Berdasarkan Undang-Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa bencana terbagi menjadi tiga jenis, yakni bencana alam, non-alam dan sosial. Wabah Corona Virus atau disebut juga dengan istilah COVID-19 termasuk dalam bencana non-alam. Bencana non-alam terjadi karena rangkaian peristiwa non-alam yang diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Berdasarkan worldmeter.info, negara di dunia yang terserang COVID-19 adalah sebanyak 215 negara. Data ini dapat dimaknai bahwa bencana COVID-19 menyerang dunia tanpa ampun.
Upaya penanganan COVID-19 sudah menjadi pembicaraan global, termasuk pertemuan tingkat dunia yang melibatkan seluruh pengambil keputusan. Kelompok G-20, sebagai kelompok negara maju langsung mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa pada awal Maret 2020 setelah WHO menyatakan COVID-19 sebagai wabah dunia. Laporan termutakhir dari John Hopkins University dan Bill & Melinda Gate Foundation menyatakan pengembangan vaksin COVID-19 akan membutuhkan waktu yang cukup lama, antara satu hingga lima tahun. Hal ini secara tidak langsung mengarahkan bahwa dunia harus memulai beradaptasi agar dapat hidup berdampingan dengan COVID-19.
Hidup berdampingan dengan COVID-19, jika dilihat dari perspektif kebencanaan, dapat diawali dengan aktivitas pra bencana yang antara lain pemaduan dalam perencanaan pembangunan, analisis risiko bencana (dalam hal ini COVID-19), pengurangan risiko bencana, perencanaan penanggulangan bencana, pendidikan dan pelatihan. Jika dilihat dari perspektif kebijakan, serangkaian kebijakan penopang hidup berdampingan pasti diperlukan agar misalnya perencanaan pembangunan menjadikan aspek risiko bencana menjadi bahan pertimbangan.
Partisipasi publik juga memiliki perspektif tersendiri yang bersifat melengkapi dan menguatkan. Kasus pengelolaan bencana tahunan kebakaran hutan di Australia menjadi contoh bagaimana partisipasi publik menjadi bagian dari upaya hidup berdampingan dengan bencana. Dalam presentasi yang dibawakan Chair – International Association for Public Participation Indonesia Aldi Muhammad Alizar pada Webinar “Belajar dari Krisis untuk Pengelolaan Air Terpadu yang Lebih Baik” pada 30 Juni 2020, disebutkan bahwa sebagai bagian dari upaya hidup berdampingan dengan bencana dimulai berproses menyusun rencana untuk situasi darurat. Perencanaan ini disusun berlandaskan nilai dan hal yang menjadi pendorong dari masyarakat untuk bergerak. Perencanaan untuk situasi darurat juga harus disertai dengan perencanaan pelibatan masyarakat yang memperkuat peran masyarakat dalam masa sebelum bencana, saat bencana terjadi dan setelah bencana.
Spektrum Partisipasi Publik dari IAP2 dapat juga digunakan sebagai tools untuk memulai pelibatan publik (jika belum ada) dan melihat sejauh mana pelibatan masyarakat yang sudah dilakukan (jika sudah ada). Spektrum ini terdiri dari lima tingkat, yaitu Menginformasikan/To Inform, Mengkonsultasikan/To Consult, Melibatkan/To Involve, Mengkolaborasikan/To Collaborate, dan Memberdayakan/To Empower.
Tren pertambahan kasus COVID-19 menunjukkan ke arah atas, bukan ke bawah. Hidup berdampingan dengan COVID-19 sepertinya menjadi wacana yang harus diwujudkan dengan segera. Masyarakat/publik pun sudah saatnya mendapatkan posisi sebagai subjek/pelaku agar mereka berdaya dan dapat melaksanakan partisipasi yang otentik.**IS
*Tulisan ini merupakan dari kedua dari tulisan yang disusun berdasakan Webinar “Belajar dari Krisis untuk Pengelolaan Air Terpadu yang Lebih Baik” pada 30 Juni 2020, yang merupakan kolaborasi antara Global Water Partnership South East Asia (GWP-SEA) dan International Association for Public Participation (IAP2) Indonesia
Referensi
- https://www.bnpb.go.id/produk-hukum/undang-undang
- https://puspensos.kemsos.go.id/covid-19-dan-bencana-nasional
- https://www.worldometers.info/coronavirus/
- https://iap2.or.id/
- Bahan presentasi webinar I “Belajar dari Krisis untuk Pengelolaan Air Terpadu yang Lebih Baik”
- Foto:Health vector created by freepik – www.freepik.com
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai sumber daya (air) yang luar biasa, namun manajemen pengelolaan, pemanfaatan, dan pengendalian belum memadai. Secara jangka panjang apabila tidak ada upaya perlindungan dan pemahaman yang luas sebagai input peran serta (partisipasi) publik maka akan menghadirkan air bukan lagi sebagai sumber daya, akan tetapi sebagai sumber petaka yang mematikan dilihat dari 2 perspektif, yaitu (a) air melimpah dalam jumlah besar dan tak terkendali yang disebut banjir atau dengan nama lain dan (b) sebagai sumber yang kehabisan daya yang disebut kelangkaan, baik yang disebabkan proses alam maupun ulah manusia.
Informasi yang menarik! Saya memiliki refrensi artikel yang juga membahas hal serupa pada website berikut http://news.unair.ac.id/2022/03/22/negara-yang-berdampingan-dengan-covid/