Jakarta – Bertempat di Estubizi Biz. Center Jakarta, pada acara “Ngopas” (Ngobrolin Partisipasi) yang diadakan hari Rabu tanggal 24 Oktober 2018 ini berlangsung dengan seru dan menarik.
Bertemakan Partisipasi Masyarakat Terkini, membahas upaya-upaya yang dapat dimaksimalkan dalam meningkatkan keaktifan masyarakat dalam berpartisipasi khususnya sebagai warga Negara. Ada beberapa perbedaan yang menjadi warna tersendiri mengapa organisasi nirlaba yang hadir di Indonesia ini memiliki kendala dalam memasyarakatkan praktek-praktek partisipasi publik.
Mulai dari sisi historis, perbedaan gap generasi yang terlalu jauh antar anggota, perbedaan motif, kurangnya perekat (communicator), dan belum adanya pelatih bersertifikasi internasional dibidang partisipasi publik asal Indonesia. Selain itu juga hal yang paling sederhana adalah menghadirkan fasilitator dalam mempraktekan partisipasi publik di Indonesia, menjadi kebutuhan urgent saat ini ditambah adanya seorang communicator dalam internal IAP2 Indonesia.
Mengapa dikategorikan penting? Kita ingin melihat tingkat partisipatif publik di masyarakat Indonesia menempatkan posisi tinggi dan meluas bukan hanya berjalan di kota-kota besar tetapi juga di daerah pelosok.
Ini berhubungan juga dimana ada program pemerintah yang memberikan pembiayaan/anggaran 1M 1desa. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik hanya membuat dana tersebut digunakan bukan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga desa tetapi hanya habis dipergunakan untuk membangun infrastruktur desa yang sebetulnya masih belum urgent pengadaannya.
Untuk itu diperlukan ilmu partisipasi publik didalamnya, guna menghasilkan keputusan yang berkelanjutan dan meng-engage seluruh stakeholder didalamnya. Mulai dari sini sudah terlihat posisi IAP2 Indonesia sangatlah strategis dan dapat mengambil kesempatan untuk masuk kedalamnya, dengan menghadirkan fasilitator yang dapat memberikan contoh dari bagaimana proses partisipasi publik dapat dijalankan dengan baik, tanpa ada satu pun dari stakeholder yang tertinggal.
Meninggalkan gaya rapat yang konvensional, yang memerlukan waktu berjam-jam untuk berdiskusi menghasilkan suatu keputusan, dan tak jarang juga diskusi atau musyawarah yang diadakan berakhir dengan sesi voting karena pembahasan yang alot.
Menghadirkan fasilitator-fasilitator tersebut perlu dukungan pelatihan atau workshop untuk diadakan secara rutin dan berkualitas. Kebutuhan akan pelatih yang bersertifikasi internasional untuk dapat dihadirkan di training dan workshop pun tak kalah urgent.
Mengingat “kemandirian” organisasi dalam membangun “environment” sendiri berdasarkan pada kultur budaya masyarakat menjadi kebutuhan mendesak, agar tak terlalu bergantung pada “resource” dari luar negeri. Mengingat kultur budaya masyarakat Indonesia yang berbeda dengan orang luar Negeri khususnya yang terdapat afiliasi IAP2 didalamnya.
Adanya isu perbedaan tingkat partisipatif dan kesadaran akan partisipasi publik di Indonesia yang belum cukup tinggi. Dikarenakan faktor kultur dari masyarakatnya sendiri yang memang pasif namun jika sudah mendesak, tertekan dan berdampak kerugian kepada mereka, maka baru bergerak aktif/merespon/melibatkan diri namun langsung dengan cara yang frontal.
Hal ini dapat diperbaiki dengan mengadakan seminar, workshop, pelatihan dan lain sebagainya untuk dapat meningkatkan lagi awareness masyarakat Indonesia akan pentingnya proses partisipasi publik hadir dalam hal apa pun terlebih yang berhubungan dalam berwarga Negara yang baik atau yang berkaitan dengan kebijakan yang berpengaruh kepada publik secara langsung atau tidak langsung.
Dibutuhkan sinergi yang lebih padu lagi, untuk menyukseskan tujuan bersama dalam mengedukasi melalui program kerja (seminar, workshop, pelatihan, dsb). Hal yang menjadi kendalanya adalah besarnya atau luasnya gap yang ada dibadan IAP2 Indonesia membuat proses dalam mewujudkan goals-goals terasa lambat.
Namun hambatan ini bukan berarti menjadi penghalang bagi IAP2 Indonesia untuk terus memajukan praktek-praktek partisipasi publik di Indonesia, dengan menghadirkan diskusi panel, pelatihan, dan mengadakan audiensi dengan sejumlah pihak bersama untuk dapat saling bersinergi demi kemajuan bangsa kedepannya. Terlebih lagi dengan adanya penerapan program dari PBB yaitu SDGs agenda 2030 diseluruh Negara anggota. Antar stakeholder dituntut untuk saling bekerjasama mewujudkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.
Hambatan yang terlihat itu dapat diatasi dengan adanya personil yang berperan sebagai communicator. Setidaknya perlu tiga orang yang dapat diposisikan sebagai communicator, hal ini diperlukan guna menjadi jembatan terhadap gap-gap yang ada didalam IAP2 Indonesia.
Dengan adanya communicator ini jangkauan audiens mulai dari para akademisi hingga “street fighter” dapat dirangkul bersama untuk dapat saling memberikan upaya terbaik dari masing-masing komunitasnya guna memajukan praktek partisipasi publik di Indonesia. Dengan kata lain si communicator ini dapat menjadi perekat untuk “merangkul” para anggota dan menggaet anggota baru dari berbagai kalangan. Mentransformasikan benefit yang sebetulnya baik bagi mereka yang memiliki motif berbeda-beda saat bergabung di IAP2 Indonesia.