Tag: Ngobrolin Partisipasi

kolaborasi

Seluk Beluk Kolaborasi

Kamis, 1 Agustus 2019, telah diselenggarakan diskusi Ngobrolin Partisipasi (NGOPAS) yang mengangkat tema ‘The critical role of collaboration for the development sector’. Materi dibawakan oleh Stuart Waters yang saat ini menjabat sebagai Managing Director dan konsultan senior di lembaga Twyfords, Australia. Ia juga merupakan salah penulis untuk buku The Power of ‘Co’: The Smart Leaders’ Guide to Collaborative Governance.

NGOPAS kali ini diadakan di Mula, Cilandak Town Square selama tiga jam dan dihadiri oleh perwakilan dari Anwar Muhammad Foundation (AMF), School of Government and Public Policy – Indonesia (SGPP), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Mott Macdonald.

Mengusung topik kolaborasi, sesi NGOPAS mengupas seluk beluk kolaborasi secara interaktif. Dalam pengantarnya, Stuart menjelaskan bahwa kolaborasi adalah upaya yang dilakukan ketika sudah memiliki kompleksitas yang tinggi.

Dalam konteks agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, tantangan pembangunan yang kompleks seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, krisis air bersih, kelestarian lingkungan dan disrupsi teknologi menjadikan kolaborasi sebagai tulang punggung untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Stuart juga berbagi pengalaman internasionalnya tentang ketrampilan, perilaku, dan pola pikir yang dibutuhkan organisasi untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi mereka. Sebagai pakar kolaborasi, ia menekankan hal yang paling penting dan mendesak adalah meningkatkan kapasitas untuk berkolaborasi efektif dengan lintas orang, budaya dan disiplin ilmu. Kolaborasi yang sebenarnya adalah tentang hubungan, nilai-nilai, ketakutan dan kerentanan manusia.

Baca juga seri Kabar Dalam Negeri lainnyaMenyusun Stategi Pelibatan Stakeholder untuk TPB

Belajar cara berkolaborasi berarti belajar bagaimana menjadi tidak nyaman dalam kebersamaan. Untuk itu, ia pun memperkenalkan kunci kerangka kerja kolaborasi dan mengeksplorasi penerapannya pada proyek nyata. Diskusi juga diselingi oleh tanya jawab terbuka dari para peserta yang ingin mengeksplorasi isu-isu penting yang relevan bagi mereka.

Materi dan foto dapat diunduh pada tautan berikut ini http://tiny.cc/20rjbz

Praktik Partisipasi Publik

Tantangan Memajukan Praktik Partisipasi Publik

Praktik Partisipasi Publik – Peran IAP2 Indonesia dalam memajukan praktik partisipasi publik semakin nyata dengan mengemukanya isu Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Isu SDGs ini semakin terlihat berkembang dan menjadi perhatian penting bagi organisasi dan instansi terkait.

IAP2 Indonesia memiliki perhatian untuk membangun kemitraan global. IAP2 Indonesia menggandeng United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) dalam upaya memajukan praktik partisipasi publik (P2) dan pelibatan stakeholder engagement (SE) yang lebih luas dan solid secara global. Hal ini tentu berbeda dengan afiliasi IAP2 yang lain yang masih cenderung fokus memajukan kualitas berdemokrasi dan partisipasi publik di negaranya masing-masing.

Ketua IAP2 Indonesia Aldi M. Alizar, yang mengatakan bahwa “bermitra dengan UN ini menjadi penting adalah karena adanya tujuan ke 16 dan 17 (dari SDGs) yang memang harus kita dukung bersama, dan di tingkat internasional lembaga seperti IAP2 tidak begitu banyak.”

Upaya bermitra secara global yang dilakukan belakangan ini telah membawa angin segar bagi pengembangan praktik-praktik P2 dan SE. Salah satu diantaranya IAP2 Indonesia diundang menghadiri acara pembukaan sebuah proyek arkeologi dan warisan budaya Anatolia, yang merupakan kerjasama antara UNI EROPA dengan Pemerintah Turki. Proyek ini bertujuan untuk membangun kembali budaya Anatolia di Turki.

Program ini membawa dampak positif karena menjadikan IAP2 memiliki jaringan kerjasama yang lebih luas hingga ke beberapa negara lain. Dengan demikian diharapkan diseminasi dan peningkatan kapasitas P2 dan SE kepada para pihak dapat terus dikembangkan.

Dalam rangka upaya terus-menerus menyebarkan dan mengembangkan praktik-praktik partisipasi publik inilah, selain melakukan kerjasama global, IAP2 Indonesia juga mengadakan komunikasi dan berbagai dialog dengan para penggiat, pemerhati dan komunitas P2 dan SE di Indonesia. Salah satunya adalah dialog yang dikemas dalam sebuah acara yang diberi nama NgoPas (Ngobrolin Partisipasi) yang rutin diselenggarakan setiap dua bulan sekali.

Dalam acara NgoPas yang diselenggarakan pada tanggal 22 Februari 2019, pembahasan mengenai praktik-praktik P2 dan SE dengan berbagai tantangannya, terutama dikaitkan dengan upaya pencapaian  SDGs, dimulai dengan saling memperkenalkan institusi masing-masing, serta kegiatan dan pengalaman terkait P2 dan SE yang telah mereka kerjakan.

Berangkat dari narasi perkenalan dan berbagi pengalaman tersebut, selanjutnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan menarik dari para audiens. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menstimulasikan keinginan dari masing-masing lembaga atau peserta yang hadir untuk menginisiasi penguatan kerja bersama ke depan.

Seperti pertanyaan yang dikemukaan oleh Ony Jamhari dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia, “dari sisi kebijakan publik seharusnya melibatkan semuanya (semua pihak terkait), tetapi mengapa Anggota Dewan tidak dilibatkan dalam agenda-agenda acara khususnya isu SDGs ini?”

Menanggapi hal tersebut, Sri Indah Wibi Nastiti sebagai Direktur Eksekutif dari Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyatakan bahwa sudah ada upaya untuk mengundang Anggota Dewan.

Selanjutnya Sri Indah juga mengatakan “Harusnya memang kita mengundang langsung para Anggota Dewan (DRPD) bukan hanya asosiasinya saja. Mungkin kita perlu berpikir bahwa ketika di daerah tidak hanya Pemkotnya saja yang diundang, tetapi juga dari DPRD…”

elain itu disampaikan juga oleh peserta bahwa dalam program Localise SDGs tidak menyebut DPRD sebagai partner lokal. Hal itu yang kemungkinan menjadi salah satu penyebab mengapa dalam setiap training yang dilakukan dan kegiatan lainnya cenderung tidak tampak perwakilan dari DPRD hadir.

Meithya Rose selaku Manajer Proyek dari SDGs Localising Project – UCLG ASPAC menambahkan, “BAPPEDA lah yang menentukan siapa-siapa saja yang harus diundang. Pastinya yang pertama adalah Pemda-Pemda di bawahnya atau Pemkot-Pemkot”. Walaupun begitu tetap ada kemungkinkan juga untuk mengundang pihak lainnya. Saat ada masukan rekomendasi untuk mengundang partner lainnya yang memang dibutuhkan dalam sebuah project.

Diskusi lainnya adalah mengenai Key Indicator Performance (KIP). Dimana KIP yang dibuat oleh para investor perlu menambahkan “penerimaan proposal di level politisi”. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak jarang proposal ditolak oleh politisi, sehingga menghambat rencana pengembangan yang telah dibuat.

Di sisi lain kita perlu mengingatkan bahwa mandat dari SDGs adalah “No one left behind”. Untuk itu setiap proses pelibatan publik atau masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkeadilan dalam mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadi bagian paling penting. Oleh karena itu perlu dibangun pemahaman yang sama dari setiap pemangku kepentingan.

Di Indonesia praktik-praktik P2 dan SE masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu didukung bersama oleh banyak pihak. Dari sinilah kita perlu membangun kesadaran publik (public awareness) bahwa proses pelibatan publik dan pelibatan stakeholder sangatlah penting, demi kemajuan berdemokrasi di Indonesia dan tercapainya 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Baca juga seri Kabar Dalam Negeri lainnya: Digital Marketing Mampu Meningkatkan Engagement

Ikuti kami terus di sosial media untuk mendapatkan berita terbaru dari IAP2 Indonesia, dan bersama membangun praktik patisipasi publik di Indonesia.

Partisipasi Publik

Partisipasi Publik Sebagai Tolak Ukur SDGs

Ngobrolin Partisipasi – Dalam edisi Ngobrolin Partisipasi (Ngopas) yang berlangsung pada Jumat, 22 Februari 2019. Dengan mengusung tema “Public Participation and Stakeholder Engagement for SDGs”. Kami mengundang narasumber dari School of Government and Public Policy (SGPP Indonesia) dan United Cities and Local Governments Asia-Pacific (UCLG ASPAC) untuk berbagi pengalaman dalam mengemban mandat dari masing-masing institusinya.

Bertempat di meeting room vOffice Jakarta, panel diskusi berjalan dengan menarik. Dihadiri juga dari beragam instansi mulai dari Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), student dari SGPP Indonesia. Ngopas edisi Februari 2019 juga didukung oleh teknologi teleconference dari aplikasi  Zoom, sehingga dapat menjangkau peserta diskusi yang berhalangan untuk hadir secara langsung ditempat.

Terkait menuju 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini perlu adanya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Terlebih masyarakat yang terkena dampak secara langsung terhadap pembangunan nasional maupun lokal. Mereka perlu diberikan hak bersuara/berpendapat, mengemukakan pandangannya dalam proses pengambilan keputusan berlangsung.

Panel diskusi “Ngopas” ini menjadi sebuah momentum saling bersepakat untuk bersama-sama memajukan praktek partisipasi publik di Indonesia.  Mengambil insitif diri sesuai dengan  kapasitas dari masing-masing institusi. Untuk dapat memberikan pemahaman kepada publik dan para pemangku kepentingan agar dapat saling bersinergi. Mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dengan baik dan terukur.

Bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk dapat memajukan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan)?. Salah satunya adalah dengan menjadikan isu partisipasi publik dan stakeholder engagement sebagai sebuah hal yang  harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Memasukannya kedalam proses agenda rencana kerja atau apapun itu namanya. Aldi M. Alizar selaku Chairman IAP2 Indonesia, menambahkan “Kebijakannya di indonesia masih belum solid untuk partisipasi publik, masih bagian dari AMDAL, konsultan publik dan perencanaan pembangunan…”

 

Baca juga seri Kabar Dalam Negeri lainnya: Dinamika Investasi, Industri dan Perdagangan di Indonesia (2)

 

Maka dari sinilah harapan kedepannya, bahwa ada sebuah kerangka hukum yang lebih kuat dan memayungi beberapa peraturan yang sudah ada, seperti disebutkan sebelumnya, maka proses berdemokrasi akan dapat jauh lebih baik lagi dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB).

Untuk saat ini, adanya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), menjadikan aspek partisipasi publik dan stakeholder engagement memiliki peran penting dan sebagai hal yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap pengambilan keputusan.

Kemudian langkah nyata apa yang dapat kita lakukan bersama? Cerita lengkapnya akan kami hadirkan diartikel selanjutnya.

Ikuti kami terus di sosial media untuk mendapatkan berita terbaru dari IAP2 Indonesia. Mari bersama membangun praktek patisipasi publik di Indonesia.

 

 

 

 

#NgobrolinPartisipasi Jadi Ajang Brainstorming Kekinian

#NgobrolinPartisipasi Jadi Ajang Brainstorming Kekinian

Jakarta – Bertempat di Estubizi Biz. Center Jakarta, pada acara “Ngopas” (Ngobrolin Partisipasi) yang diadakan hari Rabu tanggal 24 Oktober 2018 ini berlangsung dengan seru dan menarik.

Bertemakan Partisipasi Masyarakat Terkini, membahas upaya-upaya yang dapat dimaksimalkan dalam meningkatkan keaktifan masyarakat dalam berpartisipasi khususnya sebagai warga Negara.  Ada beberapa perbedaan yang menjadi warna tersendiri mengapa organisasi nirlaba yang hadir di Indonesia ini memiliki kendala dalam memasyarakatkan praktek-praktek partisipasi publik.

Mulai dari sisi historis, perbedaan gap generasi yang terlalu jauh antar anggota, perbedaan motif, kurangnya perekat (communicator), dan belum adanya pelatih bersertifikasi internasional dibidang partisipasi publik asal Indonesia. Selain itu juga hal yang paling sederhana adalah menghadirkan fasilitator dalam mempraktekan partisipasi publik di Indonesia, menjadi kebutuhan urgent saat ini ditambah adanya seorang communicator dalam internal IAP2 Indonesia.

Mengapa dikategorikan penting?  Kita ingin melihat tingkat partisipatif publik di masyarakat Indonesia menempatkan posisi tinggi dan meluas bukan hanya berjalan di kota-kota besar tetapi juga di daerah pelosok.

Ini berhubungan juga dimana ada program pemerintah yang memberikan pembiayaan/anggaran 1M 1desa. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik hanya membuat dana tersebut digunakan bukan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga desa tetapi hanya habis dipergunakan untuk membangun infrastruktur desa yang sebetulnya masih belum urgent pengadaannya.

Untuk itu diperlukan ilmu partisipasi publik didalamnya, guna menghasilkan keputusan yang berkelanjutan dan meng-engage seluruh stakeholder didalamnya. Mulai dari sini sudah terlihat posisi IAP2 Indonesia sangatlah strategis dan dapat mengambil kesempatan untuk masuk kedalamnya, dengan menghadirkan fasilitator yang dapat memberikan contoh dari bagaimana proses partisipasi publik dapat dijalankan dengan baik, tanpa ada satu pun dari stakeholder yang tertinggal.

Meninggalkan gaya rapat yang konvensional, yang memerlukan waktu berjam-jam untuk berdiskusi menghasilkan suatu keputusan, dan tak jarang juga diskusi atau musyawarah yang diadakan berakhir dengan sesi voting karena pembahasan yang alot.

Menghadirkan fasilitator-fasilitator tersebut perlu dukungan pelatihan atau workshop untuk diadakan secara rutin dan berkualitas. Kebutuhan akan pelatih yang bersertifikasi internasional untuk dapat dihadirkan di training dan workshop pun tak kalah urgent.

Mengingat “kemandirian” organisasi dalam membangun “environment” sendiri berdasarkan pada kultur budaya masyarakat menjadi kebutuhan mendesak, agar tak terlalu bergantung pada “resource” dari luar negeri. Mengingat kultur budaya masyarakat Indonesia yang berbeda dengan orang luar Negeri khususnya yang terdapat afiliasi IAP2 didalamnya.

Adanya isu perbedaan tingkat partisipatif dan kesadaran akan partisipasi publik di Indonesia yang belum cukup tinggi. Dikarenakan faktor kultur dari masyarakatnya sendiri yang memang pasif namun jika sudah mendesak, tertekan dan berdampak kerugian kepada mereka, maka baru bergerak aktif/merespon/melibatkan diri namun langsung dengan cara yang frontal.

Hal ini dapat diperbaiki dengan mengadakan seminar, workshop, pelatihan dan lain sebagainya untuk dapat meningkatkan lagi awareness masyarakat Indonesia akan pentingnya proses partisipasi publik hadir dalam hal apa pun terlebih yang berhubungan dalam berwarga Negara yang baik atau yang berkaitan dengan kebijakan yang berpengaruh kepada publik secara langsung atau tidak langsung.

Dibutuhkan sinergi yang lebih padu lagi, untuk menyukseskan tujuan bersama dalam mengedukasi melalui program kerja (seminar, workshop, pelatihan, dsb). Hal yang menjadi kendalanya adalah besarnya atau luasnya gap yang ada dibadan IAP2 Indonesia membuat proses dalam mewujudkan goals-goals terasa lambat.

Namun hambatan ini bukan berarti menjadi penghalang bagi IAP2 Indonesia untuk terus memajukan praktek-praktek partisipasi publik di Indonesia, dengan menghadirkan diskusi panel, pelatihan, dan mengadakan audiensi dengan sejumlah pihak bersama untuk dapat saling bersinergi demi kemajuan bangsa kedepannya. Terlebih lagi dengan adanya penerapan program dari PBB yaitu SDGs agenda 2030 diseluruh Negara anggota. Antar stakeholder dituntut untuk saling bekerjasama mewujudkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.

Hambatan yang terlihat itu dapat diatasi dengan adanya personil yang berperan sebagai communicator. Setidaknya perlu tiga orang yang dapat diposisikan sebagai communicator, hal ini diperlukan guna menjadi jembatan terhadap gap-gap yang ada didalam IAP2 Indonesia.

Dengan adanya communicator ini jangkauan audiens mulai dari para akademisi hingga “street fighter” dapat dirangkul bersama untuk dapat saling memberikan upaya terbaik dari masing-masing komunitasnya guna memajukan praktek partisipasi publik di Indonesia. Dengan kata lain si communicator ini dapat menjadi perekat untuk “merangkul” para anggota dan menggaet anggota baru dari berbagai kalangan. Mentransformasikan benefit yang sebetulnya baik bagi mereka yang memiliki motif berbeda-beda saat bergabung di IAP2 Indonesia.

NGOPAS #NgobrolinPartisipasi Dimata Kaum Milenial

NGOPAS #NgobrolinPartisipasi Dimata Kaum Milenial

Jakarta – Ngopas yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 2018 bertempat di Estubizi Biz. Center, telah berjalan lancar. Bagi Riza, terdapat dua perspektif dari Afandi dan Rachmadi yang menjadi perwakilan pikirannya. Dimana IAP2 Indonesia sekarang lebih sering mengandalkan agenda training untuk motif mencari pemasukan. Untuk fokus penyebaran ilmu serta penerapan partispasi publik di Indonesia belum begitu dimaksimalkan. Para anggota IAP2 bukan dari orang yg terlibat aktif didalam isu partisipasi publik dikesehariannya/dikomunitasnya, hal ini berbanding terbalik dengan IAP2 di luar negeri, dimana memang sudah sering dalam partisipasi publik menjadi aktivitas dikeseharian para member, maka tujuan dari para anggotanya sama-sama untuk memajukan partisipasi publik di negaranya.

Saat motif yang timbul dari masing-masing orang/anggota IAP2 banyak dan tidak berfokus pada satu tujuan, maka perlu diadakan acara-acara yang terklasifikasi sesuai bidangnya/background-nya masing-masing. Misalnya tetang Smart City (peserta yg hadir atau di undang sesuai background-nya atau pekerjaannya). Dalam acara tersebut dibahas best practice dari IAP2 tentang partisipasi publik yang dapat dilakukan dalam pemecahan masalah atau pengambilan keputusan yang tepat secara bersama-sama.

Adapun hal lain yang bisa di kembangkan dari organisasi ini yaitu adanya gerakan yang terlibat langsung di masyarakat atau bikin sebuat gerakan kecil untuk mulai menerapkan ilmu-ilmu partisipasi yang sudah dipelajari saat training dasar-dasar partisipasi publik beberapa bulan lalu sehingga dari situ bisa organisasi ini dapat mulai berkembang serta menunjukan dirinya ke masyarakat ataupun ranah lain yang bisa dijangkau.

Setelah adanya kegiatan yang langsung tertuju pada perorangan/organisasi/lembaga yang bergerak di ranah partisipasi publik ataupun gerakan-gerakan kecil tersebut kita dapat mempromosikan package traning yang memang sudah berstandar internasional yang telah menjadi core values dari IAP2 itu sendiri sehingga menambah kapasitas pada mereka dan menyebarkan ilmu IAP2 lebih luas lagi. Disamping itu kita harus mempersiapkan trainer indonesia yang bersertifikasi sehingga dapat menunjang kebutuhan pelatihan yang berkelanjutan di Indonesia.

Ngopas 24 Oktober 2018, Diskusi Tentang Partisipasi Publik

Review Diskusi Terhits: NGOPAS #Ngobrolin partisipasi

Jakarta – Ngopas (Ngobrolin Partisipasi), 24 Oktober 2018, Kamis di Estubizi Biz. Center, Jl. Wolter Monginsidi No. 71, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ruang diskusi juga memanfaatkan teknologi kekinian untuk menghubungkan peserta diskusi yang berada nun jauh di Seattle, Amerika. Diskusi dimoderatori oleh  Anton yang juga mewakili IAP2 Indonesia sebagai Sekretaris IAP2 Indonesia Affiliate, membuat suasana diskusi lebih komunikatif dan cair, semua peserta terfasilitasi dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya dan beragam pertanyaan yang mucul menjadikan diskusi panel ini menjadi ajang brainstorming yang bagus.

Diawali dengan perkenalan antar peserta, dimulai dari Ratih melalui video call menceritakan awal mula terjun ke dunia partisipasi publik. Sebelumnya beliau pernah berkecimpung didunia partisipasi publik dengan istilah berbeda yaitu multi stakeholder saat masih berada ditempat kerja sebelumnya pada tahun 2013, bersama dengan Aldi dan Afandi.  Kemudian setelah itu berlanjut menyelami lebih jauh ilmu partisipasi publik ini melalui pelatihan dasar-dasar partisipasi publik yang dihadiri pada bulan Juli 2018, selama 5 hari di Bogor.

Selain itu juga telah mengikuti Konferensi IAP2 di Kanada pada bulan September 2018 bersama Aldi dan Anton. Dengan mengikuti acara-acara tersebut beliau mengungkapkan semakin banyak wawasan yang diterima terkait ilmu partisipasi publik. Namun yang masih menjadi pertanyaan bagi Ratih adalah apa tindak lanjut kedepannya untuk IAP2 di Indonesia. Beliau berpendapat seminar dan kegiatan serupa kurang efektif jika pelatihnya/narasumbernya dari orang luar negeri. Akan lebih baik jika kedepannya kegiatan-kegiatan IAP2 Indonesia, menghadirkan pelatih/narasumber dari orang Indonesia sendiri. Dengan begitu akan lebih mudah menyebarkan ilmu partisipasi publik dimasyarakat kita, masyarakat juga dapat lebih memahami.

Hampir sama dengan Ratih, perjalan Anton selanjutnya setelah bergabung dengan IAP2 Indonesia adalah saat beliau diminta menjadi translator modul pelatihan dasar-dasar partisipasi publik yang akan digunakan pada pelatihan bersertifikasi pada bulan Juli 2018 kemarin. Bekerjasama dengan Ratih via Internet untuk melakukan proses review modul yang sudah diterjemahkan oleh Anton sebelumnya. Dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan dasar-dasar partisipasi publik 5 hari di Bogor bersama-sama dengan Ratih. Awal perkenalan Anton dalam bidang partisipasi publik/Stakeholders Engagement adalah pada tahun 2016 bergabung dengan IAP2 Indonesia dan AMF, dilanjutkkan pada awal tahun 2017 saat menerjemahkan dokumen Stakeholders Engagement Plan ke dalam Bahasa Inggris, kemudian mengikuti konferensi IAP2 International di Denver Colorado Amerika Serikat, bersama Aldi dan Dewi.

Beliau menambahkan bahwa mempromosikan ilmu partisipasi publik ini perlu juga diselaraskan dengan displin ilmu komunikasi yang beliau dalami saat masih bekerja di Bank. Menyambung ke ranah digital engagement, dimana publik/humas/public relation sekarang kaum-kaum milenial di Indonesia sudah mulai peduli dengan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari khususnya di Ibu Kota Jakarta. Kini sudah ada beberapa aplikasi smart phone yang dapat memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan berpartisipasi baik dalam level spectrum inform seperti aplikasi Qlue.

Masyarakat dapat dengan bebas menginformasikan beberapa masalah yang ditemui disekitarnya untuk di tayangkan di Qlue, seperti adanya banjir disuatu tempat, jalanan yang berlubang dan lain sebagainya yang berhubungan dengan fasilitas publik ataupun isu lingkungan. Beberapa hal masih perlu ada yang diperbaiki, apa saja itu?, mungkin dapat juga menggunakan ‘endorsment’ dari luar untuk menarik antusiasisme masyarakat dalam berpartisipasi sesuai ilmu yang telah dikembangkan oleh IAP2. Berlanjut ke Melia, beliau memandang bahwa praktek partisipasi publik sebenarnya sudah dilakukannnya sejak menjadi volunteer/relawan.

Disambung oleh Afandi. Beliau mengemukakan bahwa di IAP2 Indonesia sudah sangat baik diantara adalah sudah teradapat panduan-panduan lengkap mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan dalam melakukan proses partisipasi publik. Bagi beliau hal ini menjadi keuntungan tersendiri dalam menimplementasikan praktek partisipasi publik. Dimana kita ketahui bersama bahwa di publik sektor maupun pemerintahan harus ada proses partisipasi publik didalamnya. Afandi melihat bahwa ada perbedaan dari sisi historis antara IAP2 diluar negeri dengan IAP2 di Indonesia. IAP2 diluar negeri hadir karena bentukan dari para penggiat/profesional yang memang pada aktivitasnya berkecimpung dengan dunia partisipasi publik, berhubungan dengan para stakeholder atau community engagement dalam pekerjaannya. Maka berkumpulah mereka dan berinisiatif mendirikan/membangun sebuah organisasi untuk para pelaku partisipasi publik.

Dari perkumpulan/organisasi ini dirumuskan dan dimatangkanlah ilmu partisipasi publik didalamnya untuk dapat diimplementasikan dalam kasus atau isu yang ditemui nanti. Selain itu juga dari sisi budaya mereka yang memang punya sense untuk ikut terlibat aktif dalam segala hal yang memiliki dampak kepada mereka sebagai publik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk itu tidak heran bahwa organisasi IAP2 diluar negeri dapat berkembang dengan baik, karena ditunjang dari segi partisipasi mereka (individu, swasta, komunitas, dsb) yang sangat aktif dalam mengikuti program-program IAP2 disana.

Program Core Values Awards menjadi ajang bagi siapapun dapat mengikutinya dengan tujuan saling berlomba dalam tingkat penerapan partisipasi publik didalam komunitasnya (program kerjanya, pelibatan sebuah kasus, dsb). Perlu diperhatikan juga bahwa IAP2 diluar negeri punya pendekatan yang disesuaikan dengan klasifikasinya. Seperti swasta yang bergerak dibidang usaha transportasi, makanan, atau komunitas yang bergerak dibidang kelestarian hutan konservasi. Tools-tools sudah banyak dan mudah untuk digunakan. Kedepan harus ada kesadaran dari masyarakat Indonesia untuk melihat bahwa ilmu partisipasi publik ini sangat penting.

Hal yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita dapat mempromosikan teknik-teknik partisipasi publik ini ke masyarakat Indonesia yang mempunyai kultur budaya yang berbeda dengan masyarakat luar Negeri. Semisal dapat menggantikan rapat yang konvensional, yang berlangsung berjam-jam tanpa adanya titik temu/keputusan yang berkelanjutan. Mengingat kembali bahwa mereka (para anggota IAP2) dalam membentuk IAP2 diluar negeri merupakan kumpulan orang untuk saling sharing bersama terkait praktek partisipasi publik hingga dari proses sharing tersebut mereka merumuskan ilmu partisipasi publik dengan teori dan tekniknya, selain itu dari sisi bisnis juga mereka menghidupkan organisasi dengan (pelatihan, workshop, dsb) serta meningkatkan value dari ilmu partisipasi publik melalui ajang Core Values Awards.

Kemudian Ratih menambahkan bahwa di Yogyakarta sekitar tahun 2003 atau 2006 ada program sejenis Jakarta Smart City dengan naman Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Pada tahun itu masyarakat menggunakan media SMS, telepon, dan surat untuk menyalurkan keluhannya dan informasi terkait layanan publik di Yogyakarta. Kemudian berdasarakan laporan-laporan yang diterima dari masyarakat tersebut akan ditindak lanjuti oleh pemerintah setempat dengan SOP 24 jam masalah sudah ditangani. Rangkuman laporan dari masyarakat nantinya dapat dijadikan acuan program kerja bagi pemerintah setempat untuk dapat menyusun sebuah kebijakan kedepannya.

Diskusi berlanjut ke pertanyaan, jika masyarakat masih pasif, lalu apa yang perlu dilakukan agar proses partisipasi publik ini dapat mengena hingga menimbulkan kesadaran dan meningkatkan tingkat partisipatifnya. Melia berpendapat bahwa sebenarnya perlu adanya sosialisasi yang massif. Proses sosialisasi ini bisa memanfaatkan para volunteer/relawan. Beliau memaparkan bahwa volunteer itu terbagi menjadi 3 tingkatan. Ada tingkat mahasiswa/fresh graduate, dimana mereka mempunyai motif untuk mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya karena pada posisi mereka masih memiliki banyak waktu luang namun dana/uang tidak ada maka mereka berusaha untuk memberikan tenaga dan waktunya untuk berpartisipasi menjadi relawan dimana saja.

Untuk bagian para pekerja muda mereka terbatas pada waktu dan juga keuangannya yang masih belum stabil, sebagian dari mereka masih ragu-ragu untuk terjun ke dunia relawanan. Untuk tingkat para pensiunan atau pekerja tua yang sudah stabil dalam keuangannya lebih memilih untuk berpatisipasi dengan dananya dibandingkan tenaga dan waktunya. Beliau menyarankan agar mendekati mereka sesuai kalangannya, dari situ dapat menjadikan acuan untuk perbaikan isi konten disosial media yang menjadi target sasarannya.

Kemudian Afandi menambahkan, belum adanya demografi mengenai siapa saja yang mempunyai interest terhadap isu partisipasi publik di Indonesia, menjadi kendala bagi IAP2 Indonesia untuk dapat mensosialisasikannya ke masyarakat. Melihat bahwa IAP2 di Australia didominasi oleh kalangan muda-muda, sedangkan IAP2 di Amerika dan Kanada didominasi oleh kalang tua/senior. Untuk itu hal ini dapat menjadi proses analisa tujuan dalam membentuk arah IAP2 Indonesia kedepannya. Selain IAP2 Indonesia sudah go internasional yang sudah bermitra dengan UNESCAP dan afiliasi IAP2 di luar Negeri, perlu lebih men-engage lokal. Berorientasi pada skala internasional dan juga nasional, keduanya harus terus dikembangkan.

Menjadi catatan penting lainnya adalah bukan hanya berfokus pada menggelar seminar-seminar besar dan pelatihan-pelatihan internasional, perlu difasilitasi juga masyarakat Indonesia dari kalangan tingkat ekonomi menengah dan kebawah untuk dapat menikmati indahnya ilmu partisipasi publik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memasuki/melibatkan diri (perwakilan IAP2 Indonesia) kedalam  isu-isu sederhana yang ada disekitar dengan menerapkan teknik partisipasi publik dalam pemecahan masalahnya. Dengan begitu masyarakat didalam komunitas, swasta, ataupun pemerintah dapat teredukasi dengan baik bagaimana caranya membuat sebuah keputusan yang berkelanjutan dan bijak bagi semua pihak dengan didasari proses partisipasi publik didalamnya.

Rachmadi menuturkan, bahwa IAP2 Indonesia masih kurang ada motif dan perekatnya. Selain itu juga beliau mempertanyakan apa best practice dari IAP2 Indonesia untuk dapat diimplementasikan pada aktivitas real sehari-hari. Menurut beliau, perekatnya adalah orang-orang yang dapat menjadi communicator, berfungsi men-engage kalangan-kalangan yang dituju. Adanya kalibrasi yang luas menjadi ‘PR’ (Pekerjaan Rumah) tersendiri bagi IAP2 Indonesia. Ada gap kalangan yang begitu luas didalam badan organisasi IAP2 Indonesia. Seperti contoh adalah gaya berkomunikasi akademisi S3 tentu tidak satu frekuensi dengan kalangan yang disebut “street fighter”. Guna memperkecil gap tersebut harus diperlukan “perekat” itu tadi, paling tidak diperlukan 3 orang sebagai communicator yang handal jika memang IAP2 Indonesia ingin menyasar segala kalangan mulai dari tingkat pendidikan yang sangat tinggi seperti S3 hingga kalangan muda “milenial” yang masih mahasiswa sekalipun.

Afandi menambahkan bahwa kalau di IAP2 luar negeri mereka merekrut anggota-anggota yang memang pekerjaanya atau basic-nya bergelut didunia partisipasi publik. Dari sini sisi historisnya sudah berbeda dengan IAP2 di Indonesia. Untuk itu lanjut Rachmadi, yang menjadi mesinnya adalah orang-orang yang ada dibidang masing-masing untuk menjadi perwakilannya, agar dapat menarik masa yang masif.

Ratih kemudian menyambung harus adanya benefit tersendiri bagi mereka yang menjadi sasaran IAP2 Indonesia untuk mau bergerak mengaktifkan kegiatan-kegiatan didalamnya. Termasuk juga untuk menarik lebih banyak lagi anggota. Selain dari pada itu penguatan konsep dan produk-produk yang dihadirkan oleh IAP2 Indonesia ke masyarakat perlu disosialisasikan secara luas dan massif. Menyediakan best practice dan benefit bagi pihak swasta dan pemerintahan. Maka dari pada itu saat ini yang paling mendesak adalah IAP2 Indonesia sudah seharusnya memiliki trainer-trainer sendiri. Disamping terkait bahasa dan studi kasus yang relevan menjadi pertimbangkan kenapa perlu adanya pelatih dari Indonesia.

Rachmadi menambahkan, misalnya saja kita masuk ke pihak swasta yang menyediakan jasa Transportasi Online. Kita tahu bahwa mereka merupakan perusahaan Teknologi Informasi (IT) yang memiliki produk jasa transportasi umum untuk publik. Dari sini lah dapat menjadi opportunity yang bagus. Tak ada gading yang tak retak. Setiap perusahaan swasta pasti memiliki tantangan dalam menyediakan barang atau jasa yang berhubungan dengan publik. Karena itu IAP2 Indonesia juga bisa menjadi mitra dalam membantu memberikan pemahaman proses partisipasi publik dan best practice yang dapat dilakukan dalam menjawab tantangan dibisnisnya yang memberikan pengaruh kepada publik dengan melibatkan sejumlah stakeholder.

Masuk kedalam penutup acara diskusi “Ngopas”, Aldi selaku ketua afiliasi IAP2 Indonesia, memberikan informasi tambahan, untuk mengadakan acara “Ngopas” secara rutin, selanjutnya dapat dilakukan dibulan Desember 2018 mendatang, dengan membahas review 1 teknik dalam partisipasi publik, dan mempraktekannya kedalam sebuah simulasi masalah/kasus. Selain itu, IAP2 Indonesia telah melakukan audiensi dengan sekretariat SDGs di Indonesia, dimana kita bisa membantu membangun kapasitas personil mereka untuk menjalankan proses praktek partisipasi publik dalam menjalankan tugas mereka.

Mengingat agenda terdekat mereka adalah harus memberikan laporannya ke UN pada tahun 2019 di Newyork, Amerika. Kemudian, agenda IAP2 Indonesia selanjutnya adalah memberikan contoh dalam melakukan langkah praktis dikasus-kasus yang sederhana dari kalangan komunitas atau ditempat bekerja masing-masing anggota, memberikan liputan terkait partisipasi publik, berita dengan topik berseri, menghadirkan anggota yang dapat menjadi fasilitator, mengangkat isu-isu sekitar guna menjadi bahan untuk difasilitatori oleh pihak IAP2 indonesia, mulai menghadirkan trainer  dari Indonesia untuk mengadakan pelatihan yang bersertifikasi atau pun yang bersifat umum.