Menelisik Makna Partisipasi Publik: Catatan dari Pelatihan IAP2 Indonesia

IAP2 Indonesia – Pada tanggal 30 Juli 2025, IAP2 Indonesia kembali menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Fundamentals of Public Participation”, sebuah sesi intensif yang membedah prinsip-prinsip dasar pelibatan publik yang inklusif dan bermakna. Diikuti oleh delapan peserta dari berbagai latar belakang, pelatihan ini berlangsung secara daring melalui Zoom, dari pagi hingga sore hari, dan dipandu oleh dua trainer berpengalaman: Ratih dan Wiwin.

Sejak sesi pembuka, pelatihan ini langsung menegaskan pentingnya pelibatan publik sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengambilan keputusan yang adil dan berorientasi pada dampak. Para peserta tidak hanya diajak memahami definisi teknis dari partisipasi publik (public participation atau disingkat P2), tetapi juga meresapi nilai-nilai yang mendasarinya: kepercayaan, relasi, keterbukaan, serta keadilan sosial. Pelatihan ini menekankan bahwa partisipasi sejati bukanlah sekadar keterlibatan simbolik, melainkan proses yang disengaja untuk membangun perubahan bersama masyarakat.

Dalam sesi pertama, peserta diajak menjelajahi kerangka dasar pelibatan publik—mulai dari pemahaman tentang spektrum partisipasi IAP2, hingga perbedaan mendasar antara publik dan pemangku kepentingan. Dalam diskusi yang hangat, muncul kesadaran bahwa publik bukan sekadar penonton dalam proses pembangunan. Mereka adalah individu atau kelompok yang mungkin terdampak atau memiliki kepentingan atas suatu kebijakan, dan karena itu berhak untuk dilibatkan secara bermakna.

Salah satu konsep yang menarik dalam sesi ini adalah pentingnya membangun proses partisipatif yang berbasis pada keadilan, bukan hanya kesetaraan. Inklusi dan keberagaman menjadi kata kunci. Peserta diajak untuk merenungkan, siapa yang sering kali terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan? Bagaimana cara menjangkau mereka? Apa bentuk dukungan yang dibutuhkan agar semua orang bisa setara dalam pengaruh, bukan sekadar dalam kehadiran?

Sesi kedua mengangkat dimensi etika dan refleksi personal. Kode etik IAP2 dibedah secara rinci: komitmen terhadap transparansi, profesionalisme, rasa hormat, dan upaya nyata untuk mendengar suara yang sering kali terabaikan. Diskusi juga menyentuh isu bias—baik implisit maupun eksplisit—yang kerap memengaruhi proses pelibatan tanpa disadari. Pelatihan ini mengingatkan bahwa fasilitator proses partisipatif bukan hanya bekerja secara teknis, tetapi juga dituntut untuk sadar secara sosial dan emosional terhadap keberagaman peserta.

IAP2 memberikan kami kerangka kerja yang sistematis dalam menyusun strategi pelibatan, mulai dari tahap learn, design, plan, implement, hingga evaluate. Di dalamnya, terdapat spektrum partisipasi yang membantu merancang tingkat pelibatan dari yang paling dasar seperti pemberian informasi, hingga kolaborasi dan pemberdayaan. Pemilihan tingkat ini tidak didasarkan pada mana yang “paling baik”, tetapi pada kesesuaian dengan konteks, isu, dan kapasitas masing-masing pihak.

Pelatihan ini memberikan saya perspektif baru bahwa membangun partisipasi publik bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan sebuah tanggung jawab etis dan strategis. Ia adalah jembatan antara keputusan dengan dampaknya, antara kebijakan dengan keberterimaan publik, antara lembaga dengan masyarakat yang mereka layani.

Baca Juga : Menjawab Paradoks Sampah Indonesia: Minipartisipasik, Ruang Kolaborasi untuk Pengelolaan Sampah yang Inklusif dan Berkelanjutan

Beragam masukan pun muncul dari peserta pelatihan sebagai bentuk refleksi atas pengalaman mereka. Banyak yang mengapresiasi metode pelatihan yang partisipatif dan aktif, meskipun dilaksanakan secara daring. Suasana diskusi yang inklusif dan kehadiran fasilitator yang hangat dinilai sebagai kekuatan utama pelatihan ini. Namun, beberapa peserta juga memberikan saran perbaikan, seperti kebutuhan akan instruksi teknis yang lebih praktis dalam beberapa bagian kegiatan, dan pembagian waktu pelatihan yang lebih efektif agar peserta tidak terlalu lelah dalam satu hari penuh. Beberapa mengusulkan agar pelatihan serupa diadakan secara luring seperti yang pernah dilakukan di PNM, karena memberikan ruang lebih luas untuk praktik langsung, kuis, world café, dan studi kasus secara interaktif.

pelatihan partisipasi publik IAP2

Sumber: Dokumentasi IAP2

Keinginan untuk pelatihan lanjutan juga disampaikan, mulai dari penyusunan Public Participation Plan berbasis spektrum IAP2, pelatihan khusus mengenai GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion), hingga teknik-teknik dalam melakukan community engagement yang lebih kontekstual.

Umpan balik ini menunjukkan semangat peserta untuk terus belajar dan berkontribusi dalam membentuk proses pelibatan publik yang semakin berkualitas. IAP2 Indonesia, dalam hal ini, tidak hanya berhasil menyelenggarakan pelatihan, tetapi juga menumbuhkan ekosistem pembelajar yang kritis dan reflektif—sebuah modal penting untuk demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan di masa depan.

Melalui pelatihan ini, IAP2 Indonesia tidak hanya mengedukasi, tetapi juga membangun gerakan kecil untuk memperluas pemahaman dan praktik pelibatan publik yang otentik. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan beragam, kemampuan untuk mendengar, merangkul perbedaan, dan membangun keputusan secara kolektif adalah keterampilan yang semakin relevan.

Bagikan:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *