Oktobrisasi: Mendorong Budaya Kritis dan Partisipatif di Kampus

IAP2 Indonesia – Bulan Oktober memegang posisi unik dalam narasi sejarah pergerakan di Indonesia. Bukan hanya ditandai oleh peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang fundamental, tetapi juga resonansi idealisme yang seringkali memuncak di kalangan akademisi. Momen ini, yang bisa kita sebut sebagai Oktobrisasi, adalah kesempatan tahunan bagi sivitas akademika—khususnya mahasiswa—untuk menyegarkan kembali fungsi hakiki kampus: bukan sekadar ruang belajar pasif, tetapi juga ruang berkontribusi, berkolaborasi, dan berpartisipasi aktif dalam perubahan sosial yang luas.

Peran Kampus sebagai Inkubator Partisipasi

Untuk menyukseskan Oktobrisasi, kampus harus bertindak sebagai inkubator, bukan sekadar menara ilmu, ada beberapa peran yaitu sebagai berikut:

1. Membuka Ruang Dialog Inklusif

Budaya Kritis Kampus

Sumber: universitas negeri malang

Kampus harus menjamin adanya safe space (ruang aman) untuk berdiskusi. Forum-forum diskusi tidak boleh didominasi oleh satu pandangan saja, melainkan harus mendorong musyawarah dan rasa hormat terhadap perbedaan pendapat. Ini penting untuk memerangi polarisasi yang marak di media sosial.

2. Menghubungkan Penelitian dengan Komunitas

Budaya Kritis Kampus

Sumber: Peron – Kab Kendal

Dosen dan mahasiswa perlu diarahkan untuk menjadikan masalah riil di masyarakat sebagai objek penelitian dan pengabdian. Ketika riset menghasilkan inovasi teknologi atau model pemberdayaan, barulah peran Agent of Change benar-benar terwujud. Misalnya, riset mengenai sanitasi buruk di desa harus ditindaklanjuti dengan program pembangunan infrastruktur yang melibatkan partisipasi aktif warga.

3. Menjaga Independensi dan Idealismenya

Budaya Kritis Kampus

Sumber: UIN Antasari Banjarmasin

Mahasiswa harus berani menolak segala bentuk kooptasi, baik dari kekuatan politik, ekonomi, maupun senioritas. Idealisme—yang merupakan modal utama mahasiswa—harus dijaga agar partisipasi yang dilakukan murni demi kepentingan umum.

Kampus Bukan Menara Gading, tetapi Simpul Perubahan

Bagi mahasiswa, partisipasi publik sering dimaknai secara sempit—sebatas demonstrasi atau kegiatan politik praktis. Padahal, esensi partisipasi publik adalah mengambil peran dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan yang memengaruhi kehidupan bersama.

Di dalam kampus, partisipasi ini diwujudkan melalui:

1.Budaya Berpikir Kritis

Budaya Kritis Kampus

Sumber: limadetik

Oktobrisasi mendorong mahasiswa untuk tidak menelan mentah-mentah informasi. Budaya kritis lahir dari keberanian mempertanyakan status quo, menganalisis kebijakan dengan kerangka ilmiah, dan membangun argumen berbasis data, bukan emosi. Inilah kontribusi intelektual paling mendasar bagi perubahan.

2. Dialog dan Musyawarah Terbuka

Budaya Kritis Kampus

Sumber: media indonesia

Partisipasi aktif tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan. Kampus adalah miniatur masyarakat yang majemuk. Momentum Oktobrisasi harus dimanfaatkan untuk mengadakan diskusi publik, focus group discussion (FGD), dan forum-forum yang terbuka bagi berbagai pandangan, menjauhkan kampus dari politik polarisasi.

3. Partisipasi Sektoral Non-Politik

Budaya Kritis Kampus

Sumber: ITB

Ini adalah wujud nyata kontribusi. Daripada hanya fokus pada isu politik elektoral, mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam isu-isu mendesak di sekitar mereka, seperti:

  • Lingkungan: Melalui proyek konservasi atau kampanye pengurangan sampah.
  • Sosial-Ekonomi: Memberikan pendampingan kepada UMKM (sejalan dengan semangat Bulan Inklusi Keuangan di bulan Oktober) atau menginisiasi program literasi digital bagi masyarakat.
  • Pelayanan Publik: Turut serta dalam survei kepuasan layanan kampus atau pemerintah daerah, dan melaporkannya melalui platform resmi (citizen reporting).

Baca Juga : Membangun Komunitas Positif di Dunia Maya

Menumbuhkan Kesadaran Berkolaborasi

Budaya Kritis Kampus

Sumber: STAIKU

Oktobrisasi harus mengikis anggapan bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh segelintir aktivis. Sebaliknya, perubahan sosial yang efektif memerlukan kolaborasi multipihak:

  • Kolaborasi antar-Fakultas: Mahasiswa teknik dapat berkolaborasi dengan mahasiswa hukum untuk merancang kebijakan tata ruang yang partisipatif.
  • Kolaborasi Kampus-Komunitas: Menerjunkan diri ke desa atau komunitas terdampak untuk menerapkan ilmu yang dipelajari dan menerima umpan balik langsung.
  • Kolaborasi dengan Pemerintah/Swasta: Terlibat dalam program magang atau penelitian yang dirancang untuk memecahkan masalah publik.

Kesimpulan

Oktobrisasi bukan sekadar momentum seremonial yang hadir setiap tahun, tetapi ruang refleksi bagi kampus untuk menegaskan kembali perannya sebagai pusat pembelajaran kritis dan partisipatif. Di tengah arus pragmatisme dan distraksi digital, mahasiswa perlu mengembalikan makna idealisme: keberanian berpikir berbeda, kepekaan terhadap persoalan publik, dan kemauan untuk terlibat langsung dalam solusi.

Budaya kritis tidak berhenti pada kritik, tetapi tumbuh melalui dialog, kolaborasi, dan aksi nyata lintas disiplin. Begitu pula partisipasi, bukan hanya turun ke jalan, melainkan hadir dalam bentuk kontribusi akademik, sosial, maupun inovasi teknologi yang berdampak bagi masyarakat.

 

Referensi

Gramedia Literasi. (2025). Inilah Fungsi dan Peran Mahasiswa dalam Masyarakat.

Setneg RI. (2024). Politik Digital: Keterlibatan Media Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Generasi Muda.

Kompas.id. (2021). Ruang Partisipasi Pemuda dalam Kebijakan Publik Belum Optimal.

Perludem. (2020). Partisipasi Publik dalam Pembuatan Kebijakan Masih Rendah. VOA Indonesia.

Dwiyanto, A. (2010). Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *