Kompleksitas Penanganan COVID-19

Kompleksitas Penanganan Covid-19

Oleh Aldi M. Alizar dan Yusdi Usman

COVID-19 bukanlah masalah biasa. Ia merupakan masalah global yang dihadapi semua negara. Jika awalnya COVID-19 hanya merupakan isu kesehatan, kini ia telah menjelma menjadi persoalan penting di berbagai isu, baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Karena saling keterkaitan yang sangat antar berbagai isu ini, maka COVID-19 sudah menjadi masalah luar biasa dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi.

Selain keterkaitan antar isu, COVID-19 juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Sampai tulisan ini dibuat, jumlah kasus positif di tingkat global adalah 3.181.642 kasus, dengan kematian sebanyak 224.301 kasus. Di Indonesia, data resmi yang dikeluarkan pemerintah sampai 2 Mei 2020 memperlihatkan bahwa jumlah kasus positif sebanyak 10.843 orang, meninggal 831 orang dan sembuh sebanyak 1.665 orang yang tersebar di 34 provinsi.

Yang menjadi tantangan adalah menghadapi situasi luar biasa seperti COVID-19 ini, penanganannya tentu saja juga harus dengan pendekatan dan kepemimpinan luar biasa, baik di tingkat kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan di lapangan. Pemerintah dan semua pihak akan berhadapan dengan kompleksitas masalah yang bukan hanya bagaimana menghambat penyebaran dan penularan COVID-19, namun juga bagaimana melakukan penanganan dampak yang berkualitas secara sosial ekonomi kepada masyarakat.

Menghadapi kompleksitas masalah seperti ini, dibutuhkan pendekatan dalam penyelesaian masalah yang berbeda dengan masalah yang biasa-biasa saja. Tulisan ini mencoba menganalisis secara ringkas kebutuhan ini.

Memahami Kompleksitas Masalah

Diantara banyak pendekatan terdapat sebuah pendekatan yang banyak digunakan dalam menganalisis kompleksitas masalah, yakni kerangka Cynefin atau The Cynefin Framework. Kerangka ini sudah digunakan oleh U.S. Defense Advanced Research Projects Agency untuk penangananan kontraterorisme. Juga pernah digunakan oleh Pemerintah Singapura untuk program Risk Assessment and Horizon Scanning. Dalam konteks yang lebih luas, kerangka ini digunakan oleh banyak pemimpin di seluruh dunia untuk membantu perumusan kebijakan publik yang lebih bagus dan partisipatif.

Snowden dan Boone (2007) menjelaskan bahwa kerangka Cynefin ini dibentuk dalam empat domain yakni simple, complicated, complex, dan chaotic. Seperti terlihat dalam gambar di bawah ini, masing-masing domain membutuhkan cara merespon yang berbeda karena tantangan yang dihadapi juga berbeda.

Kekacauan (disorder) adalah titik awal di mana tidak diketahui mana dari empat domain yang relevan. Empat uraian berikut harus dipelajari untuk membantu memposisikan pekerjaan yang akan dilakukan.  Perlu hati-hati dalam hal ini karena orang cenderung menilai situasi sesuai dengan cara kerja yang mereka sukai.

Domain simple dicirikan oleh sejumlah karakter antara lain adanya pola teratur dan kecenderungan yang dapat diperkirakan dan berulang, hubungan sebab akibat antar elemen sistem/masalah bisa dikategorikan secara jelas, jawaban yang tepat terhadap masalah bisa didapatkan, serta dapat dikelola berbasis fakta-fakta yang ada.

Domain complicated dicirikan oleh sejumlah karakter termasuk diperlukan adanya analisis dari ahli (expert) terhadap masalah dan lebih dari satu pilihan solusi yang dihadapi.  Hubungan sebab akibat antar elemen sistem/masalah dapat dikenali meskipun membutuhkan analisa, sehingga terdapat pilihan-pilihan jawaban yang tepat terhadap masalah serta dapat dikelola berbasis fakta-fakta yang ada.

Berbeda dengan dua domain di atas, domain complex dicirikan oleh adanya sejumlah karakter yang cenderung berbeda. Antara lain adanya kondisi yang tidak dapat diprediksi kecenderungannya, tidak ada jawaban yang paling tepat untuk menjawab masalah, jawaban terhadap masalah mengikuti kencenderungan yang lahir dalam situasi tersebut dan banyak ide saling berkompetisi untuk menyelesaikan masalah. Pendekatan solusi-terapan dimulai dengan memahami berbagai kemungkinan, dilanjutkan dengan melakukan pertimbangan yang bermakna dan berkualitas agar dapat menerapkannya dengan cepat.  Pendekatan ini memang eksperimental dan butuh pertimbangan para-pihak untuk memahami ruang lingkup pekerjaan yang terperinci. Dibutuhkan juga kepemimpinan kolabratif yang berbasis pola (pattern-based leadership).

Sementara domain chaotic dicirikan oleh adanya sejumlah karakter antara lain adanya turbulensi (goncangan) yang tinggi, tidak jelas hubungan sebab akibat dari masalah yang ada, tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawab masalah yang chaotic ini, banyak hal tersembunyi dan tidak dapat diprediksi, banyak keputusan harus dibuat dalam waktu yang terbatas, tekanan publik terhadap masalah sangat tinggi, serta kepemimpinan yang kuat sangat diperlukan dalam situasi ini (pattern-based leadership).

Domain simple dan complicated mengasumsikan bahwa tatanan sosial berada dalam kondisi teratur (ordered). Dalam tatanan sosial yang teratur, hubungan sebab-akibat antar elemen sistem dapat dipahami dengan baik, sehingga jawaban terhadap masalah yang ada juga dapat ditemukan berdasarkan fakta. Dalam kondisi ini, pengelolaan situasi bisa dilakukan berbasis fakta (fact-based management).

Sebaliknya, dalam domain complex dan chaotic hubungan sebab akibat antar elemen sistem tidak dapat ditemukan dan hubungan-hubungan ini ditentukan berdasarkan kecenderungan dan pola yang lahir dari situasi tersebut. Karena itu, dalam tatanan sosial yang tidak teratur (unordered) ini, pengelolaan situasi harus dilakukan berbasis pola (pattern-based management) dan melibatkan para pihak berkompeten yang dipilah dan dipilih dengan sistematis dan terstruktur serta di bangun kapasitas mereka untuk berkolaborasi.

Kompleksitas Penanganan COVID-19

Menggunakan kerangka Cynefin di atas, kita dapat melakukan pemetaan terhadap kebutuhan kepemimpinan dalam menghadapi kompleksitas masalah COVID-19 yang dihadapi masyarakat Indonesia. COVID-19 sebenarnya masih masuk dalam tahap complex belum chaotic, karena meskipun kecenderungan perubahan tidak dapat diprediksi, namun masih dapat dikontrol dengan pendekatan social distancing dalam spektrum yang berbeda-beda ; Baik spektrum tinggi (total lockdown), spektrum menengah (pembatasan social berskala besar: PSBB) maupun spektrum rendah (voluntary social distancing).

Yang perlu kita pahami adalah bahwa COVID-19 merupakan situasi dengan kompleksitas masalah sangat tinggi. Karena itu, dibutuhkan pendekatan yang tepat untuk menangani kompleksitas COVID-19 ini. Untuk itu, kita bisa membuat perbandingan kompleksitas masalah yang dihadapi COVID-19 dengan kerangka konsep yang dibuat Snowden dan Boone (2007) tentang kompleksitas masalah seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

 

No.Karakteristik Kompleksitas MasalahKompleksitas COVID-19
1Melibatkan sejumlah besar elemen yang saling berinteraksi.COVID-19 melibatkan banyak elemen multi sistem yang saling berkaitan. Wabah COVID-19 berkaitan dengan sistem sosial, ekonomi, politik, transportasi, dan sebagainya.
2Interaksi bersifat tidak linear. Perubahan-perubahan kecil dapat menghasilkan konsekuensi besar yang tidak proporsional.Interaksi antar berbagai sistem terkait COVID-19 tidak linear. Perubahan dalam sistem politik (pilihan kebijakan pemerintah) akan berdampak pada sistem sosial (pola interaksi sosial dengan social distancing), sistem ekonomi (pembatasan interaksi dalam ekonomi, PHK, dsb), sistem transportasi (pembatasan mobilitas horizontal), dan sistem lainnya.
3Sistem bersifat dinamis, dan solusi tidak dapat ditemukan dengan mudah. Solusi lahir dari dinamika lingkungan yang kompleks tersebut.Sistem sosial, ekonomi, politik, transportasi, dan sebagainya itu bersifat dinamis dan selalu berubah. Perubahan yang cepat ini disebabkan oleh adanya kecenderungan yang terjadi terkait dengan penyebaran dan penularan COVID-19 di masyarakat. Semakin besar penularan, semakin ketat kebijakan pembatasan sosial, maka akan berdampak pada semua sistem lainnya.
4Sistem mempunyai sejarah dan merupakan bagian dari kondisi kompleksitas saat ini. Elemen-elemen beradaptasi satu sama lain dengan lingkungan.Meskipun semua sistem tersebut mempunyai sejarah yang menentukan kondisi kompleksitas saat ini, namun kehadiran wabah COVID-19 membuat semua sistem harus beradaptasi dengan kondisi baru dan perubahan-perubahan yang terjadi, dan seringkali mengalami keterputusan dengan kondisi masa lalu.
5Dalam sistem yang kompleks ini, situasi yang sudah lalu tidak selalu mendukung perbaikan sistem ke depan, karena kondisi eksternal yang selalu berubah.Perubahan-perubahan eksternal lebih menentukan bagaimana sistem-sistem yang ada mendukung perbaikan ke depan. COVID-19 bukan saja mengubah semua kebiasaan dalam sistem, tetapi melahirkan kecenderungan-kecenderungan baru yang semakin kompleks. Misalnya, berubahnya pola interaksi sosial dari interaksi langsung menjadi interaksi menggunakan data dan teknologi, dan sebagainya.
6Dalam sistem chaotic, hubungan antara aktor dan sistem saling menghambat, membatasi. Dalam kondisi ini, kita tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi.Hubungan antara aktor dan sistem memang selalu akan saling menghambat satu dengan lainnya. Aktor ingin mengubah sistem, sementara sistem ingin mempertahankan status quo. Bagusnya, COVID-19 belum masuk dalam tahap chaotic ini, sehingga hubungan antara aktor dan sistem masih dapat dikontrol, sehingga bisa diarahkan untuk mendukung perbaikan yang lebih baik.

Melihat tingkat kompleksitas COVID-19 yang tinggi, seperti dijelaskan dalam tabel di atas maka pendekatan dalam penyelesaian dan penanganan wabah ini juga harus dilihat dalam kerangka tersebut. Pendekatan dalam penanganan masalah yang tingkat keteraturan rendah (complex dan chaotic) tidak bisa dilakukan dengan pendekatan untuk masalah yang tingkat keteraturan tinggi (simple dan complicated).

Untuk itu, setiap masalah harus dipetakan tingkat kerumitan/kompleksitas yang ada, sehingga dibutuhkan pendekatan yang tepat untuk masalah yang tepat pula. Beberapa kondisi yang memperlihatkan kompleksitas COVID-19 adalah sebagai berikut:

Pertama, kompleksitas kebijakan. Kompleksitas kebijakan terlihat dari tingkat kerumitan pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat dalam menangani COVID-19 ini. Pada tahap awal berkembangnya COVID-19 di Indonesia khususnya setelah kasus pertama diumumkan tanggal 2 Maret 2020, pemerintah terlihat masih belum percaya diri dalam menghadapi wabah . Sikap dan kebijakan yang diperlihatkan kepada masyarakat masih parsial dan berubah-ubah.

Sejumlah pihak meminta pemerintah melakukan lockdown Jakarta untuk membatasi penyebaran pandemi ini ke wilayah yang lebih luas, namun usulan ini tidak direspon serius oleh pemerintah. Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat sebuah kebijakan yang dilahirkan akan berkaitan dengan kompleksitas lainnya. Jika kebijakan lockdown diberlakukan, maka pemerintah harus berhitung kebutuhan anggaran untuk membiayai hidup jutaan orang yang terkena lockdown juga dampak ekonomi yang tentu saja tidak ringan.

Pemerintah baru mengeluarkan kebijakan final dalam penanganan wabah ini setelah keluarnya kebijakan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB dibuat berbasis pada PP No. 21/2020 yang ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 31 Maret 2020. PSBB merupakan pendekatan yang ada dalam UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Secara teknis, PSBB diatur dalam Permenkes No. 9/2020 dan Permenhub No. 18/2020.

Kedua, kompleksitas penanganan korban positif COVID-19. Penanganan korban positif COVID-19 menghasilkan tingkat kompleksitas yang tidak ringan. Sejak awal, pemerintah harus menyediakan rumah sakit rujukan dengan berbagai peralatan medis sebagai pendukungnya. Dalam perjalanannya, kompleksitas yang dihadapi dalam penanganan kasus positif COVID-19 ini semakin berat seiring dengan kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga kesehatan di berbagai rumah sakit rujukan.

Apalagi, dari waktu ke waktu jumlah kasus positif COVID-19 semakin bertambah. Data resmi pemerintah memperlihatkan bahwa kasus positif COVID-19 sudah hampir mencapai angka sebelas ribu orang. Kelangkaan APD membuat jumlah kematian dari tenaga medis dan dokter juga bertambah. Hingga tulisan ini dibuat, sebanyak 24 dokter dan 16 tenaga medis meninggal karena COVID-19.

Ketiga, kompleksitas pencegahan penularan. Upaya pencegahan penularan dan penyebaran COVID-19 juga tidak mudah dan menghadapi tingkat kompleksitas yang tinggi. Selain kebijakan PSBB sebagai state driven social distancing juga didorong adanya partisipasi masyarakat melalui voluntary social distancing, dimana interaksi sosial masyarakat dan individu diharapkan bisa memenuhi standar jarak yang disyaratkan. Untuk memperkuat sosial distancing ini, maka masyarakat dibatasi ruang gerak dan berada di rumah saja. Upaya pencegahan lainnya adalah mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker saat keluar rumah.

Tentu saja upaya pencegahan ini tidak semuanya berjalan efektif di lapangan. Tantangannya adalah kebutuhan ekonomi masyarakat yang membuat pekerja sektor informal tetap harus bekerja di ruang publik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi harian keluarganya. Tantangan lain adalah tingkat literasi masyarakat yang rendah, sehingga himbauan untuk memakai masker dan social distancing tidak sepenuhnya diterapkan oleh masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari.

Keempat, kompleksitas penanganan dampak sosial-ekonomi masyarakat. Dampak secara ekonomi merupakan dampak yang paling dirasakan masyarakat. Secara global, IMF mencatat bahwa ekonomi global akan tumbuh minus 3% pada tahun 2020. Indonesia juga menghadapi kondisi yang sama dimana untuk skenario terburuk, ekonomi diperkirakan juga akan tumbuh minus 0,4%. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini akan memukul berbagai sektor industri manufaktur dan jasa.

Dampak ekonomi yang paling nyata tentu saja dirasakan oleh masyarakat kelas bawah berupa kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Kebijakan PSBB membuat mobilitas sosial dan interaksi sosial menjadi terbatas dan bahkan terhenti. Sehingga akses kepada sumber-sumber pendapatan masyarakat, baik pekerja sektor formal maupun informal menjadi terputus.

Data Kemenakertrans menyebutkan bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai hampir 2 juta orang, sementara itu Kadin memperkirakan bahwa jumlah korban PHK mencapai angka 15 juta orang. Terlepas dari adanya perbedaan angka tersebut, yang jelas kompleksitas dampak sosial ekonomi kepada masyarakat bawah menjadi sangat tinggi. Pemerintah memang sudah memberikan berbagai bantuan sosial kepada mereka yang terdampak. Namun demikian, dampak sosial ekonomi masyarakat bawah ini akan berkontribusi pada kondisi lainnya dalam keluarga termasuk pendidikan anak dan kesehatan keluarga.

Bagaimanapun, COVID-19 merupakan wabah global yang hadir tanpa sebuah negarapun mampu membendungnya. Bahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Italia, dan Inggris menjadi negara-negara dengan tingkat keterpaparan sangat parah. Yang menjadi tantangan bersama adalah bagaimana memahami tingkat kompleksitas COVID-19 ini secara baik, sehingga bisa ditangani dengan cara yang lebih baik pula.

Kerangka Cynefin memberikan perspektif bagaimana menghadapi kompleksitas masalah yang ada, termasuk kompleksitas COVID-19 ini. Dengan kerangka ini, pemerintah dan semua pihak bisa membangun kolaborasi multipihak yang lebih kuat dalam rangka menangani dan menjawab tantangan kompleksitas COVID-19 . Kompleksitas bukan untuk dihindari, tetapi dicari solusinya.

___

Aldi M. Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional.

Yusdi Usman adalah Sosiolog, Pengamat Kebijakan Publik, kandidat Doktor Sosiologi UI, dan Co-Chair IAP2 Indonesia.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *