Reality Check Approach (RCA) pertama kali diterapkan di Bangladesh pada tahun 2007 yang dikomisikan oleh Kedutaan Besar Swedia. Seringkali ketika kita berbicara dengan komunitas miskin, kita menganggap mereka sebagai satu kelompok saja. Namun, RCA percaya bahwa masyarakat miskin tidak boleh dilihat sebagai suatu kelompok yang homogen. Cara pemikiran orang dewasa berbeda dengan kaum muda, dan cara pemikiran laki-laki berbeda dengan perempuan. Ketika tim RCA melakukan penelitian, kami tidak datang ke tempat penelitian dengan ekspektasi untuk menemukan sesuatu, namun kami berusaha belajar sesuai dengan tema yang ada. Metode yang digunakan di RCA adalah in-depth conversation atau percakapan mendalam. RCA merupakan metode kualitatif.
TNP2K, di bawah Kantor Wakil Presiden, mengkomisikan RCA untuk melakukan monitoring & evaluation (monev) untuk melihat dampak bantuan sosial ke masyarakat yang mencapai 800 Trilyun. Dalam melakukan penelitian ini, tim RCA tidak datang ke kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, atau pemimpin agama. Namun, kami mencari rumah tangga yang paling sederhana. Kami tidak datang dengan daftar pertanyaan, tetapi mempunyai tema, yaitu dalam hal ini bantuan sosial.
Untuk melakukan hal ini, setiap anggota tim RCA menginap empat malam dan lima hari di satu rumah keluarga. Ini dilakukan agar kami dapat berasimilasi dengan keluarga tersebut dan masyarakat sekitar. Kami mengalami dan mengamati kehidupan masyarakat. Misalnya, masyarakat masyarakat bilang di dekat mereka ada hutan tetapi mereka tidak mendapatkan manfaatnya. Padahal, setelah beberapa hari saya tinggal di sana, saya melihat sendiri ada illegal logging atau penebangan liar dalam skala kecil. Lalu kami melakukan joint-reflection atau refleksi bersama. Ketika malam dan keadaan sudah santai, kami berbincang dengan keluarga dan merefleksikan pembicaraan-pembicaraan pada hari itu. Temuan yang kami dapat kemudian kami triangulasikan dengan tim-tim yang tersebar di desa.
Peneliti RCA menjadi bagian dari masyarakat, mengamati dan tidak menilai. Misalnya, ketika melihat seorang anak sakit, kami tidak boleh mempertanyakan kenapa anak tersebut tidak dibawa ke dokter. Atau jika kami berbincang dengan seseorang yang merokok, kami tidak boleh menunjukkan ketidaksukaan terhadap rokok. Di RCA, kami harus mencoba memaknai hidup seperti keluarga yang kami tinggali.
Semangat RCA adalah mendapatkan pemahaman masyarakat, terutama mereka yang terpinggirkan. Orang-orang ini biasanya tidak ada dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh pemerintah atau LSM. Orang-orang ini biasanya sedang bekerja di kebun ketika FGD dilakukan. Kalaupun mereka datang dalam forum besar, mereka tidak akan berbicara. Padahal, mereka sebagai masyarakat miskin dan sangat miskin merupakan target bantuan sosial dari TNP2K. Suara merekalah yang kami harus tahu, bukan suara tokoh masyarakat.
Pengalaman masyarakat miskin dan sangat miskin ini seringkali tidak tertangkap dalam policy paper. Misalnya, seorang ibu mengeluh kalau tiap tahun ia harus mengeluarkan lima pasang seragam baru untuk setiap anak sedangkan makan saja masih susah, atau bagaimana keluarganya harus meminjam uang ke rentenir untuk membeli baju dan seumur hidup terikat hutang. Dalam hal seperti ini, apakah bantuan sosial sebesar 600 ribu sampai satu Rupiah akan membantu? Sepertinya tidak.
Temuan RCA lainnya adalah terkait pola pengeluaran. Yang dulu bukan merupakan pengeluaran luar biasa sekarang bisa menjadi luar biasa, misalnya jajanan atau cemilan, pulsa telepon, dan rokok. Beban untuk keluarga bisa memuncak karena hal-hal seperti ini. Ketika musim panen, setiap anak bisa meminta uang jajan sebesar 10 sampai 20 ribu Rupiah. Setiap hari rata-rata mereka meminta lima ribu Rupiah. Kami memiliki cara untuk memetakan pengeluaran rumah tangga, misalnya dengan menggunakan gambar atau diagram oleh keluarga itu sendiri. Ini adalah hal sensitif. Mereka tidak akan mau bilang kalau mereka harus berhutang untuk beli baju baru ketika Lebaran atau Natal.
RCA juga menemukan bahwa terdapat beberapa mekanisme berbeda dalam penyaluran uang bantuan sosial, seperti melalui bank, kantor pos, pegawai kecamatan, atau kepala desa. Mekanisme penyampaian bantuan sosial yang berbeda-beda ini tergantung dari keadaan di masing-masing daerah. Bantuan sosial juga terkadang tidak sesuai dengan keadaan lokal. Misalnya di suatu desa di NTB, masyarakat mengatakan kalau mereka tidak membutuhkan beras miskin atau raskin, melainkan mereka memerlukan ikan miskin.
Dalam penelitian RCA, kami juga mengamati power distance atau jarak kekuasaan antara yang ada di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dari kelompok termarginalisasi mengatakan bahwa beliau tidak pernah mengeluh dalam rapat desa karena takut tidak akan mendapatkan jatah raskin.
Temuan-temuan RCA ini berguna untuk mempengaruhi kebijakan (policy influence). Seni dari suatu kebijakan atau policy adalam implementasi, karena banyak sekali pemangku kepentingan yang terlibat. Seringkali suatu kebijakan tidak diimplementasi dengan baik karena kurangnya pengertian pemerintah mengenai kehidupan dan pemikiran masyarakat yang pemerintah hendak bantu. RCA mencoba menjembatani pihak otoritas dan masyarakat.
Referensi
Reality Check Approach (2015). Getting the voice of the most marginalised people: an approach with in-depth conversation. Dibawakan dalam presentasi pada Rabu, 25 Februari 2015.
Tulisan ini disadur oleh Kristia D. Sianipar dari presentasi dalam seminar yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Rabu, 25 Februari 2015. Dewi Arilaha adalah Communication Adviser di Reality Check Approach (RCA) Indonesia yang saat ini dikomisi oleh TNP2K dan Kantor Wakil Presiden.