Oleh: Yusdi Usman
Harus diakui bahwa perkembangan sektor bisnis skala besar membawa konsekuensi pada perubahan sosial di masyarakat, baik perubahan skala makro maupun dalam konteks mikro. Di tingkat makro, kehadiran investasi skala besar ini membawa konsekuensi pada peningkatan pendapatan negara serta berdampak pada dinamika ekonomi nasional. Sementara di tingkat mikro, kehadiran bisnis skala besar ini mempunyai dua dampak sekaligus, yakni dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif kehadiran investasi bisa terlihat dari berkembangnya ekonomi lokal dan meningkatnya kesejahteraan sebagian masyarakat lokal yang mempunyai akses terhadap kehadiran investasi.
Sementara dampak negatifnya juga dengan mudah terbaca oleh orang awam seperti kerusakan lingkungan hidup untuk bisnis ekstraktif, perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat lokal ke arah disintegratif, disparitas kesejahteraan bagi sebagian masyarakat lokal yang terbatas aksesnya terhadap investasi, serta hilangnya livelihood sebagian masyarakat karena kehadiran investasi.
Bagi kita sebagai masyarakat yang tercerahkan, yang penting dan perlu dilakukan oleh sektor bisnis adalah bagaimana meningkatkan dampak positif dari kehadiran investasi, serta menekan dan mengurangi dampak negatif yang sudah ada atau berpotensi untuk ada. Untuk itulah diperlukan strategi yang memadai untuk menciptakan hubungan yang baik antara sektor bisnis dengan para pihak yang berkepentingan secara langsung maupun tidak langsung, sehingga konflik sosial bisa dikurangi.
Di masa lalu, dalam sistem pemerintahan yang otoriter, partisipasi publik merupakan sesuatu yang tabu. Konflik-konflik sosial di dalam masyarakat, antar masyarakat, dan antara masyarakat dengan sektor bisnis diredam dengan pendekatan kekuasaan dan keamanan, serta seringkali dengan ancaman kekerasan. Sektor bisnis diposisikan sebagai pihak yang tidak perlu bertanggung jawab langsung kepada kesejahteraan masyarakat di sekitarnya karena mereka sudah membayar pajak kepada pemerintah. Diharapkan, pajak yang dibayar ini akan menetes juga kepada masyarakat di sekitar wilayah investasi.
Seiring dengan proses demokratisasi dan perlunya akuntabilitas sektor bisnis kepada masyarakat, pendekatan keamanan tidak lagi relevan dan tidak sesuai dengan kehendak jaman. Karena itu, sejumlah perbankan internasional juga membuat berbagai standar untuk memaksa sektor bisnis yang menjadi client-nya menerapkan pendekatan yang bagus terkait dengan mengurangi dampak negatif kepada lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat, seperti IFC Performance Standard, Equator Principle, dan sebagainya. Penerapan standar-standar lingkungan dan sosial ini merupakan salah satu dari upaya sektor perbankan untuk menekan dampak negatif investasi yang dibiayainya.
Berbagai tekanan dari masyarakat sipil dunia membuat kalangan perbankan terus memperbaiki standar sosial dan lingkungan yang dimilikinya untuk memastikan investasi berjalan dengan baik. Karena itu, Bank Dunia misalnya, mempunyai pertemuan tahunan dengan kalangan masyarakat sipil dari berbagai negara untuk meminta masukan terhadap standar sosial dan lingkungan mereka sehingga praktek-praktek bisnis yang baik dan berkelanjutan bisa berjalan dengan baik.
Deliberasi dan Kompleksitas Masyarakat
Seiring dengan modernisasi dan berkembangnya teknologi informasi, upaya untuk menciptakan praktek bisnis yang akuntable (bertanggung jawab) dan menghargai hakikat kemanusiaan (humanis) semakin kuat dan mendapat perhatian dari masyarakat internasional. Apalagi, kini publik mempunyai kekuasaan untuk menentukan pilihan dalam mengkonsumsi produk-produk dari bisnis yang bertanggung jawab tersebut. Kita bisa melihat bagaimana produk dari perusahaan tertentu diboikot oleh masyarakat internasional karena tidak melakukan praktek bisnis yang humanis serta merusak lingkungan hidup. Meskipun, praktek bisnis yang seperti ini biasanya terkait juga dengan kepentingan politik dan persaingan bisnis di tingkat global.
Namun, apapun konteksnya, praktek bisnis yang humanis dan bertanggung jawab kini menjadi sebuah keharusan. Praktek bisnis yang seperti ini bisa terjadi jika para investor dan pemilik bisnis menyadari bahwa ada kompleksitas secara sosial di dalam masyarakat dimana mereka beroperasi. Kompleksitas ini hanya bisa dipahami jika kita mempunyai keinginan untuk menyelami kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam arti luas, serta melakukan proses deliberasi untuk memahami kondisi ini.
Deliberasi berasal dari bahasa Latin: deliberatio, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi deliberasi. Kata ini mempunyai makna sebagai konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Deliberasi merupakan sebuah proses untuk memperkuat legitimasi terhadap sebuah kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah, maupun kebijakan-kebijakan sektor bisnis yang berdampak pada masyarakat dan para pihak tertentu. Dengan kata lain, kewenangan legal-rasional—meminjam istilah Marx Weber—yang dipunyai pemerintah, dan atau kewenangan investasi yang dijalankan oleh sektor bisnis akan mempunyai legitimasi yang lemah di mata publik ketika proses deliberasi tidak dijalankan dengan baik.
Dengan demikian, deliberasi terhadap berbagai kebijakan publik menjadi sebuah keharusan untuk memperkuat legitimasi terhadap kebijakan publik tersebut. Karena itu, ruang publik untuk deliberasi perlu diperkuat. Ruang publik ini—menurut Habermas dalam F. Budi Hardiman—harus otonom dan tanpa intervensi pemerintah, sehingga menjadi sarana warga dalam berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap kondisi dan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan warga. Ruang publik yang otonom ini membuat masyarakat bisa menyampaikan kepentingannya secara bebas, bertanggung jawab serta tidak berada di bawah tekanan.
Dalam konteks sektor bisnis, kehadiran investasi yang tidak didahului oleh proses deliberatif dan hanya mengandalkan legalitas formal dari pemerintah akan menyebabkan keberadaan investasi di suatu wilayah dalam posisi rentan, rawan konflik dengan masyarakat lokal, kemungkinan digugat oleh masyarakat sipil, serta secara politik dapat dibatalkan perijinannya.
Bisnis Berkelanjutan
Terminologi “berkelanjutan” seringkali menjebak kita pada sebuah dilema, bahwa sebuah bisnis sebenarnya ada masa hidupnya atau “life time”. Bisnis ekstraktif misalnya, masa hidup bisnis ini akan berakhir ketika sumberdaya alam tidak terbaharui (unrenewable resources) yang dieksploitasi sudah habis. Bisnis manufaktur juga demikian, sangat tergantung pada teknologi dan inovasi sehingga produk-produk mereka tetap bisa diterima publik. Demikian juga bisnis jasa. Karena itu, kata “berkelanjutan” lebih tepat digunakan untuk menyatakan kondisi bisnis supaya bisa berjalan dengan baik sampai waktunya.
Supaya bisnis bisa berkelanjutan sesuai maksud di atas, maka sejak awal kehadiran sebuah investasi perlu dilakukan proses deliberasi yang baik dengan stakeholder di berbagai tingkatan untuk memperoleh dukungan yang baik serta menghindari konflik-konflik sosial di masa yang akan datang. Sepanjang “masa hidup” sebuah bisnis di wilayah tertentu, maka upaya memperkuat proses deliberasi juga perlu terus dilakukan sehingga gesekan-gesekan sosial bisa diminimalkan.
Disamping itu, karena “masa hidup” sebuah bisnis ada batasnya, para pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan para pihak lainnya, perlu memikirkan keberlanjutan bagi masyarakat lokal. Jangan sampai, ketika sebuah investasi keluar dari suatu wilayah, masyarakat kembali lagi ke kondisi semula, menjadi miskin dan rentan. (IAP2news)