Jakarta – IAP2 Indonesia hadir di Indonesia sebagai salah satu lembaga yang berfokus pada kemajuan partisipasi publik sejak tahun 2012 sampai sekarang. Menjelang akhir 2020, tepatnya Kamis, 5 Desember 2019 di Mula by Galeria Cilandak, IAP2 Indonesia mengadakan silaturahmi antar dewan pengurus, mitra dan para penggiat partisipasi publik. Sebagai salah satu pembicara adalah Yusdi Usman, anggota Dewan Pengurus IAP2 Indonesia dan kandidat doktor Universitas Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Yusdi Usman berbagi perspektif tentang tantangan perkembangan partisipasi publik serta peluang untuk mendorong partisipasi publik lebih kuat.
Tantangan Partisipasi Publik di Indonesia
Ada tiga perspektif partisipasi publik yang dikenal, yaitu partisipasi publik sebagai bagian dari citizenship (kewarganegaraan), partisipasi publik sebagai hak dasar, dan partisipasi sebagai demokrasi deliberatif. Di negara maju, yang mana warganya cukup kuat memahami hak dan kewajibannya, “partisipasi” dalam kehidupan bernegara sudah menjadi hal yang biasa dan terlihat begitu aktif. Terlebih lagi dalam mengkritisi kebijakan publik yang dirasa kurang relevan.
Namun, dalam konteks Indonesia, kedua perspektif pertama masih lemah. Hak-hak warga negara belum begitu melekat dalam kesadaran publik, demikian ungkap Yusdi. Sehingga masyarakat kurang aktif dalam mengambil inisiatif. Selain itu, wadah untuk berpartipasi belum maksimal. Seperti contoh saat ada lubang-lubang di trotoar di suatu daerah di Indonesia. Bagaimana cara masyarakat sekitar untuk dapat berpartisipasi dalam memperbaiki lubang tersebut? Belum ada platform yang efektif untuk mewadahinya.
Perspektif ketiga adalah partisipasi publik yang dikembangkan oleh IAP2, yang mana partisipasi merupakan bagian dari demokrasi yang deliberatif. Sementara itu, demokrasi liberal dalam perkembangannya di Indonesia menciptakan relasi kekuasaaan antara yang powerless dan powerful. Akibatnya adalah masyarakat (powerless) terbatas berpartisipasi dalam memutuskan kebijakan. Suara mereka diwakili oleh parlemen, yang sering kali tidak menyuarakan kepentingan rakyat bawah. Oleh karenanya, Yusdi menekankan perlunya mekanisme lain dimana demokrasi deliberatif bisa masuk/hadir.
Proses deliberasi dilakukan melalui konsultasi dan musyawarah, khususnya terkait kebijakan dan proses pembangunan. IAP2 Indonesia, melalui konsep spektrum partisipasi publik, dapat memperkuat proses tersebut. Dimulai dari tingkat Inform sampai kepada Empower. Empower ini merupakan spektrum paling akhir (ke-lima) setelah Inform, Consult, Involve dan Collaborate, dimana sebuah keputusan-keputasan kebijakan ada di tangan publik.
Penerapan tingkatan partipasi berdasarkan spektrum IAP2 memang tidak mudah dan cukup menantang. Namun, kondisi pendukung telah tersedia di Indonesia, misalnya praktik demokrasi sudah berjalan dari sisi prosedural (belum sisi substansi). Selain itu juga ada perencanaan pembangunan nasional yang berbasis fakta/evidence based, yang mana ini dapat membuka ruang publik untuk ikut terlibat dalam menghadirkan data hasil riset. Faktor SDGs juga sebagai pendukung karena mensyaratkan kemitraan multi-pihak untuk mencapai tujuan SDGs 2030, khususnya pada tujuan ke-17.
Masalahnya adalah, dalam tingkat publik yang lebih luas, partisipasi di Indonesia masih terbatas. Salah satu kekuatan demokrasi atau partisipasi publik terletak pada kelas menengah yang membesar, dengan ciri salah satunya adalah berpendidikan yang tinggi. Namun data BPS 2019 menunjukkan bahwa hanya 7% masyarakat Indonesia yang memiliki Pendidikan tinggi (3% diploma dan 4% sarjana), 76% adalah tamatan SD-SMA/SMK, selebihnya 17% bahkan tidak tamat SD dan tidak bersekolah.
Dengan mayoritas penduduk berada dalam golongan Pendidikan rendah, demokrasi dan partisipasi publik menjadi tantangan tersendiri. Ada kecenderungan bahwa politisi memanipulasi kemiskinan dan kebodohan untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, mempengaruhi partisipasi publik di Indonesia sangat tergantung relasi kuasa. Mereka yang powerful memiliki akses terhadap kebijakan publik, tetapi pertanyaannya apakah orang-orang yang powerful ini yang mencoba mempengaruhi kebijakan publik juga mewakili golongan mayoritas (yang notabene tamatan SD-SMA/SMK, tidak tamat SD dan tidak bersekolah)?
Kondisi tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kurang partisipatif. Dan SDGs dengan semangat No One Left Behind-nya mencoba masuk ke golongan powerless ini. Maka pilihan pragmatis yang bisa kita lakukan adalah memperkuat kemitraan dengan pemerintahan, memperkuat pengetahuan melalui riset, yang sudah dilakukan adalah melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan seperti SGPP Indonesia atau UI, atau dengan menjalin kolaborasi dengan ormas besar seperti NU atau Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, langkah prioritas yang perlu diambil IAP2 Indonesia adalah memperkuat partisipasi publik di kalangan powerful dan powerless.
Referensi
Usman, Yusdi (2019). Tantangan Partisipasi Publik di Indonesia. Jakarta: Unpublished. Dipresentasikan pada Pertemuan Akhir Tahun IAP2 2019.
Tulisan ini disadur oleh Admin Sekretariat IAP2 Indonesia dari presentasi Yusdi Usman dalam Pertemuan Akhir Tahun yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Kamis, 5 Desember 2019. Yusdi Usman adalah salah satu Dewan Pengurus IAP2 Indonesia dan ahli Sosiologi.