IAP2 Indonesia – Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang identik dengan kemacetan, gedung tinggi, dan gaya hidup serba cepat, ada satu fenomena sederhana yang justru berhasil menarik perhatian publik: komunitas bermain di kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Video dan foto tentang orang-orang yang berkumpul untuk memainkan permainan tradisional seperti gobak sodor, engklek atau biasa disebut demprak, hingga egrang mendadak viral di media sosial. Fenomena ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga menunjukkan bagaimana ruang terbuka dapat menjadi wadah partisipasi publik yang segar dan inklusif.
Ruang Publik Sebagai Panggung Partisipasi
Sumber: RRI
Partisipasi publik sering dipahami sebatas urusan politik atau pemerintahan. Namun, kenyataannya jauh lebih luas. Ketika masyarakat hadir, berinteraksi, dan berkontribusi di ruang terbuka, itu juga bagian dari partisipasi publik. Fenomena komunitas bermain di GBK membuktikan bahwa ruang publik bukan hanya tempat untuk olahraga atau rekreasi pasif, melainkan juga arena untuk membangun interaksi sosial yang sehat.
Permainan Tradisional dan Ikatan Sosial
Sumber: VOICE Indonesia
Permainan tradisional yang dibangkitkan kembali ini punya daya tarik tersendiri. Di balik kesederhanaannya, permainan seperti lompat tali, congklak atau bentengan mengandung nilai kebersamaan, sportivitas, hingga kerja sama. Saat dimainkan di ruang publik, permainan itu menjadi medium yang mempertemukan orang dari latar belakang berbeda—anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa—untuk berbagi tawa, energi, dan pengalaman. Inilah bentuk partisipasi publik yang lahir dari kesadaran kolektif untuk hadir bersama di ruang yang sama.
Baca Juga : Tantangan Pengangguran 2025: Bagaimana Partisipasi Publik Bisa Jadi Solusi?
Viral Karena Rindu dengan Interaksi Nyata
Sumber: kilat
Fenomena ini viral bukan hanya karena unik, tetapi juga karena mewakili kerinduan masyarakat urban akan interaksi nyata di luar layar gawai. Setelah bertahun-tahun aktivitas didominasi oleh ruang digital, ada kerinduan untuk kembali terhubung secara fisik. Bermain di ruang terbuka bersama orang lain menjadi jawaban sederhana atas kebutuhan itu. Partisipasi publik pun menemukan wujud barunya: bukan demonstrasi, bukan rapat formal, melainkan interaksi sehari-hari yang tumbuh alami.
Menjaga Keberlanjutan Ruang Publik
Sumber: kompas megapolitan
Fenomena komunitas bermain di GBK memberi kita pesan penting seperti ruang terbuka harus dijaga dan difungsikan sebagai milik bersama. Tanpa ruang publik yang aman, nyaman, dan inklusif, partisipasi publik semacam ini tidak mungkin tumbuh. Pemerintah kota, komunitas, dan masyarakat punya tanggung jawab bersama untuk merawat ruang-ruang semacam ini agar tetap bisa menjadi arena interaksi sosial yang sehat.
Kesimpulan
Komunitas bermain di GBK adalah contoh nyata bahwa partisipasi publik bisa lahir dari aktivitas sederhana dan menyenangkan. Fenomena ini mengingatkan bahwa ruang terbuka bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal kehidupan sosial yang tumbuh di dalamnya. Di balik viralnya video permainan tradisional, ada pelajaran bahwa masyarakat butuh ruang untuk hadir, berinteraksi, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Referensi
Widiyanto, A. (2024, September 15). Poin kesepakatan pihak GBK – Komunitas Bermain usai viral dimintai Rp 1,9 juta. Detik News.
Kumparan. (2024, September 11). Mengenal Komunitas Bermain yang mengajak nostalgia permainan masa kecil.
Saraswati, A. K., Kartika, T., & Wibowo, A. (2023). Perencanaan ruang publik berdasarkan preferensi masyarakat di bantaran Sungai Gajah Wong.
Ahmadin, A. (2020). Sosiologi ruang publik perkotaan. Widina Bhakti Persada Bandung.
Adiyanta, F. C. S. (2019). Partisipasi masyarakat sebagai basis kebijakan penataan ruang publik dan ruang terbuka hijau kota yang berkelanjutan. Administrative Law and Governance Journal, 2(3), 430–439.