Jakarta – Ngopas (Ngobrolin Partisipasi), 24 Oktober 2018, Kamis di Estubizi Biz. Center, Jl. Wolter Monginsidi No. 71, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ruang diskusi juga memanfaatkan teknologi kekinian untuk menghubungkan peserta diskusi yang berada nun jauh di Seattle, Amerika. Diskusi dimoderatori oleh Anton yang juga mewakili IAP2 Indonesia sebagai Sekretaris IAP2 Indonesia Affiliate, membuat suasana diskusi lebih komunikatif dan cair, semua peserta terfasilitasi dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya dan beragam pertanyaan yang mucul menjadikan diskusi panel ini menjadi ajang brainstorming yang bagus.
Diawali dengan perkenalan antar peserta, dimulai dari Ratih melalui video call menceritakan awal mula terjun ke dunia partisipasi publik. Sebelumnya beliau pernah berkecimpung didunia partisipasi publik dengan istilah berbeda yaitu multi stakeholder saat masih berada ditempat kerja sebelumnya pada tahun 2013, bersama dengan Aldi dan Afandi. Kemudian setelah itu berlanjut menyelami lebih jauh ilmu partisipasi publik ini melalui pelatihan dasar-dasar partisipasi publik yang dihadiri pada bulan Juli 2018, selama 5 hari di Bogor.
Selain itu juga telah mengikuti Konferensi IAP2 di Kanada pada bulan September 2018 bersama Aldi dan Anton. Dengan mengikuti acara-acara tersebut beliau mengungkapkan semakin banyak wawasan yang diterima terkait ilmu partisipasi publik. Namun yang masih menjadi pertanyaan bagi Ratih adalah apa tindak lanjut kedepannya untuk IAP2 di Indonesia. Beliau berpendapat seminar dan kegiatan serupa kurang efektif jika pelatihnya/narasumbernya dari orang luar negeri. Akan lebih baik jika kedepannya kegiatan-kegiatan IAP2 Indonesia, menghadirkan pelatih/narasumber dari orang Indonesia sendiri. Dengan begitu akan lebih mudah menyebarkan ilmu partisipasi publik dimasyarakat kita, masyarakat juga dapat lebih memahami.
Hampir sama dengan Ratih, perjalan Anton selanjutnya setelah bergabung dengan IAP2 Indonesia adalah saat beliau diminta menjadi translator modul pelatihan dasar-dasar partisipasi publik yang akan digunakan pada pelatihan bersertifikasi pada bulan Juli 2018 kemarin. Bekerjasama dengan Ratih via Internet untuk melakukan proses review modul yang sudah diterjemahkan oleh Anton sebelumnya. Dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan dasar-dasar partisipasi publik 5 hari di Bogor bersama-sama dengan Ratih. Awal perkenalan Anton dalam bidang partisipasi publik/Stakeholders Engagement adalah pada tahun 2016 bergabung dengan IAP2 Indonesia dan AMF, dilanjutkkan pada awal tahun 2017 saat menerjemahkan dokumen Stakeholders Engagement Plan ke dalam Bahasa Inggris, kemudian mengikuti konferensi IAP2 International di Denver Colorado Amerika Serikat, bersama Aldi dan Dewi.
Beliau menambahkan bahwa mempromosikan ilmu partisipasi publik ini perlu juga diselaraskan dengan displin ilmu komunikasi yang beliau dalami saat masih bekerja di Bank. Menyambung ke ranah digital engagement, dimana publik/humas/public relation sekarang kaum-kaum milenial di Indonesia sudah mulai peduli dengan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari khususnya di Ibu Kota Jakarta. Kini sudah ada beberapa aplikasi smart phone yang dapat memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan berpartisipasi baik dalam level spectrum inform seperti aplikasi Qlue.
Masyarakat dapat dengan bebas menginformasikan beberapa masalah yang ditemui disekitarnya untuk di tayangkan di Qlue, seperti adanya banjir disuatu tempat, jalanan yang berlubang dan lain sebagainya yang berhubungan dengan fasilitas publik ataupun isu lingkungan. Beberapa hal masih perlu ada yang diperbaiki, apa saja itu?, mungkin dapat juga menggunakan ‘endorsment’ dari luar untuk menarik antusiasisme masyarakat dalam berpartisipasi sesuai ilmu yang telah dikembangkan oleh IAP2. Berlanjut ke Melia, beliau memandang bahwa praktek partisipasi publik sebenarnya sudah dilakukannnya sejak menjadi volunteer/relawan.
Disambung oleh Afandi. Beliau mengemukakan bahwa di IAP2 Indonesia sudah sangat baik diantara adalah sudah teradapat panduan-panduan lengkap mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan dalam melakukan proses partisipasi publik. Bagi beliau hal ini menjadi keuntungan tersendiri dalam menimplementasikan praktek partisipasi publik. Dimana kita ketahui bersama bahwa di publik sektor maupun pemerintahan harus ada proses partisipasi publik didalamnya. Afandi melihat bahwa ada perbedaan dari sisi historis antara IAP2 diluar negeri dengan IAP2 di Indonesia. IAP2 diluar negeri hadir karena bentukan dari para penggiat/profesional yang memang pada aktivitasnya berkecimpung dengan dunia partisipasi publik, berhubungan dengan para stakeholder atau community engagement dalam pekerjaannya. Maka berkumpulah mereka dan berinisiatif mendirikan/membangun sebuah organisasi untuk para pelaku partisipasi publik.
Dari perkumpulan/organisasi ini dirumuskan dan dimatangkanlah ilmu partisipasi publik didalamnya untuk dapat diimplementasikan dalam kasus atau isu yang ditemui nanti. Selain itu juga dari sisi budaya mereka yang memang punya sense untuk ikut terlibat aktif dalam segala hal yang memiliki dampak kepada mereka sebagai publik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk itu tidak heran bahwa organisasi IAP2 diluar negeri dapat berkembang dengan baik, karena ditunjang dari segi partisipasi mereka (individu, swasta, komunitas, dsb) yang sangat aktif dalam mengikuti program-program IAP2 disana.
Program Core Values Awards menjadi ajang bagi siapapun dapat mengikutinya dengan tujuan saling berlomba dalam tingkat penerapan partisipasi publik didalam komunitasnya (program kerjanya, pelibatan sebuah kasus, dsb). Perlu diperhatikan juga bahwa IAP2 diluar negeri punya pendekatan yang disesuaikan dengan klasifikasinya. Seperti swasta yang bergerak dibidang usaha transportasi, makanan, atau komunitas yang bergerak dibidang kelestarian hutan konservasi. Tools-tools sudah banyak dan mudah untuk digunakan. Kedepan harus ada kesadaran dari masyarakat Indonesia untuk melihat bahwa ilmu partisipasi publik ini sangat penting.
Hal yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita dapat mempromosikan teknik-teknik partisipasi publik ini ke masyarakat Indonesia yang mempunyai kultur budaya yang berbeda dengan masyarakat luar Negeri. Semisal dapat menggantikan rapat yang konvensional, yang berlangsung berjam-jam tanpa adanya titik temu/keputusan yang berkelanjutan. Mengingat kembali bahwa mereka (para anggota IAP2) dalam membentuk IAP2 diluar negeri merupakan kumpulan orang untuk saling sharing bersama terkait praktek partisipasi publik hingga dari proses sharing tersebut mereka merumuskan ilmu partisipasi publik dengan teori dan tekniknya, selain itu dari sisi bisnis juga mereka menghidupkan organisasi dengan (pelatihan, workshop, dsb) serta meningkatkan value dari ilmu partisipasi publik melalui ajang Core Values Awards.
Kemudian Ratih menambahkan bahwa di Yogyakarta sekitar tahun 2003 atau 2006 ada program sejenis Jakarta Smart City dengan naman Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Pada tahun itu masyarakat menggunakan media SMS, telepon, dan surat untuk menyalurkan keluhannya dan informasi terkait layanan publik di Yogyakarta. Kemudian berdasarakan laporan-laporan yang diterima dari masyarakat tersebut akan ditindak lanjuti oleh pemerintah setempat dengan SOP 24 jam masalah sudah ditangani. Rangkuman laporan dari masyarakat nantinya dapat dijadikan acuan program kerja bagi pemerintah setempat untuk dapat menyusun sebuah kebijakan kedepannya.
Diskusi berlanjut ke pertanyaan, jika masyarakat masih pasif, lalu apa yang perlu dilakukan agar proses partisipasi publik ini dapat mengena hingga menimbulkan kesadaran dan meningkatkan tingkat partisipatifnya. Melia berpendapat bahwa sebenarnya perlu adanya sosialisasi yang massif. Proses sosialisasi ini bisa memanfaatkan para volunteer/relawan. Beliau memaparkan bahwa volunteer itu terbagi menjadi 3 tingkatan. Ada tingkat mahasiswa/fresh graduate, dimana mereka mempunyai motif untuk mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya karena pada posisi mereka masih memiliki banyak waktu luang namun dana/uang tidak ada maka mereka berusaha untuk memberikan tenaga dan waktunya untuk berpartisipasi menjadi relawan dimana saja.
Untuk bagian para pekerja muda mereka terbatas pada waktu dan juga keuangannya yang masih belum stabil, sebagian dari mereka masih ragu-ragu untuk terjun ke dunia relawanan. Untuk tingkat para pensiunan atau pekerja tua yang sudah stabil dalam keuangannya lebih memilih untuk berpatisipasi dengan dananya dibandingkan tenaga dan waktunya. Beliau menyarankan agar mendekati mereka sesuai kalangannya, dari situ dapat menjadikan acuan untuk perbaikan isi konten disosial media yang menjadi target sasarannya.
Kemudian Afandi menambahkan, belum adanya demografi mengenai siapa saja yang mempunyai interest terhadap isu partisipasi publik di Indonesia, menjadi kendala bagi IAP2 Indonesia untuk dapat mensosialisasikannya ke masyarakat. Melihat bahwa IAP2 di Australia didominasi oleh kalangan muda-muda, sedangkan IAP2 di Amerika dan Kanada didominasi oleh kalang tua/senior. Untuk itu hal ini dapat menjadi proses analisa tujuan dalam membentuk arah IAP2 Indonesia kedepannya. Selain IAP2 Indonesia sudah go internasional yang sudah bermitra dengan UNESCAP dan afiliasi IAP2 di luar Negeri, perlu lebih men-engage lokal. Berorientasi pada skala internasional dan juga nasional, keduanya harus terus dikembangkan.
Menjadi catatan penting lainnya adalah bukan hanya berfokus pada menggelar seminar-seminar besar dan pelatihan-pelatihan internasional, perlu difasilitasi juga masyarakat Indonesia dari kalangan tingkat ekonomi menengah dan kebawah untuk dapat menikmati indahnya ilmu partisipasi publik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memasuki/melibatkan diri (perwakilan IAP2 Indonesia) kedalam isu-isu sederhana yang ada disekitar dengan menerapkan teknik partisipasi publik dalam pemecahan masalahnya. Dengan begitu masyarakat didalam komunitas, swasta, ataupun pemerintah dapat teredukasi dengan baik bagaimana caranya membuat sebuah keputusan yang berkelanjutan dan bijak bagi semua pihak dengan didasari proses partisipasi publik didalamnya.
Rachmadi menuturkan, bahwa IAP2 Indonesia masih kurang ada motif dan perekatnya. Selain itu juga beliau mempertanyakan apa best practice dari IAP2 Indonesia untuk dapat diimplementasikan pada aktivitas real sehari-hari. Menurut beliau, perekatnya adalah orang-orang yang dapat menjadi communicator, berfungsi men-engage kalangan-kalangan yang dituju. Adanya kalibrasi yang luas menjadi ‘PR’ (Pekerjaan Rumah) tersendiri bagi IAP2 Indonesia. Ada gap kalangan yang begitu luas didalam badan organisasi IAP2 Indonesia. Seperti contoh adalah gaya berkomunikasi akademisi S3 tentu tidak satu frekuensi dengan kalangan yang disebut “street fighter”. Guna memperkecil gap tersebut harus diperlukan “perekat” itu tadi, paling tidak diperlukan 3 orang sebagai communicator yang handal jika memang IAP2 Indonesia ingin menyasar segala kalangan mulai dari tingkat pendidikan yang sangat tinggi seperti S3 hingga kalangan muda “milenial” yang masih mahasiswa sekalipun.
Afandi menambahkan bahwa kalau di IAP2 luar negeri mereka merekrut anggota-anggota yang memang pekerjaanya atau basic-nya bergelut didunia partisipasi publik. Dari sini sisi historisnya sudah berbeda dengan IAP2 di Indonesia. Untuk itu lanjut Rachmadi, yang menjadi mesinnya adalah orang-orang yang ada dibidang masing-masing untuk menjadi perwakilannya, agar dapat menarik masa yang masif.
Ratih kemudian menyambung harus adanya benefit tersendiri bagi mereka yang menjadi sasaran IAP2 Indonesia untuk mau bergerak mengaktifkan kegiatan-kegiatan didalamnya. Termasuk juga untuk menarik lebih banyak lagi anggota. Selain dari pada itu penguatan konsep dan produk-produk yang dihadirkan oleh IAP2 Indonesia ke masyarakat perlu disosialisasikan secara luas dan massif. Menyediakan best practice dan benefit bagi pihak swasta dan pemerintahan. Maka dari pada itu saat ini yang paling mendesak adalah IAP2 Indonesia sudah seharusnya memiliki trainer-trainer sendiri. Disamping terkait bahasa dan studi kasus yang relevan menjadi pertimbangkan kenapa perlu adanya pelatih dari Indonesia.
Rachmadi menambahkan, misalnya saja kita masuk ke pihak swasta yang menyediakan jasa Transportasi Online. Kita tahu bahwa mereka merupakan perusahaan Teknologi Informasi (IT) yang memiliki produk jasa transportasi umum untuk publik. Dari sini lah dapat menjadi opportunity yang bagus. Tak ada gading yang tak retak. Setiap perusahaan swasta pasti memiliki tantangan dalam menyediakan barang atau jasa yang berhubungan dengan publik. Karena itu IAP2 Indonesia juga bisa menjadi mitra dalam membantu memberikan pemahaman proses partisipasi publik dan best practice yang dapat dilakukan dalam menjawab tantangan dibisnisnya yang memberikan pengaruh kepada publik dengan melibatkan sejumlah stakeholder.
Masuk kedalam penutup acara diskusi “Ngopas”, Aldi selaku ketua afiliasi IAP2 Indonesia, memberikan informasi tambahan, untuk mengadakan acara “Ngopas” secara rutin, selanjutnya dapat dilakukan dibulan Desember 2018 mendatang, dengan membahas review 1 teknik dalam partisipasi publik, dan mempraktekannya kedalam sebuah simulasi masalah/kasus. Selain itu, IAP2 Indonesia telah melakukan audiensi dengan sekretariat SDGs di Indonesia, dimana kita bisa membantu membangun kapasitas personil mereka untuk menjalankan proses praktek partisipasi publik dalam menjalankan tugas mereka.
Mengingat agenda terdekat mereka adalah harus memberikan laporannya ke UN pada tahun 2019 di Newyork, Amerika. Kemudian, agenda IAP2 Indonesia selanjutnya adalah memberikan contoh dalam melakukan langkah praktis dikasus-kasus yang sederhana dari kalangan komunitas atau ditempat bekerja masing-masing anggota, memberikan liputan terkait partisipasi publik, berita dengan topik berseri, menghadirkan anggota yang dapat menjadi fasilitator, mengangkat isu-isu sekitar guna menjadi bahan untuk difasilitatori oleh pihak IAP2 indonesia, mulai menghadirkan trainer dari Indonesia untuk mengadakan pelatihan yang bersertifikasi atau pun yang bersifat umum.