Tag: Partisipasi Publik

akuntabilitas penanganan covid19

Akuntabilitas Penanganan Covid-19

Oleh: Aldi Muhammad Alizar dan Yusdi Usman

Awalnya, covid19 merupakan isu kesehatan di Wuhan, China. Kemudian ia berkembang menjadi isu sosial, ekonomi dan politik. Wabah covid19 lalu menjadi isu global karena menerpa lebih dari 204 negara. Setiap negara mempunyai tingkat keterpaparan wabah ini yang berbeda-beda, sehingga melahirkan cara dalam merespon dan menangani wabah covid19 ini dengan cara yang berbeda pula.

Di sejumlah negara, pendekatan yang digunakan dalam merespon dan menangani wabah covid-19 adalah dengan melakukan lockdown. Aksi ini dilakukan dengan mengunci interaksi sosial warga secara ketat dan diharapkan dapat menghambat penyebaran dan penularan covid-19 di dalam wilayah yang dilakukan lockdown sendiri dan ke wilayah-wilayah lainnya. Lockdown merupakan pendekatan state driven social distancing yang dinilai sangat efektif di sejumlah negara, termasuk di Kota Wuhan, China. Negara seperti Amerika, Perancis, Italia, dan sejumlah negara lain juga memilih pendekatan ini.

Untuk Indonesia, pemerintah telah membuat kebijakan social distancing yang diberi nama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). PSBB ini dibuat berbasis pada PP No. 21/2020 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Maret 2020. PSBB adalah pendekatan yang ada dalam UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Secara teknis, PSBB ini diatur dalam Permenkes No. 9/2020 dan Permenhub No. 18/2020.

Dalam penerapannya, setiap daerah bisa membuat peraturan Gubernur yang mengatur pelaksanaan teknis di tingkat daerah. Pemerintah Propinsi (Pemprop) DKI Jakarta sebagai contoh setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, mengeluarkan Pergub No. 33/2020 tentang PSBB dalam Penanganan covid-19 di Propinsi DKI Jakarta. Hal serupa juga dilakukan oleh Pemprop Jawa Barat dengan mengeluarkan Pergub No. 27/2020 tentang Pedoman PSBB dalam Penanganan covid-19 di lima kabupaten/kota dalam Provinsi Jawa Barat.

Seperti yang kita ketahu bersama, setelah proses panjang dalam menentukan pilihan kebijakan dalam penanganan covid-19 sejak awal bulan Maret 2020, 1 (satu) bulan kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB. Meskipun terkesan agak terlambat, kebijakan ini menjadi payung hukum yang mengikat semua orang yang berada didalam wilayah penerapan PSBB. Namun demikian, PSBB cenderung lebih longgar dibandingkan dengan pendekatan lockdown yang dilakukan oleh sejumlah negara. Kelonggaran ini mempunyai konsekuensi pada tanggung jawab pemerintah yang lebih ringan terhadap dukungan anggaran dalam penanganan covid-19.

Namun demikian, apapun pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam penanganan covid-19 di Indonesia, semua pihak berharap bahwa pendekatan ini juga harus memenuhi prinsip-prinsip tata kelola yang baik (khususnya aspek akuntabilitas) di satu sisi dan adanya partisipasi publik yang berkualitas dan otentik di sisi lain. Kedua hal ini menjadi penting untuk memastikan efektifitas dalam penerapan kebijakan PSBB di tingkat lapangan, sehingga dapat mencegah penyebaran dan penularan covid-19 ke wilayah yang lebih luas.

Perlunya Akuntabilitas Covid-19

Akuntabilitas dalam penanganan covid-19 menjadi penting diperhatikan oleh pemerintah dan semua pihak. Meskipun penanganan covid-19 merupakan bagian dari penanganan darurat, perlu untuk diperhatikan aspek-aspek dalam tata kelola, harus tetap menjadi prioritas dalam rangka meningkatkan efektivitas keberhasilan dalam pelaksanaannya di satu sisi dan mengurangi dampak negatif di sisi lain. Semakin akuntabel proses penanganan covid-19, hasil yang diharapkan akan semakin baik bagi pemerintah dan semua pihak.

Akuntabilitas merupakan bagian dari konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Bank Dunia membuat enam indikator dari good governance, yakni (a) voice and accountability; (b) political stability and absence of violence; (c) government effectiveness; (d) regulatory quality; (e) rule of law; and (f) control of corruption (Kaufmann et al., 2003: 8–9).

Disini dapat dilihat, akuntabilitas merupakan salah satu indikator yang penting dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Bank Dunia menggunakan istilah voice and accountability, yang dapat diterjemahkan sebagai suara publik atau partisipasi publik dan akuntabel. Dengan demikian, akuntabilitas dan partisipasi publik mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Akuntabilitas, membutuhkan adanya partisipasi publik pada spektrum yang kuat untuk melahirkan kebijakan publik yang lebih bagus.

Salah satu terjemahan dari akuntabilitas adalah sebagai berikut (Khotami, 2017): “Accountability is a form of liability that refers to who and for what and what is accountable, which is understood as the obligation of the holder of the trust to provide accountability, presenting and reporting all activities that are his responsibility to the party who provides the trust has the authority to hold such accountability.”

Mengacu pada terjemahan di atas, maka akuntabilitas merupakan bentuk dari pertanggungjawaban kepada siapa dan untuk apa dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas ini merupakan kewajiban pemegang kepercayaan (pemerintah) untuk memberi pertanggungjawaban kepada pihak yang memberi kepercayaan (rakyat). Dengan kata lain, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja pemerintah yang bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Dalam penanganan covid-19, pemerintah perlu memastikan akuntabilitas semua proses kepada rakyat sebagai pemberi mandat kepercayaan. Sejumlah ruang akuntabilitas yang perlu dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

Pertama, akuntabilitas kebijakan covid-19. Seperti sudah diulas di awal tulisan ini, pemerintah pada akhir Maret 2020 mengeluarkan kebijakan PSBB dalam menangani covid-19 di Indonesia. Tentu saja kebijakan PSBB ini mempunyai dampak kepada masyarakat dan juga terhadap tingkatan penyebaran covid-19 di masyarakat. Sebagian kalangan menganggap PSBB ini masih belum memadai karena, meskipun sosial distancing diterapkan, namun mobilitas vertikal di dalam wilayah dan antar wilayah masih diperbolehkan. Sebagian ahli menganggap pendekatan PSBB ini masih mempunyai celah yang membuat penyebaran covid-19 masih bisa terus berlangsung.

Dengan demikian, apakah kebijakan PSBB ini cenderung akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan) kepada rakyat? Hal ini tergantung pada sejauh mana pendekatan ini akan efektif dalam penanganan covid-19 di Indonesia. Jika dalam perjalannnya ternyata PSBB tidak efektif dan membuat penyebaran covid-19 semakin bertambah besar, tentu saja publik perlu meminta pertanggungjawaban pemerintah dan ini juga termasuk membuat kebijakan baru yang lebih efektif dan akuntabel.

Akuntabilitas kebijakan covid-19 ini tidak hanya dilihat di tingkat Nasional, namun juga bagaimana pelaksanaan kebijakan di tingkat daerah. Sampai tulisan ini dibuat, baru dua propinsi yang menerapkan PSBB, yakni DKI Jakarta dan Jawa Barat (khususnya lima kabupaten/kota: Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi). Pelaksanaan kebijakan covid-19 di tingkat daerah akan lebih terlihat oleh masyarakat di tingkat lapangan.

Kedua, akuntabilitas anggaran dalam penanganan covid-19. Akuntabilitas anggaran berkaitan dengan alokasi anggaran dan peruntukannya. Pemerintah pusat, misalnya, sesuai dengan PP No. 21/2020 mengalokasikan anggaran sebesar 405,1 Triliun rupiah untuk penanganan covid-19 di tingkat nasional. Sementara di tingkat daerah, masing-masing daerah mengalokasikan anggaran yang berbeda-beda dan tergantung pada kemampuan daerah dan tingkat keterpaparan covid-19 di daerah tersebut. Yang paling penting dari akuntabilitas anggaran ini adalah bagaimana penyelewengan dan korupsi dalam penggunaan angaran covid-19 bisa dihindari dan dicegah.

Ketiga, akuntabilitas data dan informasi covid-19. Data mengenai jumlah korban yang terinfeksi oleh covid-19 memang menjadi sesuatu yang sangat sensitif di masyarakat. Sampai tanggal 12 April 2020, Pemerintah Indonesia mengeluarkan data positif covid-19 di Indonesia sebanyak 4.241 kasus, dari jumlah tersebut untuk kasus meninggal dunia sebanyak 373 orang dan pasien yang sembuh sebanyak 359 orang. Data yang dikeluarkan pemerintah tersebut, tentu saja merupakan data resmi yang menjadi acuan bagi semua pihak.

Namun demikian, sebagian kalangan meragukan kebenaran terhadap data yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Beberapa hari yang lalu, sejumlah peneliti dari gabungan sejumlah universitas yakni ITB, Unpad, UGM, Essex and Khalifa University, University of Southern Denmark, Oxford University, ITS, Universitas Brawijaya, dan Universitas Nusa Cendana membuat permodelan dan memperkirakan data positif covid-19 di Propinsi DKI Jakarta sebanyak 32.000 kasus positif. Demikian pula halnya dengan pihak-pihak lainnya juga mengeluarkan data yang berbeda-beda.

Karena itu, sangat penting bagi pemerintah sendiri untuk mengeluarkan data seakurat mungkin, sehingga data tersbeut akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Jika akuntabilitas data ini rendah, maka kepercayaan masyarakat kepada pemerintah juga akan menurun dalam penanganan covid-19 ini.

Keempat, akuntabilitas dalam penegakan hukum covid-19. Penegakan hukum covid-19 berkaitan dengan upaya pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan yang ada dalam UU No. 6/2018, PP No. 21/2020, Permenkes No. 9/2020, dan Permenhub No. 18/2020. Demikian juga aturan pemerintah daerah, yakni Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 dan Pergub Jawa Barat No. 27/2020. Dalam hal ini, keterlibatan aparat yang berwenang dalam penegakan hukum terhadap semua aturan yang ada dalam kebijakan tersebut menjadi sangat penting.

Pemerintah perlu memastikan bahwa semua aturan dalam pelaksanaan kebijakan untuk covid-19 ini harus dijalankan dengan baik dan benar. Begitupun juga apabila ada pelanggaran, hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Hal ini dikarenakan akan berdampak buruk pada penyebaran dan penularan covid-19 ke wilayah yang lebih luas. Jika penegakan hukum covid-19 tidak berjalan dengan baik, maka akuntabilitas penegakan hukum covid-19 akan cenderung rendah dan masyarakat bisa melakukan gugatan dalam bentuk class action.

Akuntabilitas Covid19 Berbasis Partisipasi Publik

Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa Bank Dunia menggunakan istilah voice and accountability sebagai salah satu indikator good governance yang dapat diterjemahkan sebagai suara publik atau partisipasi publik dan akuntabel. Dengan demikian, akuntabilitas hanya akan bisa dilaksanakan apabila partisipasi publik berjalan dengan baik didalamnya.

Dalam konteks penanganan covid-19, ada dua jenis partisipasi publik yang bisa dilaksanakan pemerintah, yakni partisipasi publik aktif dan partisipasi publik pasif. Partisipasi publik aktif berkaitan dengan keterlibatan publik dalam mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik, sehingga dihasilkan kebijakan publik yang lebih baik dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sementara partisipasi publik pasif merupakan partisipasi dimana masyarakat terlibat dalam pelaksanaan sebuah kebijakan yang sudah diputuskan oleh pemerintah.

IAP2 (International Association for Public Participation) mempunyai spektrum partisipasi publik yang digunakan secara global di banyak negara. IAP2 merumuskan lima tingkat partisipasi publik, yakni yang paling rendah adalah inform (menginformasikan kepada masyarakat), meningkat menjadi consult (konsultasi dengan masyarakat), lalu involve (melibatkan masyarakat), kemudian collaborate (berkolaborasi bersama masyarakat), dan yang paling tinggi adalah empower (memberdayakan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik).

Dalam penanganan covid-19, kelima spektrum partisipasi publik ini bisa digunakan secara terpisah untuk memastikan keterlibatan masyarakat, baik dalam partisipasi publik aktif (perumusan kebijakan) maupun dalam partisipasi publik pasif (pelaksanaan kebijakan).

Yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa partisipasi publik ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akuntabilitas dalam penanganan covid-19. Semakin tinggi partisipasi publik, baik aktif maupun pasif, diharapkan penanganan covid-19 oleh pemerintah semakin akuntabel di semua aspek seperti akuntabilitas kebijakan, akuntabilitas anggaran, akuntabilitas data/informasi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum covid-19.

Di sisi lain, partisipasi publik ini juga berkaitan erat dengan adanya kritik-kritik dari masyarakat. Kritik kepada pemerintah seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan benar, apalagi kritik yang berbasis data ilmiah adalah salah satu bentuk dari partisipasi publik. Masyarakat, terutama masyarakat ilmiah bahkan diharapkan jangan diam dan harus aktif memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka menghindari terjadinya government failure, yakni kegagalan pemerintah dalam menjalankan sebuah kebijakan.

Kegagalan pemerintah dalam menjalankan sebuah kebijakan disebabkan oleh beberapa kondisi, termasuk salah satunya adalah rendahnya partisipasi publik dalam memberi masukan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Karena itu, akuntabilitas berbasis partisipasi publik ini menjadi sangat penting untuk diterapkan oleh pemerintah dan masyarakat, untuk memastikan bahwa penanganan covid19 berjalan bagus dan efektif di semua tingkatan. Dalam jangka waktu yang lebih lama, akuntabilitas berbasis partisipasi publik ini akan dapat membantu mengurangi penyebaran dan penularan covid19, sehingga kecenderungan covid19 akan semakin menurun. Semoga!

__

Aldi Muhammad Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional.

Yusdi Usman adalah Pengamat Kebijakan Publik, kandidat Doktor Sosiologi UI, dan Co-Chair IAP2 Indonesia.

partisipasi publik dalam penanganan covid-19

Partisipasi Publik Dalam Penanganan Covid-19

Oleh : Aldi Muhammad Alizar dan Yusdi Usman

Corona (covid-19) menjadi virus yang menakutkan, padahal ia hanya sebuah virus seperti virus-virus lainnya. Tingkat kematian dari virus ini juga rendah, tidak setinggi virus-virus lainnya. Tingkat kematian virus SARS (2002-2003) adalah 9,6%, virus MERS (2012-2019) adalah 34,4%, dan virus Ebola (2014-2016) sebesar 25% sampai 90%. Sementara tingkat kematian virus corona secara global sekitar 11% sampai akhir Maret 2020. Namun demikian ini baru angka sementara, karena kemungkinan untuk penyebaran virus corona ini masih akan terus berlangsung dalam beberapa bulan ke depan (prediksi dari para ahli).

Bedanya lagi adalah untuk wilayah yang terdampak dari virus-virus tersebut. SARS menyebar di 26 negara, MERS di 27 negara, dan Ebola hanya di beberapa negara di Afrika Barat. Sementara virus covid-19 sudah menjalar ke 204 negara dalam tiga bulan ini. Penyebaran covid-19 yang sangat cepat ini membuat sejumlah negara menerapkan kebijakan lockdown untuk memutus rantai penularan secara lebih luas. Bahkan, sejumlah ahli memperkirakan wabah covid-19 akan menjadi pemicu lahirnya depresi ekonomi global, dimana sejak tahun lalu resesi ekonomi juga telah terjadi.

Di tingkat pencegahan, ada beberapa pendekatan yang dilakukan secara global, yakni menerapkan pendekatan social distancing, stay at home, cuci tangan dengan sabun (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat / PHBS), dan memakai masker jika keluar rumah terutama bagi yang kurang sehat. Terlihat bahwa semua pendekatan dalam pencegahan covid-19 membutuhkan partisipasi individu dan masyarakat (publik). Masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi secara ketat dalam menerapkan semua pendekatan pencegahan covid-19 tersebut.

Lalu, bagaimana hubungan keberhasilan pencegahan covid-19 dengan tingkat partisipasi publik dalam social distancing, stay at home, mencuci tangan dengan sabun, dan memakai masker jika keluar rumah?

Kondisi Partisipasi Publik dalam Merespon Covid-19

Di sejumlah negara yang tingkat penyebaran covid-19 tinggi, seperti Italia, Iran, Perancis, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, partisipasi publik dalam pencegahan covid-19 cenderung rendah.  Sementara di negara-negara yang mampu mengendalikan penyebaran covid-19 seperti Taiwan, Vietnam, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara lain, tingkat partisipasi publik dalam pencegahan covid-19 relatif tinggi.  Rendahnya partisipasi publik di sejumlah negara terlihat dari tingkat pembangkangan sosial masyarakat terhadap pendekatan pencegahan covid-19 ini.

Indonesia termasuk negara yang tingkat partisipasi publik rendah dalam pencegahan covid-19, khususnya untuk pendekatan social distancing dan stay at home. Ada sejumlah kondisi yang membuat partisipasi publik rendah dalam social distancing dan stay at home di sejumlah negara yang tingkat penyebaran covid-19 tinggi, termasuk di Indonesia.

Pertama, budaya masyarakat yang cenderung tidak mendukung social distancing. Kondisi budaya masyarakat berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Masyarakat Eropa yang liberal dan individualis cenderung lebih kuat dalam menerapkan social distancing, dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara Asia yang cenderung tingkat kohesivitasnya tinggi.

Dalam masyarakat Barat yang individualis dan liberal, upaya menerapkan pendekatan social distancing lebih mudah dilakukan. Sementara dalam masyarakat yang guyub dan kohesivitas tinggi di Asia, upaya menerapkan social distancing cenderung tidak mudah dilakukan.

Jika kondisi demikian, cepatnya penyebaran covid-19 di sejumlah negara Barat seperti Italia, Perancis, Amerika Serikat, dan lainnya, bukan disebabkan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam social distancing, melainkan lambatnya pemerintah negara-negara tersebut dalam merespon pencegahan covid-19 ini. Sedangkan di negara-negara Asia yang berhasil menahan laju penyebaran covid-19 melalui pendekatan social distancing, seperti Jepang, Taiwan, Vietnam, Korea Selatan, dan lainnya, budaya kerja yang disiplin dan kondisi masyarakat yang guyub bisa menjadi kekuatan saat diikuti dengan respon negara yang cepat.

Sementara di Indonesia dan negara-negara Asia, ketidakdisiplinan dan budaya guyub membuat masyarakat tidak mudah menerapkan social distancing. Relasi sosial melalui pola silaturahmi antar keluarga dan teman, membuat social distancing tidak bisa dijalankan dengan ketat dan sulit disiplin. Social distancing secara ketat dan disiplin hanya bisa diterapkan jika ada kebijakan yang tegas dan jelas.

Kedua, rendahnya tingkat literasi publik tentang covid-19, hal ini bisa dimaklumi karena covid-19 datang dan menyebar dalam waktu yang sangat cepat dan menjadi mendadak menjadi kondisi yang kompleks ketika dihadapi. Covid-19 mulai muncul di Wuhan, China pada bulan Desember 2019, dan kemudian menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam kondisi penyebaran yang sangat cepat dan kompleks ini, edukasi kepada masyarakat tentang covid-19 menjadi tidak mudah dilakukan.

Sebenarnya, dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat massif saat ini, edukasi masyarakat untuk meningkatkan literasi mereka tentang covid-19 tidaklah terlalu sulit dilakukan. Yang menjadi masalah adalah semua pihak, termasuk pemerintah, gagap dalam merespon perkembangan covid-19 yang terlalu cepat ini, sehingga tidak ada yang fokus melakukan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi di masyarakat.

Ketiga, kurang disiplinnya penerapan kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19. Pendekatan social distancing dan stay at home terkadang tidak bisa hanya diharapkan pada masyarakat untuk berpartisipasi secara sukarela. Karena itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih ketat untuk memastikan social distancing ini berjalan dengan baik.

Tidak adanya pelarangan mobilitas sosial horizontal untuk masyarakat, baik di dalam kota maupun antar wilayah, membuat interaksi sosial antar individu dalam masyarakat tetap berlangsung, yang menyebabkan penyebaran covid-19 menjadi mudah terjadi. Di sejumlah negara, kebijakan radikal dalam pencegahan covid-19 dilaksanakan, yakni lockdown. Dengan adanya lockdown, interaksi sosial dibatasi secara ketat sehingga social distancing bisa berjalan dengan baik.

Keempat, keterpaksaan masyarakat untuk melanggar pendekatan social distancing. Karena tidak ada kebijakan pembatasan mobilitas sosial horizontal, dan masyarakat pekerja sektor informal tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka interaksi sosial masih terus berlangsung dan social distancing menjadi tidak mudah untuk dilaksanakan.

Level Partisipasi Publik

Pemerintah dan semua pihak bisa meningkatkan partisipasi publik dalam penanganan wabah covid-19 ini secara lebih baik. Sebenarnya ada beberapa level partisipasi publik yang bisa di aplikasikan. International Association for Public Participation (IAP2) mempunyai spektrum partisipasi publik yang sudah banyak digunakan secara global, yakni seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.

 1. Inform2. Consult3. Involve4. Collaborate5. Empower
TujuanMenyediakan informasi yang obyektif dan seimbang, membantu memahami dan mencari alternatif solusi terhadap masalah.Mendapatkan masukan masyarakat terkait analisis, alternatif, dan atau sebuah keputusan.Bekerja secara langsung dengan masyarakat melalui sebuah proses untuk memastikan aspirasi masyarakat secara konsisten dipertimbangkan.Bermitra dengan masyarakat di setiap aspek pengambilan keputusan, termasuk mengidentifikasi dan membangun solusi alternatif.Menempatkan pembuatan keputusan final di tangan masyarakat.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada lima tingkat partisipasi publik, dari yang paling rendah yakni inform (menginformasikan kepada masyarakat), meningkat menjadi consult (konsultasi dengan masyarakat), involve (melibatkan masyarakat), collaborate (berkolaborasi bersama masyarakat), dan yang paling tinggi adalah empower (memberdayakan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik).

Dalam merespon perkembangan wabah covid-19 yang sangat cepat dan kompleks ini, spektrum di atas barangkali tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Namun demikian, pemerintah bisa menerapkan semua level partisipasi publik tersebut sesuai kondisi dan perkembangan dalam penanganan covid-19 di lapangan.

Pertama, level inform bisa diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menyediakan informasi kepada masyarakat tentang covid-19. Pemerintah perlu menyediakan informasi yang obyektif tentang covid-19, baik informasi tentang perkembangan penyebaran covid-19, angka kematian, tingkat kesembuhan, dan informasi edukasi lainnya yang dibutuhkan masyarakat dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat tentang pencegahan covid-19 ini.

Kedua, level consult bisa digunakan oleh pemerintah untuk mendapatkan perspektif masyarakat tentang upaya penanganan covid-19 melalui pilihan-pilihan kebijakan yang tepat dan lebih baik. Kelihatannya, pendekatan ini tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah pusat cenderung tidak melibatkan masyarakat, khususnya para ahli terkait dengan pilihan-pilihan kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah dalam menangani covid-19 ini. Suara-suara kaum intelektual di perguruan tinggi cenderung berlalu begitu saja, meskipun mereka cukup kencang memberi masukan kepada pemerintah.

Ketiga, level involve bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam upaya penanganan dan pencegahan covid-19. Dalam konteks ini, pemerintah bisa bekerja secara langsung dengan masyarakat, melalui kelompok-kelompok masyarakat, ormas, dan organisasi masyarakat sipil lainnya, untuk memastikan aspirasi masyarakat bisa dipertimbangkan secara bagus oleh pemerintah.

Keempat, level collaborate bisa digunakan oleh pemerintah untuk bersama-sama masyarakat dalam mencari pilihan-pilihan kebijakan dan solusi terbaik dalam penanganan dan pencegahan covid-19. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dalam rangka meningkatkan literasi publik tentang covid-19.

Kelima, level empower kelihatannya tidak bisa digunakan pemerintah dalam situasi darurat wabah covid-19 ini. Dalam kondisi darurat, pemerintah perlu menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol semua pendekatan pencegahan dan penanganan covid-19.

Namun demikian dalam konteks tertentu, masyarakat desa di sejumlah wilayah justru mengambil inisiatif untuk melakukan pembatasan interaksi sosial di desanya, menutup akses ke desanya, dan membatasi pergerakan orang-orang asing di desanya. Apa yang dilakukan masyarakat desa ini merupakan bentuk partisipasi publik di level empower, dimana keputusan final di tangan masyarakat. Sayangnya, keputusan ini seharusnya merupakan pendelegasian dari pemerintah. Namun yang terjadi di lapangan, keputusan masyarakat desa ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri.

Perlunya Partisipasi Publik Aktif dan Pasif

Melihat belum efektifnya penanganan dan pencegahan covid-19 di Indonesia, ada baiknya pemerintah dan semua pihak mulai memikirkan bagaimana caranya meningkatkan partisipasi publik dalam pencegahan covid-19, khususnya penerapan social distancing dan stay at home.

Idealnya, partisipasi publik bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Dalam konteks darurat penanganan dan pencegahan covid-19, partisipasi publik juga bertujuan melibatkan publik untuk menerapkan pendekatan pencegahan covid-19 melalui social distancing dan stay at home. Yang pertama merupakan partisipasi publik aktif dan kedua merupakan partisipasi publik pasif.

Kedua pendekatan partisipasi publik tersebut, baik partisipasi publik aktif maupun partisipasi publik pasif, perlu digunakan oleh pemerintah untuk memastikan efektifitas sebuah kebijakan.

Dalam partisipasi publik aktif, pemerintah tidak boleh mengabaikan suara masyarakat tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam penanganan covid-19. Karena bagaimanapun, pemerintah juga mempunyai keterbatasan dalam pengetahuan dan pengalaman. Dalam kondisi ini, melibatkan masyarakat (sesuai spektrum di atas) menjadi sebuah kebutuhan, jika dan hanya jika pemerintah mau membuka diri terhadap masyarakat.

Sementara untuk partisipasi pasif, tantangannya adalah bagaimana pemerintah bisa memastikan masyarakat berpartisipasi dalam menerapkan kebijakan dan pendekatan pencegahan covid-19, khususnya social distancing dan stay at home. Dalam konteks ini, pemerintah bisa menggunakan kekuasaannya melalui kontrol alat-alat negara untuk memastikan masyarakat berpartisipasi dalam social distancing dan stays at home ini. Tanpa adanya kontrol negara yang memadai, partisipasi masyarakat dalam social distancing dan stays at home tidak mudah untuk diimplementasikan.

__

Aldi Muhammad Alizar adalah Chair IAP2 Indonesia dan Board IAP2 Internasional.

Yusdi Usman adalah Pengamat Kebijakan Publik, Co-Chair IAP2 Indonesia dan kandidat Doktor Sosiologi UI.

mengevaluasi efektivitas teknik partisipasi publik

Mengevaluasi Efektivitas Teknik Partisipasi Publik

Evaluasi membantu mengidentifikasi informasi baru dan perubahan asumsi dari perencanaan yang memerlukan tanggapan dalam desain program. Melalui evaluasi ini akan hadir pembelajaran baru yang memungkinkan sebuah perbaikan. 

Mengapa evaluasi ini dianggap penting dan perlu dilakukan?

Ada beberapa alasan dasar mengapa evaluasi ini penting. Diantaranya adalah untuk menilai kinerja proyek tersebut terhadap sasarannya. Selain itu juga untuk memberikan masukan, saran dan pandangan untuk proyek di masa yang akan datang. Alasan lainnya adalah evaluasi ini dilakukan sebagai bentuk mendorong peningkatan yang berkelanjutan dari proyek tersebut serta wujud dukungan dari peningkatan praktik partisipasi publik.

Alasan-alasan utama tersebut harus disadari oleh si pemilik proyek, pengambil keputusan dan para stakeholder lainnya untuk saling kooperatif dalam menjalankan proses partisipasi publik. Sehingga hal-hal utama yang perlu di evaluasi dapat terjawab dengan baik dan valid.

Terdapat dua point utama dalam mengevaluasi partisipasi publik yaitu mengukur efektivitas proses dan alat yang digunakan untuk melaksanakan partisipasi publik serta sudah sejauh mana partisipasi tersebut mempengaruhi hasil keputusan.

Bagaimana cara kita mengevaluasi?

Tahap perencanaan evaluasi harus dilakukan sebelum program dimulai. Kemudian saat merancang sebuah program evaluasi, perlu di fokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan utama.

Apa saja rangkaian pertanyaan utamanya dan bagaimana proses mengevaluasinya? Jawabannya ada pada Pelatihan Dasar-dasar Partisipasi Publik (Foundations in Public Participation). Pelatihan ini bukan hanya memberi pengetahuan dalam tahap Perencanaan (Planning for Effective Public Participation), tetapi juga tahap Teknik (Techniques for Effective Public Participation).

Setelah Anda menyelesaikan sesi pelatihan Perencanaan maka selanjutnya Anda akan diperkenalkan dengan lebih dari 50 alat dan metodologi praktis. Ditunjang dengan trainers dari luar negeri yang bersertifikasi internasional dan memiliki jam terbang tinggi sebagai praktisi serta pengajar bidang partisipasi publik dan keterlibatan stakeholder, akan memberikan jaminan kepada Anda untuk mendapatkan sumber ilmu langsung dari para ahlinya.

Ikuti terus informasi terkini dari kami seputar partisipasi publik dan keterlibatan stakeholder, jangan sampai ketinggalan jadwal pelatihan, seminar, panel diskusi, dll dari IAP2 Indonesia. Pantau terus perkembangannya di website dan sosial media IAP2 Indonesia.

pertemuan IAP2 Indonesia dengan Sumbar SDGs

Pertemuan IAP2 Indonesia dengan Sumbar SDGs

Padang – Dalam kesempatan kali ini IAP2 Indonesia di undang oleh sekumpulan anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas Sumbar SDGs. Pertemuan berlangsung pada hari Sabtu, 1 Februari 2020, mulai pukul 08.00-11.00, di Cisangkuy Cafe GOR H. Agus Salim, Padang.

Aldi Muhammad Alizar menyambut dengan terbuka jika ada yang mau berkolaborasi dan memperkuat jejaring dengan IAP2 Indonesia. Termasuk dalam memenuhi undangan pertemuan diskusi dengan kalangan milenial. Beberapa pembahasan dari diskusi yang berlangsung adalah terkait dengan SDGs, NGO, penyampaian workplan dan peluang-peluang kolaborasi yang mungkin dapat dijajaki.

Komunitas Sumbar SDGs ini diawali oleh sekolompok anak muda yag tertarik dan peduli dengan TPB/SDGs. Komunitas ini sudah dibentuk semenjak satu tahun yang lalu, dan sudah mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah setempat dan lebaga GiZ. Hingga saat ini sudah terdapat sekitar 20 anggota anak muda dari berbagai universitas dan setara, yang akan terus bertambah kedepannya. Memenuhi legalitas menjadi hal penting yang saat ini terus diupayakan.

Namun, hal tersebut bukanlah menjadi sebuah hambatan dalam menjalankan agenda/workplan. Karena kedepan mereka akan menyelenggarakan SDGs festival di akhir September 2020 dan akan dilakukan serangkaian kegiatan sebelumnya. Dan IAP2 Indonesia diharapkan dapat mengambil peran untuk memberikan supervisinya.

Tentu, hal tersebut merupakan hal yang positif untuk dilakukan bersama. Mengingat SGDs ini memang perlu kemitraan yang multi-pihak untuk mencapai tujuan didalamnya.

sambutan IAP2 Indonesia di tahun 2020

Sambutan IAP2 Indonesia di 2020

Meninggalkan tahun 2019, IAP2 Indonesia memberikan catatan mengesankan dalam mempromosikan partisipasi publik, baik di Indonesia dan  Asia Pasifik. Bahkan, menutup tahun 2019, sebuah kegiatan Forum Multi Pihak (MSP Day) bertajuk “Berbagi Praktik Inovasi Kemitraan Multi Pihak dalam Pembangunan untuk Pencapaian Agenda 2030” sukses diselenggarakan bersama Bappenas, UNESCAP dan beberapa mitra kerja lainnya. Kegiatan ini adalah wujud nyata dari pelibatan multi pihak yang strategis.

Di tahun 2019, serangkaian kerja-kerja bersama dalam berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau TPB, khususnya Tujuan 16 dan 17.  

Memasuki tahun 2020, partisipasi publik masih menjadi isu semakin menantang. Eskalasi persoalan ekonomi, sosial dan lingkungan terjadi di level global maupun nasioal.

Perang dagang Amerika Serikat dan Cina menimbulkan ancaman akan perlambatan ekonomi global dan pastinya akan mempengaruhi situasi ekonomi di Indonesia.

Gesekan dan ketimpangan antar kelas masih mewarnai relasi antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Konflik sosial di Indonesia pun diprediksikan terjadi dalam menghadapi Pilkada 2020.

Dampak perubahan iklim kian menyata melalui bencana banjir, longsor, kebakaran hutan dan ketidakpastian cuaca yang berlangsung di berbagai belahan dunia.

Dengan semua krisis and kompleksitas ini, IAP2 Indonesia percaya bahwa ada dua hal yang bisa dilakukan.

Pertama, partisipasi publik dalam proses mencari solusi dan merumuskan kebijakan serta pengambilan keputusan strategis yang berdampak luas.

Kedua, alih-alih berjalan sendiri-sendiri, kolaborasi dan kemitraan dapat menjadi sarana untuk mencapai kemaslahatan bersama dan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Akhir kata, pesan kami sangat jelas, mari perkuat partisipasi publik untuk kebaikan bersama (greater good). Dan ini akan menjadi nafas dalam setiap langkah IAP2 Indonesia di tahun 2020.

Salam Partisipasi,

Aldi M. Alizar

Chair IAP2 Indonesia

#

Statement of IAP2 Indonesia for 2020

Leaving 2019, IAP2 Indonesia provides a quite impressive record in promoting public participation in Indonesia and the Asia Pacific. In fact, closing 2019, an Multi Stakeholder Forum (MSP Day) on “Sharing the Innovative Practices of Multi Stakeholder Development Partnership for Achieving the 2030 Agenda” was successfully held by Ministry of National Development Planning, UNESCAP, IAP2 Indonesia and other development partners. This event is a concrete form of strategic multi stakeholder engagement.

In 2019, a series of collaborative activities has been done to accelerate the achievement of Sustainable Development Goals, specifically Goals 16 and 17. 

Entering 2020, public participation remains a challenging issue. The escalation of economic, social and environmental problems occurs at global and national levels.

The trade war of United States and China pose a threat to the global economic slowdown and will certainly affect the economic situation in Indonesia.

Friction and inequality still overshadow the relation between the policy makers and citizens. Social conflict in Indonesia is also predicted to occur in the 2020 Local Election. 

The impacts of climate change are becoming more apparent through floods, landslides, forest fires and weather uncertainties that are taking place in various parts of the world.

With all the crisis and their complexities, IAP2 Indonesia believes that there are two things can be done.

First, public participation shall be carried out in the process of finding solutions, formulating policies, and making strategic decision that has larger impacts.

Secondly, instead of working on it alone, collaboration and partnership shall be a means to achieve mutual benefit and ensure that no one is left behind.

Finally, our message is very clear, let’s strengthen public participation for the greater good. And this will be the spirit in every step taken by IAP2 Indonesia in 2020.

Let’s participate!

Aldi M. Alizar

Chair IAP2 Indonesia

Sertifikasi Profesional untuk Partisipasi Publik

Sertifikasi Profesional untuk Partisipasi Publik

Program Sertifikasi adalah program profesional baru yang tersedia untuk para anggota IAP2. Sertifikasi membuktikan, melalui penilaian independen, bahwa Anda telah memiliki pengetahuan dan keahlian dasar untuk melakukan peran profesional dalam bidang partisipasi publik. Sertifikasi profesional mensyaratkan adanya penilaian formal dan independent. IAP2 Kanada dan IAP2 USA sudah sepenuhnya mengimplementasikan program Sertifikasi yang disahkan oleh IAP2 International pada tahun 2014. Program ini menawarkan dua level sertifikasi: Certified Public Participation Professional (CP3) dan Master Certified Public Participation Professional (MCP3). Untuk saat ini, MCP3 saat ini tidak tersedia di Kanada.

Istilah Certified Public Participation Professional (CP3) atau Profesional Partisipasi Publik Bersertifikat menunjukkan bahwa Anda telah memenuhi atau melalui serangkaian kriteria yang diakui secara internasional sebagai praktisi P2. Dengan kata lain, Anda telah memiliki semua Kompetensi Inti (5) dan mempunyai “rekam jejak” yang mapan di lapangan. Hal tersebut tidak sama dengan yang menerima “Certificate of Completion” dalam Pelatihan Dasar-Dasar Partisipasi Publik IAP2.

Sertifikat CP3 diberikan setelah menyelesaikan dan evaluasi dari 3 langkah penilaian kandidat. Penilaian didasarkan pada 5 kompetensi inti dan 29 kriteria yang sesuai (corresponding criteria) untuk Amerika Serikat dan 31 untuk Kanada. Sertifikat MCP3 berfokus pada kompetensi lanjutan di luar pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, perilaku, dan kemampuan yang dinilai di level CP3

Semua anggota IAP2 yang memiliki reputasi baik dan telah menyelesaikan Pelatihan Dasar-Dasar Partisipasi Publik IAP2 selama 5 hari (sebelumnya kursus Sertifikat) berhak untuk mendaftar.

Pelajari Lebih Lanjut IAP2 Kanada | IAP2 USA

Klik di sini untuk tenggat waktu aplikasi yang akan datang.

Informasi lebih lengkap klik di sini.

Sumber: https://www.iap2.org/page/professionalcertification

Kolaborasi SGPP dan IAP2

Kolaborasi SGPP dan IAP2 : Perjalanan untuk Kemajuan Bersama

Jakarta – Pertemuan tahunan IAP2 Indonesia yang diselenggarakan Kamis, 5 Desember 2019 di Mula by Galeria, Cilandak, Jakarta Selatan, salah satunya menghadirkan Ony A. Jamhari, CEO dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia. SGPP merupakan mitra IAP2 Indonesia sejak tahun 2018, termasuk dalam menyelenggarakan International Forum on Public Participation and Stakeholder Engagement for Sustainable Development Goals (IFP2SE) pada 29 April – 1 Mei 2019 di Bangkok, Thailand.

Dalam sesi sharing bersama Ony A. Jamhari, ia memperkenalkan profil SGPP yang saat ini sudah berjalan lima tahun. Memiliki kampus yang berlokasi di Sentul, Bogor, SGPP memiliki 30-40 siswa di setiap angkatannya. Salah satu hal yang khas di SGPP adalah, setiap Senin pagi, mereka selalu mengadakan kuliah umum dengan berbagai topik dan pembicara yang ahli di bidangnya. Di angkatan ke-6 sekarang ini, SGPP memiliki satu kegiatan baru yaitu sesi Passion Talk, yang mana setiap mahasiswa akan mempresentasikan satu topik tertentu, mengenai expertise mereka atau hal-hal yang menjadi passion  mereka. Dalam setahun ini, rencananya ada 40 passion talk dan semua itu akan didokumentasikan oleh SGPP.

Terkait kerja sama SGPP dengan IAP2 Indonesia, Ony mengungkapkan kemitraan ini telah membawa energi positif bagi kedua belah pihak. Menurutnya, kolaborasi adalah kunci keberhasilan bagi instansi dan perorangan untuk dapat terus eksis dan tumbuh berkembang di zaman yang serba cepat ini. Bukan lagi berbicara siapa yang paling unggul tetapi apa yang dapat dilakukan bersama-sama untuk mencapai misi yang identik.

Untuk itu sejak ditandatanganinya MoU antara SGPP Indonesia dengan IAP2 Indonesia pada tahun 2018, komitmen untuk menjalin kerjasama terus dipupuk hingga saat ini. Kolaborasi dilakukan dalam lingkup kegiatan, antara lain, pertukaran bahan ilmiah, publikasi, dan informasi; konferensi bersama, program akademik, dan kegiatan budaya; kegiatan dan publikasi penelitian bersama; dan program kolaboratif akademik bersama. Di tahun 2020, kegiatan kolaboratif antara SGPP dan IAP2 Indonesia diharapkan bisa berkembang lebih jauh dan berdampak luas di masyarakat.

tantangan dan peluang partisipasi publik di indonesia

Refleksi Partisipasi Publik di Indonesia: Tantangan dan Peluang IAP2 Indonesia di 2020

Jakarta – IAP2 Indonesia hadir di Indonesia sebagai salah satu lembaga yang berfokus pada kemajuan partisipasi publik  sejak tahun 2012 sampai sekarang. Menjelang akhir 2020, tepatnya Kamis, 5 Desember 2019 di Mula by Galeria Cilandak, IAP2 Indonesia mengadakan silaturahmi antar dewan pengurus, mitra dan para penggiat partisipasi publik. Sebagai salah satu pembicara adalah Yusdi Usman, anggota Dewan Pengurus IAP2 Indonesia dan kandidat doktor Universitas Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Yusdi Usman berbagi perspektif tentang tantangan perkembangan partisipasi publik serta peluang untuk mendorong partisipasi publik lebih kuat.

Tantangan Partisipasi Publik di Indonesia

Ada tiga perspektif partisipasi publik yang dikenal, yaitu partisipasi publik sebagai bagian dari citizenship (kewarganegaraan), partisipasi publik sebagai hak dasar, dan partisipasi sebagai demokrasi deliberatif. Di negara maju, yang mana warganya cukup kuat memahami hak dan kewajibannya, “partisipasi” dalam kehidupan bernegara sudah menjadi hal yang biasa dan terlihat begitu aktif. Terlebih lagi dalam mengkritisi kebijakan publik yang dirasa kurang relevan.

Namun, dalam konteks Indonesia, kedua perspektif pertama masih lemah. Hak-hak warga negara belum begitu melekat dalam kesadaran publik, demikian ungkap Yusdi. Sehingga masyarakat kurang aktif dalam mengambil inisiatif. Selain itu, wadah untuk berpartipasi belum maksimal. Seperti contoh saat ada lubang-lubang di trotoar di suatu daerah di Indonesia. Bagaimana cara masyarakat sekitar untuk dapat berpartisipasi dalam memperbaiki lubang tersebut? Belum ada platform yang efektif untuk mewadahinya.

Perspektif ketiga adalah partisipasi publik yang dikembangkan oleh IAP2, yang mana partisipasi merupakan bagian dari demokrasi yang deliberatif. Sementara itu, demokrasi liberal dalam perkembangannya di Indonesia menciptakan relasi kekuasaaan antara yang powerless dan powerful. Akibatnya adalah masyarakat (powerless) terbatas berpartisipasi dalam memutuskan kebijakan. Suara mereka diwakili oleh parlemen, yang sering kali tidak menyuarakan kepentingan rakyat bawah. Oleh karenanya, Yusdi menekankan perlunya mekanisme lain dimana demokrasi deliberatif bisa masuk/hadir.

Proses deliberasi dilakukan melalui konsultasi dan musyawarah, khususnya terkait kebijakan dan proses pembangunan. IAP2 Indonesia, melalui konsep spektrum partisipasi publik, dapat memperkuat proses tersebut. Dimulai dari tingkat Inform sampai kepada Empower. Empower ini merupakan spektrum paling akhir (ke-lima) setelah Inform, Consult, Involve dan Collaborate, dimana sebuah keputusan-keputasan kebijakan ada di tangan publik.

Penerapan tingkatan partipasi berdasarkan spektrum IAP2 memang tidak mudah dan cukup menantang. Namun, kondisi pendukung telah tersedia di Indonesia, misalnya praktik demokrasi sudah berjalan dari sisi prosedural (belum sisi substansi). Selain itu juga ada perencanaan pembangunan nasional yang berbasis fakta/evidence based, yang mana ini dapat membuka ruang publik untuk ikut terlibat dalam menghadirkan data hasil riset. Faktor SDGs juga sebagai pendukung karena  mensyaratkan kemitraan multi-pihak untuk mencapai tujuan SDGs 2030, khususnya pada tujuan ke-17.

Masalahnya adalah, dalam tingkat publik yang lebih luas, partisipasi di Indonesia masih terbatas. Salah satu kekuatan demokrasi atau partisipasi publik terletak pada kelas menengah yang membesar, dengan ciri salah satunya adalah berpendidikan yang tinggi. Namun data BPS 2019 menunjukkan bahwa hanya 7% masyarakat Indonesia yang memiliki Pendidikan tinggi (3% diploma dan 4% sarjana), 76% adalah tamatan SD-SMA/SMK, selebihnya 17% bahkan tidak tamat SD dan tidak bersekolah.

Dengan mayoritas penduduk berada dalam golongan Pendidikan rendah, demokrasi dan partisipasi publik menjadi tantangan tersendiri. Ada kecenderungan bahwa politisi memanipulasi kemiskinan dan kebodohan untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, mempengaruhi partisipasi publik di Indonesia sangat tergantung relasi kuasa. Mereka yang powerful memiliki akses terhadap kebijakan publik, tetapi pertanyaannya apakah orang-orang yang powerful ini yang mencoba mempengaruhi kebijakan publik juga mewakili golongan mayoritas (yang notabene tamatan SD-SMA/SMK, tidak tamat SD dan tidak bersekolah)?

Kondisi tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kurang partisipatif. Dan SDGs dengan semangat No One Left Behind-nya mencoba masuk ke golongan powerless ini. Maka pilihan pragmatis yang bisa kita lakukan adalah memperkuat kemitraan dengan pemerintahan, memperkuat pengetahuan melalui riset, yang sudah dilakukan adalah melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan seperti SGPP Indonesia atau UI, atau dengan menjalin kolaborasi dengan ormas besar seperti NU atau Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, langkah prioritas yang perlu diambil IAP2 Indonesia adalah memperkuat partisipasi publik di kalangan powerful dan powerless.  

Referensi

Usman, Yusdi (2019). Tantangan Partisipasi Publik di Indonesia. Jakarta: Unpublished. Dipresentasikan pada Pertemuan Akhir Tahun IAP2 2019.

Tulisan ini disadur oleh Admin Sekretariat IAP2 Indonesia dari presentasi Yusdi Usman dalam Pertemuan Akhir Tahun yang diadakan IAP2 Indonesia pada hari Kamis, 5 Desember 2019. Yusdi Usman adalah salah satu Dewan Pengurus IAP2 Indonesia dan ahli Sosiologi.

Pertemuan IAP2 Indonesia dan Mitra di Penghujung 2019

Pertemuan IAP2 Indonesia dan Mitra di Penghujung 2019

Jakarta – IAP2 Internasional telah hadir sebagai pelopor partisipasi publik di berbagai negara sejak tahun 1990. Dan, pada tahun 2012, IAP2 afiliasi Indonesia berdiri sampai saat ini.


Menyambut 2020, IAP2 Indonesia mengadakan pertemuan tahunan untuk dewan direksi, anggota, mitra dan para penggiat partisipasi publik pada hari Kamis, 5 Desember 2019 di Mula by Galeria, Cilandak, Jakarta Selatan. Salah satu acara dalam pertemuan tersebut adalah sesi sharing dari Ony A. Jamhari, CEO dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia, dan Yusdi Usman, anggota Dewan Direksi IAP2 Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi.


Selama 8 tahun, IAP2 Indonesia mengalami pasang surut, namun lembaga ini terus membangun sinergi dengan berbagai pihak agar semakin berkembang dan berdampak luas. Dimulai dari diseminasi tentang pentingnya partisipasi publik sampai membangun kolaborasi dan kemitraan dengan lembaga lokal, nasional dan internasional untuk meningkatkan kualitas partisipasi publik dan melaksanakan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, khususnya tujuan 16 dan 17.


Pertemuan tahunan juga menjadi ruang refleksi bagi IAP2 Indonesia selama setahun terakhir ini. Berbagai kegiatan telah diselenggarakan. Secara internal, NGOPAS (Ngobrolin Partisipasi) telah empat kali diselenggarakan dengan menghadirkan pembicara yang pakar di bidangnya. Salah satunya adalah Stuart Waters dari Twyfords.


Selain itu, IAP2 Indonesia menyelenggarakan forum berskala internasional di Bangkok, yaitu Internasional Forum on Public Participation and Stakeholder Engagement (IFP2SE) pada 29 April – 01 Mei 2019. Dihadiri oleh 90 peserta dari beberapa negara, seperti Indonesia, Thailand, Afrika Selatan, Bhutan, Australia, Canada, Amerika Serikat dan Filipina, kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara International Association for Public Participation (IAP2), School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia, dan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP).


IFP2SE menjadi ajang berkumpulnya para pemangku kepentingan dalam bidang partisipasi publik dan pelibatan multi-pihak untuk bertukar pendapat dan pengalaman di negaranya, khususnya terkait agenda global, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi IAP2 Indonesia karena untuk pertama kalinya menjadi host kegiatan berskala internasional.


Selama 2019, IAP2 Indonesia juga telah berkontribusi sebagai pemateri dan co-host dalam serangkaian kegiatan besar seperti Pelatihan Nasional Localise SDGs yang diselenggarakan oleh UCLG ASPAC dan APEKSI, Asia Pacific Urban Forum ke 7 di Penang, Malaysia dan Forum Kemitraan Multi-Pihak (MSP Day) bertema “Berbagi Praktik Inovasi Kemitraan Multi-Pihak dalam Pembangunan untuk Pencapaian Agenda 2030” bersama Bappenas, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, dan UCLG ASPAC.


Tidak hanya kegiatan secara fisik, IAP2 Indonesia juga berbagi informasi seputar partisipasi publik dan kegiatan IAP2 Internasional maupun Indonesia di dunia maya. Melalui akun media sosialnya, IAP2 Indonesia berupaya mempromosikan pentingnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan penyelenggaran pembangunan, terutama bagi kaum muda yang aktif menggunakan media sosial (dengan sasaran 18-24 dan 25-35 tahun).


Dalam pertemuan tahunan, rencana kerja IAP2 Indonesia 2020 dipaparkan dalam sesi terakhir. Beberapa rencana kolaborasi strategis yang melibatkan Bappenas, UNESCAP, SGPP dan GWP SEA menjadi fokus kerja setahun ke depan. Beberapa kegiatan yang akan diselenggarakan adalah Pelatihan, Riset, Advokasi dan Pengembangan Platform Multipihak untuk sektor air. Sebagian besar dari kegiatan tersebut ditujukan untuk mendorong International Year of Participation 2021.


Kemajuan pesat IAP2 Indonesia dalam kurun waktu setahun terakhir ini memicu semangat bagi pengurus, mitra dan anggota IAP2 Indonesia untuk semakin berkiprah dalam memajukan partisipasi publik di Indonesia dan global. Harapannya, melalui partisipasi publik, kebijakan dan pembangunan menjadi semakin berkualitas, adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.

audit partisipasi publik

IAP2 Merilis Request for Proposal (RFP) untuk Audit Keanekaragaman, Kesetaraan, dan Inklusi

IAP2 saat ini sedang menjalani proses evaluasi dan perubahan organisasi. Dalam konteks ini IAP2 berupaya memastikan bahwa organisasi yang dibangun ini adalah perwakilan kelas dunia, inklusif, dan organisasi yang relevan secara luas. IAP2 percaya bahwa untuk mencapai misinya sebagai organisasi profesional yang mendedikasikan diri untuk memajukan dan memperluas praktik partisipasi publik, serta untuk tetap berpengaruh di masa depan, maka diperlukan representasi yang aktif dan merangkum informasi beragam perspektif, ide, dan pengaruh.

Merujuk dari latar belakang tersebut, Dewan Internasional IAP2 telah memutuskan untuk melakukan audit keragaman organisasi sebagai bagian dari proses perubahan dan mencari mitra untuk melakukan audit yang diusulkan. Tujuan besar audit ini adalah untuk menginformasikan langkah-langkah perubahan organisasi yang akan meningkatkan dan mempertahankan keragaman dalam IAP2 di seluruh dimensi yang diuraikan di atas.

Informasi selengkapnya

Sumber: https://www.iap2.org/news/476314/IAP2-Releases-RFP-for-a-Diversity-Equity-and-Inclusion-Audit.htm

Baca juga seri Kabar Luar Negeri lainnya: Hasil Pertemuan Dewan Federasi IAP2 di Charlotte