KOMPAS PANCASILA DI BALAI RW

IAP2 Indonesia – PSEL (pengelolaan sampah menjadi energi listrik) bukan sekadar teknologi; ia adalah ekosistem yang bertumpu pada 3R (Reduce–Reuse–Recycle), rantai nilai pasar daur ulang, dan tata kelola kolaboratif yang adil. Agar berkelanjutan, PSEL perlu beroperasi sejalan dengan Partisipasi Bermakna (IAP2 Spectrum), ESG, dan GEDSI, serta berakar pada falsafah Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika—yang menyatukan perbedaan menjadi kekuatan gotong royong.

Di Balai RW yang dindingnya dipenuhi poster daur ulang, Sari—ketua KSM—membuka pertemuan. “Malam ini, kita bukan sekadar bicara mesin pembangkit,” ujarnya. “Kita bicara cara hidup baru—bagaimana sampah dipilah, bernilai, dan menyala jadi listrik tanpa meninggalkan siapa pun.”

Di hadapannya duduk Bang Darto (koordinator pekerja informal/pemulung), Bu Rukiyah (kader PKK sekaligus guru PAUD), Pak Letha (tokoh adat), Rani (aktivis disabilitas), serta dua insinyur muda dari dinas. Sari menempelkan peta alur: rumah tangga → TPS 3R → RDF/kompos → PSEL → listrik. Panah-panah tipis menghubungkan GRM (saluran aduan), dashboard kinerja, dan daftar offtaker material.

“Kompas kita Pancasila,” kata Sari.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa: pertemuan dibuka doa; etika kerja dan kejujuran data menjadi ibadah.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: GEDSI bukan lampiran; ia masuk desain—jalur landai, piktogram ramah disabilitas, jam layanan yang tidak mengorbankan peran pengasuhan.

3. Persatuan Indonesia: musyawarah lintas keyakinan, suku, dan profesi; petugas angkut dan pemulung duduk setara membahas tarif.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan: keputusan penting—lokasi TPS 3R, SLA layanan, besaran retribusi—co-decision melalui Forum TPS 3R, menapaki IAP2 dari Inform–Consult–Involve–Collaborate–Empower.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: tarif berkeadilan, skema subsidi silang, upah setara dan APD lengkap bagi pekerja.

Bang Darto mengangkat tangan. “Kalau harga plastik turun?” Rani menimpali, “Kalau ram jadi penuh kursi biasa, saya duduk di mana?” Insinyur muda menunjukkan floor price dari kemitraan EPR/PRO dan kontrak serapan offtaker. Mereka menggambar ulang denah fasilitas: jalur landai, quiet corner, area menyusui, dan papan informasi open book biaya–pendapatan.

“Partisipasi bermakna itu ada feedback loop,” ujar Sari sambil menempel matriks tanggapan: diterima, dimuat sebagian, ditolak—semuanya beralasan, terlihat, dan berdampak pada rancangan akhir. Di sudut ruangan, layar kecil menampilkan dashboard: uptime operasi, tonase terpilah, mutu RDF, kompos terserap, serta respons GRM. “Data bukan untuk rapat saja,” ucapnya, “tapi untuk memperbaiki keputusan.”

Malam kian larut. Pak Letha merangkum, “Bhinneka Tunggal Ika itu bukan slogan; ia cara kerja. Kita berbeda, tapi setuju pada tujuan: kota bersih, udara sehat, dan listrik yang tak menyingkirkan siapa pun.” Pertemuan menutup dengan kesepakatan: Audit Cepat 15 Hari untuk TPS 3R eksisting, Pemulihan 90 Hari (retrofit, SOP, kontrak offtaker), serta kontrak O&M 3 tahun berbasis KPI—uptime ≥ 85%, recovery rate naik bertahap, dan ≥ 90% produk olahan terserap pasar.

Baca Juga : Sumpah Pemuda dan Partisipasi: Relevansi Suara Kaum Muda Hari Ini

Ketika lampu balai padam, warga pulang membawa lembar panduan pemilahan dan jadwal konsultasi putaran kedua. Di langit, kota berpendar kecil-kecil—seperti janji: bila partisipasi dijaga, data dibuka, dan martabat manusia dihormati, sampah berubah dari beban menjadi cahaya. PSEL bukan mimpi mesin; ia ikrar bersama yang dikawal Pancasila dan dirayakan dalam keberagaman.

Kesimpulan

Program “Kompas Pancasila di Balai RW” menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila bisa dihidupkan bukan hanya lewat upacara atau slogan, tapi juga lewat praktik nyata di tingkat komunitas. Di Balai RW, warga belajar untuk berdialog, bermusyawarah, dan mencari solusi bersama atas persoalan lingkungan dan sosial yang dihadapi — inilah bentuk nyata gotong royong, musyawarah, dan keadilan sosial.

Pancasila berfungsi sebagai kompas moral sekaligus pedoman arah bagi setiap langkah masyarakat dalam menjaga harmoni antarwarga. Ketika nilai-nilai seperti toleransi, partisipasi, dan tanggung jawab tumbuh di ruang-ruang kecil seperti Balai RW, maka pondasi kebangsaan kita pun menjadi semakin kuat. Melalui inisiatif ini, masyarakat tidak hanya memahami Pancasila secara teoritis, tetapi juga menghidupinya dalam keseharian.

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *