

Hal yang ditekankan dalam placemaking adalah masyarakat sebagai penggunanya. Hal ini membuat partisipasi publik menjadi penting dalam proses perancangannya. Pelibatan masyarakat dalam proses perancangan bertujuan agar suatu ruang publik dapat menunjang kebutuhan masyarakat. Masyarakat seringkali dilibatkan dalam proses survei yang berbentuk diskusi terfokus maupun pengisian kuesioner. Namun sebenarnya partisipasi publik bermakna lebih dari itu–masyarakat terlibat dalam mayoritas proses perancangannya.

 

Author

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *