Oleh Aldi M. Alizar dan Yusdi Usman
Dunia terus berubah. Perubahan yang terjadi di berbagai arena itu umumnya berjalan dinamis. Salah satunya adalah perubahan dalam pendekatan pembangunan. Sampai beberapa dekade lalu, orientasi pembangunan yang bertumpu pada business as usual masih sangat dominan. Pendekatan ini membawa konsekuensi serius pada over-exploitative terhadap sumber daya alam untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari pendekatan pembangunan yang business as usual ini adalah ancaman terhadap keberlanjutan ekonomi, produksi, konsumsi dan keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Para ahli dan pengambil kebijakan kemudian mulai menyadari kekeliruan pendekatan yang sudah digunakan di sejak awal era modern ini. Karena itu, mereka mulai memikirkan keberlanjutan kehidupan manusia, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan bumi itu sendiri.
Kesadaran ini melahirkan perubahan pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan. Muncullah berbagai istilah dalam pembangunan, seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan hijau (green development), green economy, sustainable production and consumption, dan sebagainya.
Di balik semua istilah itu, ada semangat dan upaya yang dilakukan oleh para ahli untuk menemukan pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan. Bahwa seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan kemajuan peradaban manusia, dan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk bumi, maka pendekatan, paradigma, dan filosofi lama perlu ditransformasikan kepada pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan.
Berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga internasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional (IFIs—International Finance Institutions) juga mulai menyadari kekeliruannya selama ini. Mereka kemudian berlomba-lomba merumuskan pendekatan baru dalam pembangunan untuk memastikan adanya keseimbangan dan keberlanjutan.
Lahirlah sejumlah pendekatan dan dibuatlah standar-standar yang bertujuan untuk memastikan adanya keseimbangan dan keberlanjutan dalam pembangunan, khususnya dalam investasi yang mempunyai dampak pada lingkungan hidup dan masyarakat, seperti IFC Performance Standards, ISO, RSPO, ISPO, SVLK, GRI sustainability reporting, dan sebagainya.
Intinya adalah berkembang semangat baru untuk memastikan bahwa praktik business as usual perlu ditransformasikan kepada praktik keberlanjutan dalam pembangunan, baik di tingkat global maupun di semua negara di dunia. Oleh karena itu, transformasi ini perlu dilakukan di tingkat kebijakan tertinggi sebuah negera.
PRK di Indonesia
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) merupakan sebuah pendekatan yang mempunyai paradigma sama dan beririsan dengan pendekatan-pendekatan yang sudah disebutkan di atas: pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan hijau (green development), green economy, sustainable production and consumption, dan sebagainya.
Istilah dan konsep pembangunan rendah karbon atau low carbon development dirumuskan untuk—secara khusus—memperkuat dukungan global dan lokal terhadap upaya adaptasi dan mitigasi prubahan iklim. Dengan menggunakan istilah “low carbon”, maka semua proses pembangunan diharapkan bisa menekan dan menurunkan produksi karbon (emisi CO2) yang berlebihan dari proses produksi dan konsumsi sehingga bisa mengurangi dampak pada perubahan iklim.
PRK menjadi lebih strategis karena bisa menyasar semua sektor pembangunan yang berkontribusi pada produksi karbon. Semua aktivitas kehidupan manusia menghasilkan karbon (CO2), bahkan saat kita bernapas pun, juga menghasilkan karbon. Hal yang menjadi perhatian dari PRK adalah bagaimana mengendalikan kegiatan ekonomi, produksi, dan konsumsi yang menghasilkan karbon berlebihan dalam kegiatan pembangunan.
Menurut laporan Union of Concern Scientist (www.ucsusa.org), pada tahun 2018, Indonesia berada pada urutan ke 10 sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, yakni sebesar 0,61GT. China berada pada urutan pertama yang menghasilkan emisi karbon sebesar 10,06GT, diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 5,41GT dan India sebesar 2,65GT pada urutan ketiga. Tulisan ini belum menganalisis data emisi karbon versi lain.
Melihat data tersebut, wajar jika pemerintah kemudian memasukkan pendekatan PRK dalam kebijakan pembangunannya karena banyak sektor pembangunan berkontribusi pada emisi karbon ini. Di antaranya adalah sektor kehutanan, pertanian, energi dan industri, transportasi, limbah, dan sebagainya.
Kebijakan PRK ini secara resmi sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Dengan demikian, kebijakan PRK sudah menjadi sebuah kebijakan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan di Indonesia.
Di Indonesia, PRK merupakan transformasi dari kebijakan RAN/RAD-GRK atau Rencana Aksi Nasional/Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca, yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011.
Pada tahun 2016, Indonesia melakukan ratifikasi Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim, yakni Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change menjadi UU No. 16 Tahun 2016. Dalam UU ini, ditegaskan kembali komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional.
Menurut laporan Bappenas tahun 2019, transformasi kebijakan pembangunan rendah karbon ini dilakukan untuk menyelaraskan dengan pendekatan lain dalam pembangunan, yakni Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. PRK ini akan menjadi bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.
Selain itu, kebijakan PRK ini juga diharapkan bisa dicapai pada tahun 2030 sesuai milestone dibawah ini (Bappenas, 2019):
Urgensi Green Engagement
Melihat perkembangan yang sangat menggembirakan dalam pendekatan pembangunan di Indonesia, yang mana pemerintah sudah mulai mentransformasikan pendekatan pembangunan ke arah pembangunan rendah karbon, baik dalam tahap perencanaan maupun implementasi pembangunan, maka tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat atau parapihak dapat terlibat dengan baik.
Tantangan ini sebenarnya tidak sulit dijawab mengingat Indonesia—secara prosedural—merupakan negara demokratis, yang mana proses perumusan berbagai kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah di semua tingkatan, membuka ruang adanya partisipasi masyarakat. Dalam kondisi ini, partisipasi publik tidak sulit dilakukan. Berbeda misalnya saat Indonesia masih berada di era Orde Baru, dimana partisipasi publik merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan.
Logika dasar dari urgensi partisipasi publik ini adalah bahwa semakin besar partisipasi publik maka semakin bagus sebuah kebijakan publik itu dihasilkan, dan semakin kuat institusionalisasi kebijakan tersebut dalam masyarakat. Sebaliknya, kebijakan publik yang dibuat dengan partisipasi masyarakat rendah, akan semakin berpotensi melahirkan kebijakan yang parsial dan eksklusif di satu sisi dan melemahkan proses institusionalisasi kebijakan publik dalam masyarakat di sisi lain.
Dengan kata lain, jika institusionalisasi kebijakan publik rendah, maka legitimasi dan efektifitas dalam implementasi kebijakan publik akan melemah. Kondisi ini akan berpotensi menghasilkan berbagai dampak negatif dari implementasi sebuah kebijakan publik, termasuk berkembangnya berbagai konflik sosial dalam masyarakat. Untuk itu, partisipasi publik menjadi sangat urgen dalam perumusan setiap kebijakan publik, termasuk kebijakan pembangunan rendah karbon ini.
Karena berkaitan dengan kebijakan spesifik, yakni rendah karbon, maka penulis menggunakan istilah “green engagement” untuk menyebutkan kerangka partisipasi publik dalam pembangunan rendah karbon ini.
Dengan demikian, green engagement ini adalah sebuah kerangka (framework) partisipasi publik untuk memperkuat kebijakan pembangunan rendah karbon. Bagi penulis, kerangka ini tetap mengacu pada konsep partisipasi publik yang dikembangkan oleh IAP2 (International Association for Public Participation).
IAP2 mempunyai spektrum partisipasi publik yang sudah digunakan secara global di banyak negara. Spektrum partisipasi publik ini mempunyai lima tingkatan, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, sebagai berikut:
- Inform(menginformasikan kepada masyarakat)
- Consult(konsultasi dengan masyarakat)
- Involve(melibatkan masyarakat)
- Collaborate(berkolaborasi bersama masyarakat), dan
- Empower(memberdayakan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik)
Green engagement bekerja dalam lima spektrum ini, khusus untuk isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan rendah karbon atau variannya, seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan hijau (green development), green economy, sustainable production and consumption, dan sebagainya.
Selain perbedaan dalam konteks isu, green engagement mempunyai penekanan pada upaya peningkatan komitmen para pihak utuk mengarusutamakan pendekatan rendah karbon dalam semua aktivitas mereka, terutama aktivitas ekonomi, produksi, dan konsumsi skala besar.
Namun demikian, IAP2 Indonesia berkepentingan untuk mendorong pemerintah dan semua pihak untuk menggunakan spektrum green engagement yang lebih tinggi, yakni collaborate dan empower. Karena, semakin tinggi spektrum green engagement yang digunakan, maka akan semakin besar proses institusionalisasi dari kebijakan publik itu sendiri.
Berharap, kebijakan pembangunan rendah karbon yang sudah masuk menjadi bagian dari RPJMN 2020-2024 ini semakin kuat terlembaga dalam proses pembangunan di Indonesia ke depan.
Aldi M. Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional
Yusdi Usman, Dr. Cand. adalah Co-Chair IAP2 Indonesia
green engagement sangat baik jika diterapkan di daerah timur untuk menciptakan lapamgan kerja dan menciptakan penghijauan lingkungan
Terimakasihtuk materi nya... Sangat bermanfaat sekali
Terimakasih kepada pemateri yang telah menyampaikan materinya , dan selmat dan sukses kepada panitia dan jajarannya yang telat menyelenggaraka acara ini
Materi yg sangat bermanfaat
Materi yang di sampaikan sangat bermanfaat