IAP2 Indonesia – Ketika dunia mencari inspirasi baru untuk membangun ekonomi yang adil dan berkelanjutan, pelajaran terbaik ternyata tidak datang dari ruang rapat para ekonom, melainkan dari alam dan akar tradisi kita sendiri. Seperti mikroba yang hidup dalam sistem quorum sensing dan biofilm mengutamakan konsensus, menjaga ketahanan kolektif, dan menghindari dominasi demikian pula masyarakat adat Nusantara telah lama mengembangkan sistem hidup yang menyeimbangkan lingkungan, sosial, dan tata kelola: tiga pilar utama Environmental, Social, and Governance (ESG).
Artikel ini menyoroti lima sistem adat di berbagai wilayah Indonesia yang mencerminkan prinsip-prinsip biomimetik dan ESG, sebagai warisan berharga dalam membangun masa depan ekonomi planet.
1. Subak (Bali): Irigasi Sakral dan Tata Kelola Komunal
Sumber foto: Indonesia Kaya
Subak adalah sistem irigasi tradisional berbasis kuil (pura) yang mengatur distribusi air antar sawah secara adil dan efisien, dipimpin oleh petani dalam unit demokratis.
Biomimetik dan ESG:
– Quorum sensing: Keputusan alokasi air dibuat melalui rapat subak, setelah persetujuan komunitas dicapai.
– Biofilm sosial: Sistem tanam terpadu menjaga tanah dari erosi dan menjaga ketahanan pangan.
– E: Pengelolaan air berbasis kesadaran ekologis.
– S: Gotong royong dan ritual mempererat kohesi sosial.
– G: Tata kelola kolektif dan terstruktur sejak ratusan tahun lalu.
2. Sasi (Maluku dan Papua): Larangan Adat sebagai Mekanisme Regenerasi Alam
Sumber foto: kompasiana com
Sasi adalah hukum adat untuk melarang sementara eksploitasi sumber daya alam (ikan, kerang, hasil hutan) demi memberi waktu regenerasi ekologis.
Biomimetik dan ESG:
– Quorum sensing: Ditetapkan melalui rapat adat bersama masyarakat dan tokoh agama.
– Biofilm ekologis: Wilayah sasi menjadi zona konservasi kolektif.
– E: Menjaga biodiversitas dan stok ikan.
– S: Diterapkan melalui kontrol sosial dan nilai kolektif.
– G: Dikelola oleh lembaga adat dan pemuka agama secara sinergis.
3. Nagari (Minangkabau): Demokrasi Adat dan Keberlanjutan Sosial
Sumber foto: wikipedia
Nagari adalah unit pemerintahan adat di Minangkabau yang mengatur tanah ulayat, hukum waris, musyawarah, dan pelestarian sosial melalui prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Biomimetik dan ESG:
– Quorum sensing: Keputusan musyawarah ninik mamak dan kerapatan adat.
– Biofilm budaya: Jaringan sosial, pendidikan surau, dan ekonomi nagari membentuk perlindungan kolektif.
– E: Tanah ulayat tidak bisa diperjualbelikan, menjaga kesinambungan.
– S: Sistem matrilineal menjamin keberlanjutan sosial dan partisipasi perempuan.
– G: Kerapatan adat, demokrasi deliberatif, dan kepemimpinan kolektif.
4. Uma (Mentawai): Komunitas Ekologis Berbasis Rumah Panjang
Sumber foto: PASBANA
Di Mentawai, satu uma adalah rumah panjang dan pusat kehidupan satu klan. Segala keputusan, termasuk pengelolaan hutan dan sungai, diambil bersama di dalam uma.
Biomimetik dan ESG:
– Quorum sensing: Diskusi klan hingga mufakat, tidak ada sistem pemaksaan.
– Biofilm komunitas: Rumah panjang sebagai simbol integrasi sosial dan perlindungan kolektif.
– E: Pengetahuan lokal dalam berburu dan bertani sangat ramah lingkungan.
– S: Peran dukun (sikerei) memperkuat relasi manusia-alam-roh.
– G: Sistem keputusan horizontal dan tanpa dominasi.
Baca Juga : Perjanjian Roem-Royen: Bukti Keterlibatan Rakyat
5. Marapu (Sumba): Ritual, Lahan Leluhur, dan Konsensus Adat
Sumber foto: RRI
Sistem kepercayaan Marapu mengatur relasi spiritual dengan leluhur dan alam. Lahan pertanian dan ternak dikelola berdasarkan warisan adat dan hukum kolektif, dengan keputusan dibuat secara musyawarah.
Biomimetik dan ESG:
– Quorum sensing: Semua keputusan penting diambil melalui forum adat bersama para tetua dan pemuka spiritual.
– Biofilm sakral: Tanah dan batu kubur leluhur dianggap keramat, tidak boleh dieksploitasi.
– E: Pelarangan konversi tanah adat untuk pertambangan atau korporasi.
– S: Struktur adat menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan arwah leluhur.
– G: Legitimasi kekuasaan berbasis amanat spiritual dan kehendak kolektif.
Kesimpulan
Kelima sistem adat Nusantara ini membuktikan bahwa prinsip-prinsip biomimetik dan ESG telah lama hadir dalam laku hidup masyarakat lokal Indonesia. Masyarakat ini tidak hidup untuk menguasai alam, tetapi untuk berharmoni dengannya. Mereka tidak mengagungkan kekuatan individu, melainkan membangun kekuatan kolektif. Jika bakteri membentuk biofilm untuk melindungi komunitasnya, maka masyarakat adat menciptakan sistem gotong royong, larangan adat, dan rumah panjang sebagai bentuk perlindungan sosial-ekologis.
Jika quorum sensing adalah kecerdasan kolektif mikroba, maka musyawarah adat adalah cermin dari kecerdasan sosial manusia. Masa depan ekonomi bukan sekadar teknologi dan pasar, tetapi juga kemampuan untuk mendengar kembali suara akar: suara tanah, air, roh leluhur, dan kearifan komunal. Di sinilah ESG dan biomimetik bersatu dalam tubuh budaya Nusantara.
Daftar Pustaka:
1. Lansing, J. S. (2006). Perfect Order: Recognizing Complexity in Bali. Princeton University Press.
2. Elmhirst, R. (2003). Resource Struggles and the Politics of Sasi in Eastern Indonesia. Asia Pacific Viewpoint.
3. Nasroen, M. (1957). Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Balai Pustaka.
4. Sanday, P. R. (2002). Women at the Center: Life in a Modern Matriarchy. Cornell University Press.
5. Persoon, G. (2003). Reconstructing Customary Forest Management in the Mentawai Archipelago.
6. Forth, G. (1998). Beneath the Volcano: Religion, Cosmology and Spirit Classification among the Nage of Eastern Indonesia.